Piper ‘White Lotus Season 3’ dan Sindiran Wisata Spiritual Ala Kulit Putih
Lewat karakter Piper, kita kembali menonton Mike White menelanjangi kekonyolan kolonialisme spiritual ala orang-orang kulit putih. Kali ini lewat Buddhisme di Thailand

Sejak Eat, Pray, Love menjadi fenomena budaya pada awal 2010-an—lewat novel dan film laris yang dibintangi Julia Roberts—pencarian spiritual perempuan kulit putih di negara-negara eksotis telah berubah dari pengalaman personal menjadi gaya hidup global.
Bali, India, dan Italia bukan lagi sekadar destinasi, tapi simbol dari “transformasi batin” yang dikemas apik dan dapat dibeli, lengkap dengan yoga, nasi organik, dan latar Instagramable.
Gaya hidup ini, meski dikemas sebagai pencarian makna, justru menempatkan budaya non-Barat sebagai latar belakang bagi proses individualisme liberal Barat dan komoditas rohani. The White Lotus sejak musim pertamanya menelanjangi paradoks ini, dan di musim ketiga, yang berlokasi di Thailand, tema ini dibawa ke level yang lebih personal dan brutal lewat karakter Piper Ratliff (Sarah Catherine Hook).
Baca Juga: Memperbesar Volume Perempuan dalam Film Indonesia
Perempuan Kulit Putih dan Wisata Spiritual Mereka di ‘Negara Ketiga’
Piper adalah mahasiswa pascasarjana yang memanipulasi keluarganya agar berlibur ke Thailand dengan kedok riset tesis tentang Buddhisme. Tapi sebenarnya, dia ingin melakukan ‘perjalanan spiritual’, mencari pencerahan dengan mempertimbangkan menjalani kehidupan monastik—mencoba hidup sebagai seorang Buddhis. Keputusan ini ia buat di tengah ketidaktahuannya bahwa sang ayah, Tim (Jason Isaacs), diam-diam terjerat skandal keuangan serius yang berpotensi menghancurkan kestabilan finansial keluarga mereka.
Sementara itu, kakak tertuanya, Saxon (Patrick Schwarzenegger), adalah karikatur nyata dari pria kulit putih ivy league—super-percaya diri, meledak-ledak, dan mengagung-agungkan gaya hidup berlebihan. Ibunya, Victoria (Parker Posey), sepanjang serial tampak clueless; ia bahkan mengira Thailand adalah Taiwan dan berharap Piper tidak jadi seorang Buddhis.
Namun di akhir cerita, Victoria justru menjadi karakter yang paling memahami siapa Piper sebenarnya. Dalam dialog penting di episode terakhir, ia berkata, “In the history of civilization, no one has lived more comfortably than our kind. The least we could do is enjoy it. Wasting it would be offensive.”
Kalimat ini, meski terdengar jujur dari sudut pandang mereka, dengan tajam menggarisbawahi absurditas dan kesenjangan yang ada antara mereka dan realitas tempat yang mereka datangi.
Hal yang awalnya dimaksud Piper sebagai “perjalanan spiritual” berujung pada kenyataan pahit bahwa hidup sebagai Buddhis bukanlah eksotis atau estetis seperti yang ia bayangkan.
Kehidupan biara di Thailand menuntut disiplin, kesunyian, dan pelepasan ego—sesuatu yang tak kompatibel dengan hidupnya yang penuh privilese. Dan ketika realitas ini terlalu berat untuk ditanggung, ia pun mundur perlahan, kembali ke dunia nyaman yang ia kenal. Hook menyebut Piper, “akhirnya menyadari bahwa ia lebih mirip ibunya daripada yang ia kira,” dalam interviewnya dengan People.
Ungkapan itu jadi sebuah refleksi jujur tentang bagaimana pencarian identitas sering kali hanya berputar-putar dalam orbit kemapanan kelas sosial, yang tak kita sadari begitu kuat mengikat.
Baca Juga: Spiritualitas Bukan Kecerdasan Tapi Ketekunan
Umur Panjang Kolonialisme dalam Pariwisata
The White Lotus secara cerdas menggunakan lokasi “eksotis”—Hawaii, Sisilia, Thailand —bukan hanya sebagai latar estetis, tapi sebagai metafora tentang bagaimana kolonialisme budaya masih hidup dalam bentuk baru. Ketika para tamu kulit putih datang dengan harapan akan “dipulihkan” oleh budaya lokal, mereka sebenarnya mengulang narasi lama: Menjadikan budaya non-Barat sebagai alat untuk penyembuhan diri, bukan sebagai entitas yang dihormati dengan kedalaman dan kompleksitasnya.
Dalam kacamata akademik, fenomena ini bukan hal baru. N. Leite (2014) dalam kajiannya tentang turisme ayahuasca menjelaskan bahwa wisatawan Barat sering kali mencari “pengalaman spiritual” dalam budaya non-Barat secara konsumtif, tanpa keterlibatan yang sungguh-sungguh.
Sementara itu, M. Mostafanezhad (2013) menyoroti bagaimana dalam program volunturisme di Thailand, narasi self-redemption dari wisatawan kulit putih justru kerap memperkuat relasi kuasa dan eksotisasi budaya lokal. Ia mengamati bagaimana wisatawan membawa narasi mereka sendiri tentang “membantu” atau “menyatu” dengan budaya lokal, padahal sering kali tak lebih dari ekspresi superioritas moral yang terselubung.
The White Lotus, melalui Piper, merepresentasikan hal ini secara kompleks dan manusiawi — ia bukan penjahat, bukan pula korban, tapi simbol dari paradoks seorang idealis, yang ingin berubah tanpa benar-benar kehilangan kenyamanan.
Piper, dalam konteks ini, adalah figur yang nyaris tragis: Dia tahu sistem yang ia warisi korup dan eksklusif, tapi ia tak cukup kuat—atau tak cukup mau—untuk benar-benar meninggalkannya. Ia bukan parodi ekstrem seperti beberapa karakter lain di The White Lotus, tapi justru representasi paling realistis dari banyak orang muda liberal hari ini.
Ia menginginkan spiritualitas, tapi dengan Wi-Fi stabil dan kamar mandi berpemanas air. Ia ingin merasakan transendensi, tapi tanpa kehilangan status sosial. Dan ketika realitas memaksanya memilih, dia memilih yang familiar: Privilese.Ironi dari storyline Piper adalah: Ia memang menemukan siapa dirinya di Thailand—bukan sebagai sosok yang tercerahkan, tapi sebagai seseorang yang tak bisa melepaskan kenyamanan. Dan mungkin, dalam kejujuran yang menyakitkan itu, The White Lotus menunjukkan kepada kita bahwa pencarian spiritual yang paling sejati justru adalah ketika kita berani mengakui hal-hal yang tak ingin kita ubah dari diri kita sendiri.
