Issues

Watak Orba dalam Birokrasi: Tuntutan Jadi Pro, Upah Tak Adil, Sampai PNS Mundur

Konsep pengabdian adalah konsep usang yang cenderung eksploitatif. Ciri khas Orde Baru untuk menuntut kerja keras, tanpa upah dan penghargaan layak.

Avatar
  • June 16, 2022
  • 5 min read
  • 785 Views
Watak Orba dalam Birokrasi: Tuntutan Jadi Pro, Upah Tak Adil, Sampai PNS Mundur

Belum lama ini media heboh memberitakan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang ramai-ramai mengundurkan diri.

Fenomena ini menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan pemangku kepentingan dan respon dari PNS sendiri di media sosial. Ada pula pejabat dan politikus yang mengungkapkan kekesalan mereka atas kejadian tersebut.

 

 

Pada awal tahun 2022, saya melakukan survei terhadap 212 responden untuk mengidentifikasi motivasi orang-orang mengikuti seleksi CPNS, serta menelusuri berbagai diskursus yang beredar masif di media sosial.

Salah satu poin penting hasil penelusuran adalah bahwa manajemen birokrasi masih berwatak orde baru yang secara praktik sudah tidak sesuai dan relevan dengan generasi muda usia produktif.

Baca juga: Karier Idaman Mertua ke Mundur Massal, Apa yang Kurang dari Sistem CPNS Kita?

Watak Orde Baru: Pengabdian Penuh Tanpa Upah Layak dan Minim Transparansi Informasi

Salah satu paradigma orde baru yang masih melekat di tubuh manajemen birokrasi institusi pemerintahan adalah adanya penekanan konsep “pengabdian”.

Di tengah kondisi perekonomian yang mencekik pekerja di seluruh dunia melalui sistem kontrak atau alih daya, menjadi PNS tentu diyakini dapat memberikan jaminan keamanan pekerjaan (job security) tersendiri.

Para CPNS, yang umumnya adalah generasi muda dengan rentang 20-30 tahun, atau yang kini banyak disebut generasi Y atau milenial dan gen Z, juga menginginkan keamanan kerja.

Namun menariknya, sejalan dengan temuan survei Kementerian PAN-RB, partisipan survei saya juga menyebutkan bahwa selain soal keamanan kerja, tak sedikit dari mereka yang memilih menjadi PNS karena ingin mendedikasikan diri bekerja di pemerintahan. Alasannya karena idealisme maupun karena jurusan yang tidak kompatibel dengan sektor industri.

Mirisnya, rasa keterpanggilan mereka untuk berdedikasi tersebut kerap kali direspon secara kontraproduktif oleh manajemen birokrasi itu sendiri, yang membingkainya dengan istilah “pengabdian”.

Gagasan “pengabdian” tanpa pamrih merupakan gagasan warisan Orde Baru yang problematik karena mencampuradukkan konsep pekerja profesional dengan “abdi dalem” layaknya di kesultanan Jawa.

Padahal, konsep pengabdian adalah konsep usang yang cenderung eksploitatif. Paradoks justru terjadi ketika para elite birokrasi menggaungkan jargon profesionalisme tetapi masih terus mereproduksi gagasan “pengabdian”.

Para CPNS gen Z, juga PNS angkatan milenial yang sudah bergabung lebih lama di birokrasi, umumnya punya idealisme cukup kuat untuk membangun negeri dengan bekerja secara profesional.

Di saat yang sama, mereka ingin mendapat penghidupan yang layak.

Mereka memandang bahwa penghasilan yang ditawarkan saat ini masih belum layak untuk mempertahankan talenta terbaik guna mendukung pelayanan publik yang prima di berbagai sektor pemerintahan.

Akibatnya, tak sedikit dari PNS yang sudah diterima kemudian mengundurkan diri karena penghasilan yang tidak sebanding dengan tuntutan kinerja.

Sementara, pegawai yang bertahan justru mengalami demotivasi dan akhirnya memilih untuk bekerja secukupnya saja (job coasting).

Pihak manajemen birokrasi harus mulai mempertimbangkan penghasilan yang mampu menarik dan memotivasi orang-orang terbaik untuk bertahan dan memajukan pelayanan publik.

Selain perkara paradigma, watak otoriter orde baru juga muncul dalam sistem birokrasi yang mudah memberikan sanksi kepada pegawai maupun calon pegawainya.

Alih-alih mengevaluasi sistem rekrutmen, mereka yang mengundurkan diri malah disuruh membayar sejumlah uang dengan alasan telah “merugikan negara” .

Padahal, selama proses pemberkasan, yang bisa menghabiskan waktu sampai setahun lebih, CPNS harus bisa bertahan hidup dengan menerima 80 persen gaji pokok dengan besaran 2 juta per bulan, bagi lulusan Sarjana (Strata-1). Sementara, mereka dituntut untuk performa kerja yang sama dengan pegawai yang telah resmi berstatus PNS.

Selain itu, tak terhitung banyaknya persoalan lain terkait pembayaran gaji, seperti gaji yang dirapel, tunjangan yang tidak dibayar penuh atau tidak cair selama berbulan-bulan, yang memunculkan rasa ketidakadilan karena minimnya kepedulian manajemen birokrasi kepada PNS.

Padahal, persepsi keadilan kerja sangat memengaruhi keinginan pekerja untuk berkinerja lebih baik dan berkontribusi maksimal.

Merujuk pada praktik di beberapa negara maju, proses rekrutmen CPNS seharusnya didesain secara transparan dengan memberikan informasi terperinci tentang besaran penghasilan tetap yang akan diterima, beserta lokasi penempatan.

Tanpa adanya transparansi soal penghasilan tetap, CPNS hanya dapat mengandalkan informasi umum di situs-situs pemerintah tanpa tahu secara pasti berapa sesungguhnya penghasilan yang akan mereka terima. Hal ini dapat berujung pada kekecewaan dan demotivasi.

Baca juga: Riset: Hanya 23 Persen PNS Perempuan Duduki Jabatan Eselon

Perlunya Sistem Remunerasi yang Layak dan Adil

Ke depannya, pemerintah sebaiknya melakukan transformasi total sistem remunerasi. Ini bisa didahului dengan merealisasikan rencana gaji tunggal atau single salary yang sudah digaungkan sejak 2014.

Elit birokrasi seringkali mengklaim bahwa total remunerasi PNS sudah memadai. Padahal, besaran yang diterima masing-masing PNS sangat bervariasi dan menunjukkan ketimpangan yang tajam antar instansi sehingga berdampak pada iklim kerja yang tidak sehat.

Struktur penghasilan PNS yang cenderung rumit dan bertumpu pada komponen variabel seperti tunjangan kinerja, uang harian perjalanan dinas, uang lembur, dan sejenisnya juga meningkatkan risiko inefisiensi anggaran.

Besaran penghasilan yang tidak tetap membuat kondisi keuangan rumah tangga keluarga PNS tidak pasti dan rentan terjerat utang.

Selain gaji tunggal, transparansi terkait kebijakan penempatan juga diperlukan. Kalimat “bersedia ditempatkan di mana saja” sudah tidak lagi relevan, seharusnya diganti dengan informasi rinci terkait proses penempatan pekerja yang komunikatif dan transparan.

Khusus untuk penempatan di lokasi yang terpencil dan berisiko, perlu ada kompensasi yang layak untuk memotivasi pekerja.

Baca juga: Saya Cina dan Ingin Jadi PNS, Ada yang Salah?

Manajemen birokrasi pemerintahan harus lebih partisipatif dan menghilangkan watak otoriter khas Orde Baru yang tidak sesuai dengan visi birokrasi kelas dunia.

Sejalan dengan semangat reformasi yang digaungkan di awal 2000-an, mereka yang memilih berkiprah di sektor publik harus diperlakukan layaknya pekerja profesional. Mereka juga mesti diberi imbalan yang layak dan konsisten dengan semangat profesionalisme dan integritas sektor publik..

Tanpa imbalan yang layak dan adil bagi pekerja, berbagai jargon seperti birokrasi bersih, melayani, dan bebas korupsi hanya akan menjadi jargon kosong.The Conversation

 

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.



#waveforequality


Avatar
About Author

Kanti Pertiwi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *