December 14, 2025
Issues Opini

Visa Pelajar dan Mitos ‘Kabur Dulu’ ke Australia

Di balik “kabur aja dulu”, hidup dengan visa pelajar di Australia berarti menavigasi kuliah, kerja paruh waktu, dan rasa “bukan sini, bukan sana” yang tak selalu kelihatan di Instagram.

  • December 14, 2025
  • 5 min read
  • 128 Views
Visa Pelajar dan Mitos ‘Kabur Dulu’ ke Australia

Saya tiba di Victoria, Australia, dengan visa pelajar. Di media sosial, langkah seperti ini sering dibingkai dengan kalimat ringan, “Ya udah, kabur aja dulu (ke luar negeri).” Seolah pindah negara adalah jalan pintas keluar dari penat, dan hidup di negeri orang otomatis lebih mudah. Kenyataannya jauh lebih rumit: visa pelajar berarti hidup di tengah aturan kerja ketat, ritme kuliah yang menuntut, dan status yang serba sementara.

Visa pelajar memberi hak bekerja paruh waktu maksimal 20 jam per minggu, aturan yang dibuat supaya kegiatan belajar tetap jadi prioritas utama. Di kampus, jadwal kuliah cukup fleksibel, ada banyak waktu luang di antara kelas. Tapi di situlah letak tantangannya. Saya harus menegosiasikan sendiri kapan belajar, kapan bekerja, dan kapan istirahat. Hidup di luar negeri ternyata bukan sekadar berpindah lokasi, tapi juga belajar mengelola energi dan ekspektasi, termasuk ekspektasi terhadap diri sendiri.

Menjelang akhir semester pertama, seorang teman mengajak saya ke negara bagian lain untuk memetik buah. Katanya, pekerjaan itu paling mudah diakses pemegang visa pelajar karena jam kerjanya relatif longgar. Tapi saya ingin mencoba sesuatu yang lebih dekat dengan pengalaman saya sebelumnya, yakni bekerja di bidang pendidikan. Saya ingin tahu, apakah keterampilan yang saya bawa dari Indonesia masih punya tempat di sistem kerja Australia.

Saya mulai melamar ke beberapa agen edukasi, lembaga yang menghubungkan calon siswa internasional dengan kampus di Australia. Alih-alih mengandalkan situs pencarian kerja, saya memilih cara manual dengan menghubungi langsung agen-agen yang sudah saya riset lewat ulasan pelanggan. Saya perhatikan bagaimana mereka menangani siswa dari berbagai negara dan seberapa luas jaringan mereka. Dari situ, saya mendapat dua panggilan wawancara: satu dari agen lokal, satu lagi dari agen yang dijalankan oleh orang India.

Wawancara pertama dengan agen lokal berjalan singkat tapi intens. Pewawancaranya, seorang perempuan muda, menanyakan hal-hal yang jarang saya temui di Indonesia. Kalau dulu wawancara kerja lebih banyak menyoal “pengalaman apa yang sudah kamu punya?”, kali ini fokusnya adalah “apa metode baru yang bisa kamu bawa ke perusahaan kami.”

Ia bilang, kalau cuma mengandalkan metode lama seperti door to door sales, mereka sudah punya banyak orang. Spontan saya mengusulkan ide kunjungan wisata singkat antar sekolah—semacam sister school visit yang bisa berlanjut ke program pelajar jika mereka tertarik. Ide itu membuatnya berhenti sejenak, lalu ia menjawab pelan, bahwa pendekatan konsep itu menarik, tapi mereka sedang krisis dan butuh hasil cepat. Cara baru dianggap terlalu berisiko dan mahal.

Saya keluar dari ruangan itu dengan perasaan campur aduk: kagum karena dihargai lewat ide, tapi juga kecewa karena tidak diterima. Dari wawancara itu saya belajar, di sini kamu diukur bukan hanya dari apa yang sudah kamu kerjakan, tapi dari apa yang bisa kamu tawarkan ke depan, bahkan ketika perusahaan sendiri belum siap untuk berubah.

Di antara kuliah, kerja, dan rasa ‘bukan sini, bukan sana’

Beberapa minggu kemudian, saya datang ke wawancara kedua di agen yang dijalankan oleh orang India. Dari awal, suasananya terasa berbeda—lebih cair, lebih hangat, dan entah bagaimana saya merasa peluang saya lebih besar. Mereka sedang menghadapi masalah yang mirip: krisis variasi pelanggan. Pemerintah Australia saat itu (sekitar 2018) memperketat aturan bagi agen pendidikan yang terlalu fokus pada satu negara. Agen ini ingin memperluas pasar ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Saya diterima untuk masa percobaan dua minggu, dan dari situlah babak baru dimulai. Bekerja dengan mereka rasanya seperti masuk ke dunia kecil yang penuh warna: makan siang beraroma rempah, musik Bollywood dari ruang belakang, serta candaan yang kadang tidak saya pahami tapi pelan-pelan terasa familiar. Namun di luar kantor, saya justru merasakan lapisan lain yang lebih sepi.

Saya dikeluarkan dari grup Work and Holiday Visa Indonesia karena status saya “hanya” pemegang visa pelajar. Di grup pelajar Indonesia, banyak yang merasa lebih aman memakai agen lokal besar seperti IDP. Di tengah posisi “bukan sini, bukan sana”, saya menerima panggilan-panggilan sulit: mahasiswa yang masa visanya hampir habis, pemohon suaka yang visanya ditolak, sampai telepon iseng dari orang Indonesia yang sekadar ingin memamerkan kemampuan bahasa Inggris.

Di sisi lain, rekan-rekan saya di kantor sering memuji cara saya menulis dan mengedit narasi aplikasi visa pelajar. Padahal saya justru kagum dengan bahasa Inggris mereka yang terasa jauh lebih lugas dan mengalir dibanding gaya formal saya. Kami saling mengagumi dari jauh, sambil sama-sama berusaha memenuhi target. Saya sempat menjalankan proyek kecil: mencetak seribu thumbdisk untuk promosi.

Tapi pada akhir bulan, tekanan mulai terasa. Fokus manajemen kembali ke angka, berapa banyak siswa yang benar-benar mendaftar. Dari semua calon yang saya bawa, belum ada satu pun yang jadi. Pada akhirnya, saya dilepas juga.

Momen itu tetap menyesakkan meski saya sudah mengantisipasinya. Di kepala saya muncul pola yang menakutkan, bahwa saya berguna sampai tidak lagi. Bagi seseorang yang mudah cemas dan sensitif terhadap penolakan, ritme kerja seperti itu menghabiskan banyak energi emosional. Saya sempat bertanya-tanya, apakah semua sektor kerja di Australia seperti ini—keras, cepat, dan penuh tuntutan hasil?

Di sisi lain, saya tahu di Australia ada sistem serikat pekerja yang kuat, kontrak yang jelas, dan perlindungan yang relatif lebih baik bagi pekerja tetap. Mungkin pengalaman saya adalah potongan kecil dunia kerja paruh waktu yang memang labil dan penuh ketidakpastian, di mana status visa dan jenis pekerjaan membuat posisi kami otomatis lebih rentan.

Meski singkat, pengalaman ini menggeser cara saya memandang kalimat “kabur aja .” Bagi banyak orang, bekerja di luar negeri terdengar seperti tiket menuju kehidupan yang lebih baik. Bagi saya, justru di sinilah saya belajar bahwa “kabur” bukan berarti bebas dari tekanan. Tekanannya hanya berganti wujud: dari kemacetan dan jam lembur, menjadi jam kerja terbatas, rasa terasing, dan posisi serba sementara.

Namun, di antara rasa cemas dan ketidakpastian, saya juga belajar soal keberanian dan adaptasi. Bahwa setiap pekerjaan, sekecil apa pun, bisa mengajarkan cara membaca dinamika antar budaya, memahami sistem, dan mengenali batas diri sendiri. Di negeri orang, semua orang berusaha tetap berdiri di atas pijakannya masing-masing, dan saya pun sedang belajar melakukan hal yang sama.

About Author

Sitti Maryam