Saya tidak terlalu ingat apakah saya dan orang tua pernah melakukan pembahasan soal menstruasi. Yang saya ingat, saya mendapatkan menstruasi pertama ketika duduk di bangku SMP, 20 tahun yang lalu. Saat melihat darah di celana dalam sebelum mandi pagi, saya sempat bingung. Harus saya apakan celana itu? Yang saya lakukan akhirnya adalah menyembunyikannya di pojok keranjang pakaian kotor, lalu mengendap-endap ke kamar Mama untuk mengambil pembalut—yang saya pakai dengan mengira-ngira posisinya dan sedikit merasa jengah.
Selama masa remaja, saya dan teman-teman perempuan merasa tidak nyaman membicarakan menstruasi. Kami punya kode-kode tertentu, seperti “roti Jepang” untuk menyebut pembalut, yang selalu kami sembunyikan rapat-rapat. Kami sering merasa jijik pada darah menstruasi kami sendiri atau fakta bahwa tubuh kami “berdarah”— sesuatu yang masih terbawa hingga dewasa.
Sepanjang SMP, volume darah menstruasi saya cukup banyak, yang membuat saya gelisah karena takut “tembus” di rok. Suatu hari, saat itu benar-benar terjadi, saya memegangi rok seragam sepanjang satu jam jalan pulang dalam mobil antar jemput. Selain itu, siklus menstruasi saya juga sempat tidak teratur. Mama saya yang khawatir membawa saya ke tempat pengobatan alternatif, yang membuat saya tidak nyaman.
Waktu berlalu, dan saya diminta mengajarkan materi pendidikan seks dalam program dokter kecil (dokcil) untuk murid kelas 4-6 di sebuah SD swasta, beberapa tahun lalu. Para siswi cukup aktif bertanya, termasuk untuk hal-hal seperti bagaimana caranya sperma bisa masuk ke tubuh perempuan. Bagi saya, ini tanda bahwa (selain mereka cerdas) akses informasi sudah semakin membaik. Namun, rasa risi dan canggung terkait hal-hal yang dialami tubuh perempuan, termasuk menstruasi, masih terasa. Ketidaknyamanan untuk membicarakan menstruasi di depan murid laki-laki juga masih ada.
Baca juga: ‘All Male Panel’ dalam Diskusi Nyeri Haid dan Bias Gender di Dunia Kesehatan
Menstruasi Masih Jadi Persoalan
Secara global, hari ini masalah kesehatan menstruasi masih menjadi momok bagi banyak perempuan, anak perempuan, dan kelompok minoritas gender/seksualitas lainnya. Hal ini terjadi terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Meski banyak kemajuan yang telah dicapai, dampaknya belum merata.
Masih banyak anak perempuan yang kehilangan kesempatan menempuh pendidikan karena sekolah, lingkungan, keluarga, dan sistem sosial yang tidak mendukung kesehatan menstruasi. Misalnya saja, masih ada sekolah yang tidak memiliki fasilitas toilet yang bersih, aman, dan nyaman. Masih ada pula keluarga yang tidak sanggup membeli produk menstruasi yang layak, aman, dan nyaman. Siklus yang menghubungkan kemiskinan, kesehatan menstruasi yang terabaikan, dan terputusnya akses pendidikan ini menciptakan lingkaran setan bernama period poverty.
Di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia, menstruasi masih dianggar kotor atau tabu—stigma yang juga dilekatkan pada individu yang mengalami menstruasi. Stigma ini kerap diperkuat atau dilanggengkan oleh narasi-narasi budaya, agama, dan iklan atau media massa, dan berkontribusi pada peminggiran sosial terhadap mereka yang mengalami menstruasi.
Masih banyak pula perempuan yang sulit berpartisipasi produktif dalam masyarakat atau bekerja—termasuk untuk berdaya secara ekonomi—karena lingkungan kerja atau sosial yang memberikan stigma atau mengabaikan kebutuhan unik terkait menstruasi. Lebih jauh lagi, menstruasi yang dialami transpria dan kawan-kawan minoritas gender lainnya menciptakan dilema tersendiri yang terkait dengan identitas gender dan seksual mereka.
Berkaca dari contoh-contoh di atas saja, terlihat bahwa kesehatan menstruasi bukan hanya isu di bidang layanan kesehatan. Menstruasi adalah isu pendidikan, pembangunan, ekonomi, infrastruktur, gender, politik, sosiokultural, dan agama. Menstruasi tidak bisa dilepaskan bukan hanya dari tubuh mereka yang mengalaminya, tapi juga dari bagaimana mereka mengalami, memaknai, dan menjalani hidup sebagai individu dan anggota masyarakat. Menstruasi adalah pengalaman biologis, psikologis, sekaligus sosial. Menstruasi adalah soal hak asasi.
Menstruasi tidak bisa dilepaskan bukan hanya dari tubuh mereka yang mengalaminya, tapi juga dari bagaimana mereka mengalami, memaknai, dan menjalani hidup sebagai individu dan anggota masyarakat. Menstruasi adalah pengalaman biologis, psikologis, sekaligus sosial. Menstruasi adalah soal hak asasi.
Pertanyaan selanjutnya adalah: jadi siapa yang berhak bicara soal kesehatan menstruasi?
Baca juga: Tafsir Ramah Perempuan untuk Ubah Pandangan Negatif Soal Menstruasi
Tempatkan Mereka yang Menstruasi di Panggung Utama
Pada awal Mei 2021 ini, sebuah definisi resmi untuk “kesehatan menstruasi” diterbitkan dalam sebuah naskah akademis melalui kolaborasi dengan berbagai organisasi internasional yang bergerak di bidang Hak dan Kesehatan Seksual Reproduksi (HKSR). Bila saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, definisi tersebut berbunyi, “kondisi sejahtera secara fisik, mental, dan sosial—bukan hanya terkait tidak adanya penyakit atau kelemahan—terkait siklus menstruasi”.
Naskah akademis tersebut menekankan bahwa untuk bisa mencapai taraf kesehatan menstruasi yang maksimal, semua orang yang mengalami siklus menstruasi berhak memperoleh akses terhadap informasi, material, fasilitas, dan layanan (termasuk namun tidak terbatas pada layanan kesehatan) yang terkait siklus menstruasi. Ditekankan pula bahwa lingkungan yang mendukung–yang positif, penuh penghormatan, yang memberikan ruang kebebasan dan kesempatan yang setara, serta yang tanpa penghakiman, diskriminasi, atau kekerasan–berperan penting bagi kesehatan menstruasi.
Definisi dan penekanan tersebut mengingatkan saya sebagai seorang profesional di bidang kesehatan pada satu hal: pentingnya menempatkan klien di atas panggung utama. Istilah kerennya, client-centered care. Seluruh upaya kesehatan yang saya berikan–baik berupa edukasi, informasi, konseling, penanganan medis, atau strategi kesehatan masyarakat–harus menempatkan suara, perspektif, pengalaman, hak asasi, dan kesejahteraan dari mereka yang mengalami menstruasi sebagai pusatnya.
Saya sebagai tenaga kesehatan–dan juga sistem kesehatan di mana saya bekerja–memang adalah faktor yang sangat penting. Sebagai profesional (dan pihak yang punya potensi besar untuk memengaruhi narasi atau kebijakan), kami berhak dan harus bicara sesuai kapasitas kami. Tapi kami bukanlah pemeran utama. Kami adalah advokat bagi klien kami. Tugas kami adalah memberikan dukungan sebaik-baiknya.
Di tahap inilah perspektif gender dalam isu kesehatan menstruasi menjadi penting. Secara sederhana, gender adalah perkara apa yang mendefinisikan perempuan dan laki-laki secara sosial, bagaimana mereka membagi peran, hak, dan kewajiban, serta seperti apa relasi di antara mereka. Menstruasi adalah pengalaman yang sangat dipengaruhi oleh gender—bukan hanya karena menstruasi dialami oleh tubuh biologis yang memiliki rahim, tapi juga karena kesehatan menstruasi memengaruhi dan dipengaruhi oleh posisi seseorang dalam masyarakat terkait gender.
Baca juga: Seperti Raskin dan Rumah, Pembalut Pun Seharusnya Bersubsidi
Salah satu contohnya adalah bagaimana pengalaman nyeri haid memengaruhi kehidupan, kerja, kesehatan mental, persepsi diri, atau interaksi sosial seorang perempuan sebagai perempuan. Pengalaman ini belum tentu dipahami oleh mereka yang tidak (atau tidak bisa) mengalami nyeri haid, meski mungkin mereka ini paham penjelasan biologis dari nyeri haid.
Pengalaman ini juga belum tentu dipahami oleh mereka yang mengalami nyeri haid namun cukup beruntung karena mendapatkan dukungan yang baik. Ketidakpahaman ini, apabila tidak disadari dan diatasi, bisa berakibat semakin jauhnya jurang antara mereka yang seharusnya menjadi pemeran utama dan mereka yang seharusnya bertugas sebagai advokat.
Saya rasa sudah terlalu lama narasi kesehatan menstruasi di Indonesia didominasi oleh pandangan (orang-orang) klinis saja–terutama yang tidak berperspektif gender. Sungguh miris rasanya saat saya masih saja mendengar teman-teman perempuan bicara soal keluhan menstruasi tidak teratur yang direspons tenaga kesehatan dengan jawaban seperti, “Nikah/punya anak aja, nanti juga baik sendiri.” Jengah juga saat mendengar masih ada teman perempuan yang mengalami Pre-Menstrual Syndrome (PMS) atau nyeri menstruasi namun dianggap berlebihan, dan dihubungkan dengan identitasnya sebagai perempuan yang katanya “emosional” atau “sering drama”.
Posisi tawar antara tenaga kesehatan dan klien yang cenderung masih timpang juga tidak membantu klien yang merasa keluhannya dipandang enteng atau didiskriminasi. Di sisi lain, sudah mulai banyak inisiatif atau gerakan sipil terkait menstruasi yang menyediakan perspektif baru–misalnya terkait produk menstruasi alternatif, keberlanjutan lingkungan, kesehatan mental, pemberdayaan ekonomi, atau hak pekerja. Gerakan-gerakan ini rata-rata diinisiasi oleh mereka yang mengalami menstruasi, namun sayangnya, sering kali masih berada pada titik buta pandangan para klinisi (dokter spesialis sekalipun).
Jadi, siapa yang berhak bicara soal menstruasi? Jawaban saya: semua berhak. Tapi sadari lebih dulu, kita bicara sebagai siapa? Laki-laki, meski secara biologis tidak bisa mengalami menstruasi, punya ruang untuk bicara soal menstruasi, yakni sebagai sekutu untuk mendobrak stigma dan diskriminasi terkait menstruasi. Tenaga kesehatan, pemuka agama, dan pemangku kebijakan punya ruang dan kontrak sosial untuk bicara soal menstruasi– sebagai sekutu untuk mendorong sistem kesehatan, sosiopolitik, dan ekonomi yang lebih adil bagi mereka yang mengalami menstruasi.
Bicaralah. Masyarakat butuh mendengar. Tapi jangan lupa: jangan sampai suara kita justru mengaburkan, mengabaikan, atau meminggirkan suara mereka yang seharusnya menjadi pusat perhatian. Apalagi sampai semakin melanggengkan stigma dan diskriminasi menyoal menstruasi.
Jika kita sudah bisa sepakat soal pentingnya bicara menstruasi, siapa yang bicara menstruasi, dan siapa bicara sebagai apa, pertanyaan selanjutnya untuk masing-masing dari kita adalah: mau mulai bicara soal menstruasi dari mana?