Jika sebagian laki-laki merayakan awal masa baligh-nya dengan khitan yang dipestakan, mengapa tidak demikian halnya dengan haid pertama seorang perempuan? Ketimpangan itu terpelihara lama dan mengakar di masyarakat kita. Pengalaman ketubuhan perempuan sering kali dianggap tabu dan tidak layak dirayakan, sebagaimana pengalaman ketubuhan laki-laki.
Padahal, haid adalah satu dari berbagai pengalaman ketubuhan alami yang dialami hampir tiap perempuan. Dalam perspektif sains, haid merupakan siklus biologis yang terjadi selama masa reproduksi. Sayangnya, sebagian besar masyarakat sering kali mengasosiasikannya dengan hal menjijikkan seperti “darah kotor” dan “tidak suci”. Sebagian muslimah juga sering kali didikte untuk merasa malu dalam kondisi tidak suci akibat mengeluarkan darah kotor tersebut. Akibatnya, banyak perempuan lebih memilih menjalani haid dalam hening.
Maka, jangan heran jika ada teman perempuanmu yang membeli pembalut sembunyi-sembunyi dan tidak ragu mengganti kata benda tersebut dengan sebutan “roti”.
Baca juga: Viral Dijual Pembalut ‘Reject’, Bukti ‘Period Poverty’ Masih Menghantui
Pembicaraan Menstruasi yang Tabu Bikin Kesehatan Reproduksi Jelek?
Konstruksi sosial yang menabukan haid pada akhirnya menjadikannya topik yang tidak bisa diperbincangkan secara terbuka. Ironisnya, kondisi demikian juga masih terjadi di negara-negara yang dianggap lebih progresif, seperti Amerika Serikat. Berdasarkan Let’s Talk About Period Poverty di MuslimGirl, ada 58 persen perempuan merasa malu hanya karena mengalami haid, sementara 51 persen laki-laki berpikir tidak pantas untuk membicarakan haid di tempat kerja. Stereotip ini, pada akhirnya bukan hanya melahirkan stigma yang menghalangi setiap perempuan untuk merasakan dan merayakan pengalaman ketubuhan dengan bangga, melainkan juga membuat sebagian besar perempuan berpotensi kehilangan akses mendapat informasi valid terkait kesehatan reproduksi.
Kesehatan reproduksi, menurut KH Husein Muhammad dalam bukunya yang Fiqh Perempuan, perlu diperlakukan sebagai pengalaman ketubuhan yang butuh perhatian penuh. Bahkan dalam buku tersebut, kiai feminis satu ini menjelaskan bahwa persoalan kesehatan reproduksi merupakan hal paling krusial perempuan karena akan berujung pula pada kesehatan sosial.
Dengan demikian, sudah selayaknya setiap perempuan memiliki posisi yang setara, bersama-sama dengan pasangan hidupnya berhak untuk menentukan kelahiran dan jumlah anak, hingga hak untuk mendapatkan informasi dan pelayanan kesehatan yang benar dan berimbang.
Baca Juga: Siapa yang Berhak Bicara Soal Kesehatan Menstruasi?
Ada Ketimpangan Peran Gender dalam Kendali Reproduksi
Selama ini kendali reproduksi hanya dibebankan kepada pihak perempuan. Hal ini terlihat dari opsi metode kontrasepsi yang tersedia dan ditawarkan lebih banyak hanya untuk perempuan. Mulai dari pil, suntik, implan, IUD spiral, hingga tubektomi. Terlebih pendekatan tenaga medis yang langsung menyasar ibu-ibu, alih-alih terlebih dulu melakukan sosialisasi dan edukasi opsi kontrasepsi.
Efektivitas kontrasepsi boleh dikatakan hampir mencapai 99 persen. Dengan kata lain, keadaan ini memang berpotensi membuat pasangan tidak dapat melahirkan anak, tapi di sisi lain justru melahirkan beban yang timpang di antara mereka. Mengapa? Sering kali membuat perempuan harus menghadapi risiko kesehatan dan tantangan emosional, seperti perubahan siklus haid, perubahan berat badan, penipisan tulang, sakit kepala, nyeri payudara, serta perubahan suasana hati.
Sementara laki-laki sering kali tidak menyadari itu sebagai suatu urgensi hanya karena tidak turut merasakan dan tidak banyak tekanan sosial yang mewajibkan mereka untuk berkontrasepsi.
Dalam konteks ini, vasektomi muncul sebagai salah satu solusi untuk mengatasi ketimpangan tersebut. Vasektomi merupakan prosedur kontrasepsi semi permanen. Dengan kata lain, seorang laki-laki yang memilih vasektomi tidak akan lagi bisa menghasilkan keturunan sampai memilih untuk dipulihkan kembali. Secara medis, vasektomi merupakan prosedur pembedahan atau operasi yang mengikat, menyumbat, atau memotong saluran vas defens yang membawa sperma dari testis ke penis. Tujuannya agar air mani yang keluar tidak lagi mengandung sperma sehingga tidak akan terjadi pembuahan sel telur yang mengakibatkan kehamilan pada istri.
Meskipun demikian, studi membuktikan bahwa vasektomi tidak akan mengganggu fungsi seksual laki-laki. Seorang laki-laki yang sudah memutuskan vasektomi tetap memiliki gairah seks, kemampuan ereksi, dan orgasme. Ini karena vasektomi tidak memengaruhi hormon testosteron yang bertanggung jawab atas gairah seks, melainkan hanya mencegah sperma keluar melalui air mani. Fakta ini sekaligus menampik kekhawatiran dari sebagian besar laki-laki yang merasa tidak lagi jantan jika organ reproduksinya tak lagi berfungsi.
Hadirnya vasektomi sebagai salah satu opsi berkontrasepsi seolah meretas ketimpangan peran pada kendali reproduksi dengan membuka jalan bagi perubahan positif dalam dinamika hubungan sepasang suami istri. Dengan memberikan opsi bagi laki-laki untuk mengambil peran dan tanggung jawab dalam kendali reproduksi, vasektomi tidak hanya mengurangi beban yang ditanggung perempuan, tetapi juga mendorong laki-laki untuk lebih aktif terlibat dalam pengambilan keputusan.
Jalan Panjang Implementasi Vasektomi dalam Kacamata Islam di Indonesia
Dalam perspektif agama Islam, para ulama telah lama menaruh perhatian perihal vasektomi. Sebagai salah satu opsi metode kontrasepsi yang belum cukup populer, MUI telah mengkaji persoalan tersebut dalam rentang tahun 1979 hingga 2012 dan menetapkan hukumnya dalam bentuk fatwa. Berdasarkan catatan, MUI semula mengeluarkan fatwa haram terhadap vasektomi. Namun, persoalan ini kian bergulir hingga kajian yang dihasilkan sedikit demi sedikit mengalami pergeseran.
Fatwa MUI tentang vasektomi pertama kali muncul pada tahun 1979, bersamaan dengan penggalakan program Keluarga Berencana (KB). Namun, seperti kutub magnet yang asimetris, MUI justru memfatwakan keharaman atas vasektomi sebagai opsi berkontrasepsi. Hal ini ditengarai berdasarkan dua alasan, yaitu: vasektomi adalah usaha pemandulan yang secara prinsip dilarang oleh agama Islam karena mengubah dan mendisfungsikan ciptaan Allah; dan belum adanya bukti kuat yang menunjukkan bahwa vasektomi dapat disembuhkan atau dipulihkan pada keadaan semula.
Persoalan kesehatan reproduksi yang semakin dinamis mendorong MUI untuk membuka forum diskusi dan mengkaji ulang isu tersebut. Dalam upaya untuk memberikan penjelasan lebih lanjut, MUI kembali menyelenggarakan forum ijtima’ ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III di Padang Panjang Sumatera Barat pada 2009. Adapun hasil dari forum tersebut adalah MUI kembali menegaskan sikapnya yang konsisten: tetap menyatakan keharaman terhadap vasektomi dan tubektomi yang menandai komitmen mereka terhadap prinsip-prinsip yang telah ditetapkan.
Hingga 42 tahun berlalu dan seiring berkembangnya kajian tentang metode tuboplasti dan vasovasostomi sebagai metode pembalikan dari tubektomi dan vasektomi, MUI kembali mengambil langkah strategis yang menggugah kesadaran masyarakat luas. Melalui fatwa hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia IV pada tahun 2012, MUI kembali menegaskan bahwa vasektomi dan tubektomi tetap dianggap haram, kecuali dalam kondisi tertentu. Syarat-syarat tersebut meliputi tujuan yang selaras dengan syari’at; tidak menimbulkan mudharat (bahaya) bagi yang bersangkutan; serta adanya jaminan untuk dapat mengembalikan fungsi reproduksi seperti semula sehingga vasektomi tidak mengakibatkan kemandulan permanen. Melalui langkah progresif ini, MUI secara tidak langsung telah berupaya menyeimbangkan antara prinsip agama dengan kebutuhan masyarakat yang kian dinamis, sekaligus menciptakan ruang diskusi yang lebih lengang terkait aspek reproduksi.
Bersama Memegang Kendali untuk Menciptakan Kesetaraan dalam Relasi Seksual dan Reproduksi
Membicarakan kesetaraan berarti juga mengakui bahwa setiap tahapan dalam kehidupan, baik itu yang dilalui laki-laki maupun perempuan, merupakan momen penting yang patut dihargai dan dirayakan.
Dalam konteks ini, edukasi seksual yang secara khusus membahas tentang kesehatan reproduksi yang benar dan berimbang menjadi sangat penting sehingga setiap pasangan dapat mengambil keputusan yang bijak dan saling mendukung.
Peran dalam kendali reproduksi memang sudah mengalami pergeseran, walau dalam tataran implementasinya masih menghadapi kesukaran karena ada banyak hal yang patut dipertimbangkan. Ini menunjukkan bahwa usaha untuk memperbarui konstruksi sosial bukanlah tugas yang mudah.
Namun, perubahan ini dapat dimulai dari lingkup terkecil masyarakat yang tinggal di bawah atap rumah, yaitu keluarga. Dengan pendekatan ini, kita tidak hanya merayakan perjalanan fisik dan emosional seorang perempuan, tetapi juga mengedepankan prinsip kesetaraan gender dalam konteks relasi seksual dan kesehatan reproduksi yang menjadi pokok dari ajaran Islam itu sendiri.
*Elisma Herdinawati adalah ibu rumah tangga yang gemar membaca, mengulas buku, dan menulis apa saja.