Waspada Pedofil dan Child Grooming di ‘Online Game’
Selain risiko kecanduan, online game juga memungkinkan anak-anak bertemu dengan predator seksual.
Keberadaan online game yang popularitasnya meningkat saat pandemi 2020 kian menjadi hal yang lumrah di masyarakat. Bahkan, industri online game memiliki pasar yang sangat luas di berbagai belahan dunia. Data dari We Are Social, sebuah agensi media sosial dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ketiga (di bawah Filipina dan Thailand) sebagai negara dengan jumlah pemain online game terbanyak di dunia. Data tersebut juga menunjukkan bahwa per Januari 2022, lebih dari 90 persen pengguna internet di Indonesia yang berusia 16-64 tahun merupakan pemain online game.
Baca juga: Ada Predator di Gim ‘Online’, Indonesia Darurat Eksploitasi Seksual Anak
‘Online Game’ dan Anak-anak
Popularitas online game juga merambah pengguna usia anak-anak, khususnya di kelompok usia 6-12 tahun. Sebab, mereka mudah mengaksesnya melalui ponsel.
Seperti dua sisi koin, online game pada anak dapat berdampak positif dan negatif. Dampak positifnya, menurut UNICEF online game memicu anak untuk memiliki keterampilan penguasaan diri dan pengambilan keputusan, mengekspresikan diri, memberikan kesenangan karena telah melakukan pencapaian tertentu di dalam game, dan membangun hubungan dengan individu lain yang mereka temui dalam permainan tersebut.
Namun, di sisi lain, problem terkait kecanduan online game juga menjadi temuan di berbagai studi. Rilis tahun 2019 menyebutkan bahwa tingginya jumlah anak yang mengakses game turut mengerek angka anak yang kecanduan online game. Selain itu, studi tahun 2022 menunjukkan bahwa anak yang kecanduan online game memiliki risiko untuk terpapar konten-konten yang bernuansa kekerasan dan pornografi.
Selain risiko kecanduan, online game juga memungkinkan penggunanya bertemu dengan orang lain menggunakan online game sebagai kedok. Predator seksual, misalnya, kerap menggunakan online game sebagai medium untuk melancarkan aksi bejat mereka.
Bagi pengguna usia anak, risiko menjadi korban kekerasan seksual lebih tinggi karena online game memberikan kemudahan dan ‘perlindungan’ bagi pelaku kejahatan seksual melancarkan aksinya. Terlebih, korban belum mengenal konsep izin atau persetujuan (consent) sehingga lebih mudah dimanipulasi oleh pelaku yang biasanya berusia dewasa.
Baca juga: Nasib Kelompok Rentan Makin Suram, RUU Penghapusan Diskriminasi Jadi Kunci
Kemudahan Interaksi
Salah satu hal yang kerap luput dari pengawasan orang tua adalah kemudahan untuk menjalin komunikasi maupun relasi dengan siapapun melalui online game.
Kemudahan ini berisiko. Pasalnya, dengan kemampuan komunikasi dan proses berpikir yang masih berkembang, anak rentan dimanipulasi oleh orang dewasa yang ia temui di dalam game, sehingga tak jarang berujung pada kekerasan seksual.
Kasus terbaru terjadi pada seorang anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Sang anak yang masih berusia 13 tahun bertemu dengan pelaku kekerasan seksual berusia 27 tahun. Pelaku dengan tipu dayanya meminta korban mengirim foto vulgarnya.
Tentu hal ini merupakan kekerasan seksual karena korban belum mengenal arti dari consent untuk mengirimkan foto pribadinya. Sang anak juga berada di bawah pengaruh kuasa pelaku berusia dewasa. Aksi semacam ini tergolong sebagai perilaku pedofilia.
Perlindungan Anonimitas
Online game sebagai “ruang digital” memudahkan pedofil dan predator seksual lainnya untuk beraksi. Sebab, ruang digital ini memungkinkan pelaku untuk tetap berstatus “anonim”, sehingga membuat pelaku lebih leluasa menjalankan aksi bejatnya.
Online game juga memungkinkan pedofil untuk berkomunikasi, berteman, berkencan dengan anak anak, termasuk menemukan, menyimpan dan mendistribusikan pornografi anak.
Bahaya Rayuan Pedofil
Risiko lain yang harus diwaspadai dari online game adalah child grooming. Child grooming adalah pendekatan tanpa kekerasan oleh seseorang untuk memperoleh apa yang diinginkan, di antaranya akses terhadap seks dan juga kendali atas anak. Child grooming biasanya dilakukan para pedofil untuk membangun kedekatan, kepercayaan, dan hubungan emosional dengan anak (korban) untuk memudahkan pelaku kekerasan seksual mendekati korbannya.
Salah satu upaya child grooming yang biasa dilakukan pedofil adalah sweet talk. Mereka merayu korban, berpura-pura menjadi teman, bahkan menjadikan pacar dengan tujuan memanipulasi agar bersedia melakukan aktivitas seksual.
Selain grooming, anak-anak yang bermain online game bisa mendapatkan tekanan dari para pedofil agar melakukan hal yang mereka inginkan. Tekanan ini bisa dilakukan mulai dari menyuap korban, misalnya dengan membelikan ‘senjata atau properti’ dalam game, memberikan sejumlah uang, sampai meneror korban agar melakukan sesuatu yang diinginkan pelaku—memaksa korban untuk mengirim foto atau video yang mengarah pada pornografi. Mereka pun dapat mengancam untuk memberitahu orang lain atau menyebarkan foto/video tersebut jika korban tidak menuruti.
Ini terjadi, contohnya, dalam kasus kekerasan seksual menggunakan perantara online game Free fire. Dalam kasus ini, pelaku mendekati korban dengan iming-iming diamond—alat tukar premium dalam game tersebut untuk membeli karakter, senjata, maupun mendapatkan item game eksklusif.
Baca juga: Apa Pun Alasannya, Grooming adalah Kekerasan Seksual
Bagaimana Melindungi Anak dari Pedofil di ‘Online Game’?
Kejahatan seksual sangat mungkin berdampak psikologis secara jangka panjang bagi anak-anak. Karena itu, kita membutuhkan solusi untuk mencegah agar mereka tidak lagi menjadi sasaran kaum pedofil di ranah digital. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan menanamkan literasi digital pada anak.
Center for Digital Society, sebuah pusat kajian di Universitas Gadjah Mada yang berfokus pada isu masyarakat digital, mendefinisikan literasi digital sebagai bentuk kemampuan atau keterampilan seseorang dalam menggunakan dan memanfaatkan media digital, seperti media sosial, situs web, video online, aplikasi seluler hingga online game. Melalui literasi digital, anak tidak hanya mampu mengoperasikan peralatan teknologi digital, tetapi juga memanfaatkannya dengan cermat dan tepat. Hal ini mencakup kemampuan bersikap kritis dan menjaga privasi mereka di dunia digital dalam kehidupan sehari-hari di rumah.
Kita perlu mengajarkan anak-anak tentang pentingnya keamanan data pribadi saat mengakses aplikasi atau online game. Mereka juga perlu memahami etika di dunia digital. Sebab dalam setiap aktivitas di dunia maya, mereka dapat terhubung dengan orang lain melintasi batas budaya maupun wilayah geografis. Artinya, anak-anak perlu diajarkan bagaimana berinteraksi dengan orang lain yang mereka kenal di dunia maya.
Dalam konteks online game, orang tua perlu membatasi waktu anak dalam menggunakan ponsel (screen time). Orang tua dapat menerapkan aturan mengenai kapan dan berapa lama anak diperbolehkan bermain online game. Tidak hanya itu, orang tua juga perlu mengawasi anak saat bermain online game, serta mengenalkan konten game yang sesuai untuk anak.
Orang tua bahkan dapat ikut serta menemani anak saat bermain. Hal ini dapat meningkatkan keterampilan komunikasi pada anak, menumbuhkan kepercayaan anak terhadap orang tua, serta mengurangi dampak negatif dari aktivitas online game.
Selain di rumah, sekolah pun dapat mengajarkan literasi digital, salah satunya melalui pembelajaran berbasis digital. Guru dapat mendorong kreativitas anak dengan memanfaatkan media digital, sekaligus mengajarkan anak untuk memanfaatkannya secara bijak. Guru juga perlu aktif mengawasi peredaran konten atau online game di sekolah yang dapat mempengaruhi perilaku anak, seperti konten kekerasan, pornografi, dan ujaran kebencian.
Dengan memiliki literasi digital, anak akan memiliki kontrol diri yang baik saat beraktivitas di dunia digital, sehingga terhindar dari ancaman kejahatan, termasuk pedofilia.
Andhika Ajie Baskoro, Researcher, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN); Anissa Rizkianti, Researcher, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN); Desy Nuri Fajarningtiyas, Peneliti, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN); Margareth Maya Parulianta Naibaho, Peneliti Muda, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Sari Kistiana, Researcher at Reseach Centre for Population of National Research and Innovation Agency (BRIN), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.