Tubuh Bukan Milik Negara: Pesan Kolektif dari Women’s March 2025
Praktik kekerasan negara kerap dimulai dari tubuh warganya. Pernyataan yang keluar dari Ally Anzi, Koordinator Women’s March Jakarta itu tampaknya bukan pepesan kosong. Hari-hari ini kasus penyiksaan, penghilangan, hingga penangkapan orang-orang yang vokal relatif marak terjadi.
“Kasus penghilangan hingga penangkapan aktivis yang menyuarakan pendapatnya di media sosial, hanya karena Story Instagram diartikan bahwa negara merasa mempunyai tubuh-tubuh kita. Sehingga, (negara) seenaknya menangkap,” ujar Ally kepada Magdalene (28/9).
Pernyataan Ally sejalan dengan catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Dari gelombang demonstrasi pada 25–31 Agustus 2025 di 20 kota, termasuk Jakarta, tercatat sedikitnya 3.337 orang ditangkap. Sebanyak 1.042 di antaranya mengalami luka-luka akibat kekerasan aparat dan harus dilarikan ke rumah sakit.
Angka tersebut pun belum menghitung korban yang mengalami penyiksaan saat proses penangkapan. Menurut Ally, angka ini menggambarkan bagaimana negara dengan mudah mengeklaim kendali atas tubuh dan kebebasan berekspresi warganya.
Kriminalisasi terhadap para pembela hak asasi manusia (HAM), imbuh dia, hanyalah wajah baru dari pola lama. Maksudnya, negara memperlakukan tubuh warga seolah-olah miliknya sendiri, sesuatu yang bisa diatur dan dikendalikan.
Kontrol itu paling nyata dirasakan perempuan. Mulai dari akses kontrasepsi yang dipersulit, layanan aborsi aman yang terbatas, hingga Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang berpotensi membatasi hak reproduksi perempuan.
“Banyak sebetulnya peraturan dan undang-undang negara yang mengatur tubuh-tubuh perempuan dan rakyat Indonesia, juga ekspresi-ekspresi, termasuk ekspresi gender yang dilarang. Jadi banyak represi pemerintah itu sebetulnya dimulai dari merepresi tubuh-tubuh yang seharusnya memang ada dan beragam,” jelas Ally.
Karena itulah, tema “Tubuh Bukan Milik Negara” yang diusung Women’s March Jakarta (WMJ) 2025 lahir dari keresahan tersebut. Bagi mereka, represi terhadap tubuh berarti juga membatasi akses kelompok marjinal terhadap hak-hak dasarnya.
Baca juga: Kalau Perempuan Turun ke Jalan, Artinya MBG Memang Sudah Gawat
Hak-kak Kelompok Marjinal yang Diabaikan
“Rosa” (nama disamarkan), transpuan yang ikut turun ke jalan dalam WMJ 2025 bilang, kehadirannya dilandasi keresahan sejak lama. Baginya, menjadi transpuan di Indonesia berarti hidup dalam keterbatasan akses, terutama dalam urusan pekerjaan.
“Transpuan itu kan juga warga negara Indonesia yang berhak mendapatkan hak-hak kita sebagai warga negara Indonesia. Seperti hak pekerjaan dan pendapatan yang layak, serta hak hidup,” ujar Rosa.
Selama ini, ia hanya bisa bekerja di sektor informal, mulai dari pasar hingga toko plastik. Kesempatan bekerja di sektor formal hampir mustahil didapatkan, bukan karena tak memiliki keterampilan, tapi juga lantaran identitas gendernya.
“Ibaratnya ada pekerjaan, kita juga harusnya ada lowongan. Padahal kita juga sebagai transpuan itu punya keterampilan masing-masing,” tambahnya.
Kisah Rosa mencerminkan betapa akses terhadap hak dasar kerap tertutup bagi kelompok dengan identitas gender dan seksualitas beragam. Raham dari Transmen Indonesia saat berorasi di Women’s March Jakarta 2025 menegaskan, akar persoalan ini tak lepas dari queerfobia yang masih mengakar kuat di masyarakat.
“Sudah banyak penderitaan yang didapatkan oleh kami. Kami nggak bisa sekolah karena kami dibully. Kami harus berhenti, terpaksa berhenti. Karena kami nggak sekolah, kami juga sulit sekali mendapatkan akses ke pekerjaan yang layak,” ucap Raham.
Situasi serupa juga dirasakan Dian, perempuan dengan disabilitas netra low vision. Usianya kini 34 tahun, namun kesempatan untuk bekerja secara layak baru datang belakangan ini.
Syarat usia yang kerap dibatasi oleh perusahaan membuatnya berulang kali terhalang. “Tapi ternyata sulit untuk mendapat pekerjaan ditambah lagi umur. Saya sekarang sudah berusaha 34 tahun tapi kesempatan ini baru ada sekarang,” ujarnya.
Dian pernah bekerja sebagai guru TK pada 2018. Namun, diskriminasi dari wali murid membuat posisinya tidak pernah dianggap pantas. Alih-alih mengajar di kelas, ia justru dialihkan perannya oleh kepala sekolah menjadi helper: Membantu anak-anak ke toilet, mengejar murid yang berlarian, atau melerai yang berkelahi.
Pekerjaan itu jauh dari harapannya untuk mengajar, dan membuatnya merasa tidak dihargai sebagai guru. Ia bertahan hampir dua tahun sebelum akhirnya memilih mengundurkan diri.
Kesempatan lain datang dari sebuah bank swasta yang mengklaim ramah disabilitas. Tetapi, pekerjaan itu ternyata tidak memberikan gaji tetap, melainkan berbasis komisi dari jumlah nasabah.
Kini ia mengandalkan pekerjaan serabutan untuk bertahan hidup. Mulai jadi penyanyi panggilan hingga trainer di startup yang bergerak di isu disabilitas. Namun pendapatannya jauh dari cukup.
“Saya paling sering dapat 500 ribu sekali pelatihan, tapi enggak pasti. Dan karena saya dari startup jadi otomatis mereka potong juga,” kisah Dian.
Kisah Dian menunjukkan bagaimana tubuh disabilitas kerap ditempatkan dalam posisi subordinat. Mereka dianggap tidak layak untuk menduduki pekerjaan formal, hanya dihargai setengah, bahkan dipaksa menerima syarat kerja yang eksploitatif.
Pola yang sama juga membayangi perempuan lainnya, yang kerap terjebak dalam lingkar kekerasan dan kerentanan ekonomi akibat lemahnya perlindungan negara.
Baca juga: Kami Turun ke Jalan karena Kami Marah: Inklusif di Tengah Gempuran Rezim Opresif
Perempuan dalam Lingkar Kekerasan
Perempuan secara struktural juga kerap menanggung dampak kekerasan yang dilakukan negara, kekerasan itu acapkali disembunyikan melalui jargon pembangunan dan janji kesejahteraan untuk kelompok yang terpinggirkan.
Perempuan yang bekerja dalam sektor perawatan, baik pekerja rumah tangga, buruh migran, hingga guru honorer menjadi kelompok terpinggirkan dan berkali lipat lebih rentan terhadap eksploitasi. Kekerasan yang menimpa mereka tidak hanya berbentuk fisik tetapi juga menjelma jadi berbagai bentuk. Misalnya hak pekerja yang tidak dipenuhi, upah rendah, hingga kekerasan seksual.
Rancangan Undang-Undang Pekerja Perlindungan Rumah Tangga (RUU PPRT) hingga hari ini belum disahkan kendati sudah diajukan sejak 2004. Artinya negara menunjukkan rendahnya komitmen untuk memenuhi pengakuan dan perlindungan kerja reproduktif dan perawatan yang banyak dibebankan kepada perempuan.
Jumisih dari Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) di Konferensi Pers Women’s March Jakarta 2025 pada (26/9) pun angkat bicara.
“Kita menagih janji para politisi dan presiden terpilih yang katanya akan mengesahkan RUU PPRT. Padahal, apa jadi hidup mereka dan hidup kita semua tanpa kerja-kerja perawatan yang dilakukan oleh perempuan, termasuk PRT. Jasa mereka tidak dinilai sehingga upahnya minim, kerjanya rentan dieksploitasi dan mendapatkan kekerasan.”
Tidak ubahnya para perempuan pekerja rumah tangga, hal serupa juga terjadi kepada perempuan pekerja yang harus bekerja di luar negeri untuk memenuhi kebutuhan hidup, selain hak dasar yang tidak terpenuhi mereka juga banyak mengalami kekerasan seksual.
Sementara itu, Yuniarti, Koordinator Advokasi dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) bilang pemaksaan alat kontrasepsi menjadi prosedur wajib yang dilakukan negara agar dapat bekerja di luar negeri. Praktek ini dianggap membahayakan kesehatan sekaligus merampas hak perempuan pekerja atas kesehatan seksual dan reproduksi.
Cerita tak jauh berbeda soal hal yang tidak dipenuhi oleh negara juga dialami oleh Andily, perempuan guru untuk anak disabilitas lewat orasinya di Women’s March Jakarta 2025. Ia menggambarkan beban berat yang harus diembannya karena upah rendah serta stigma yang terus melekat.
Sebagai perempuan guru disabilitas ia mengalami kerentanan berlapis. Profesinya sebagai guru disabilitas disebut sebagai shadow teacher. “Kami dianggap bayangan, seolah-olah siswa disabilitas tidak penting. Padahal kami punya otoritas untuk mendidi, sebutan shadow teacher diskriminatif dan belum diakui undang-undang sehingga guru disabilitas tidak dapat menuntut upah yang layak.”
Aksi Inklusif WMJ 2025
Sebagai aksi yang memprioritaskan ruang aman dan memberikan ruang untuk kelompok rentan, Women’s March Jakarta tidak hanya memprioritaskan perempuan, tetapi juga kelompok ragam gender seksualitas, disabilitas, hingga anak-anak untuk hadir dan bersuara serta mengekspresikan tuntutan mereka.
Ally bilang bahwa aksi WMJ memang diniatkan sebagai aksi politik yang terbuka untuk siapa saja. “Ruang ekspresi itu untuk siapa saja, termasuk perempuan dengan beban ganda, teman-teman disabilitas, dan kelompok ragam gender yang biasanya tidak diakomodir oleh ruang publik lain,”
Hal ini serupa dengan apa yang diungkapkan oleh Dian, orang dengan disabilitas netra low vision. Ia merasa terbantu karena panitia menyediakan kacamata khusus. Dari pengamatan melalui kanal sosial media Women’s March Jakarta, mereka juga secara serius mengakomodir kebutuhan peserta disabilitas yang didata melalui formulir.
Keterlibatan anak juga tampak hadir dalam aksi ini. Ebi dan Annisa turut serta membawa anak mereka dalam aksi. Bukan tak beralasan, mereka ingin agar apa yang mereka lakukan tak hanya menjadi simbol tetapi juga pendidikan politik anak sejak dini.
“Kami ingin menanamkan kesadaran sejak awal di keluarga. Anak juga punya hak untuk mengejawantahkan agensinya dan haknya sebagai warga negara. Karena sering kali isu soal anak, terutama anak perempuan, hanya jadi afterthought. Padahal anak-anak harus dilibatkan dalam keputusan yang menyangkut hidup mereka,” ujar Ebi.
Aksi WMJ 2025 tidak sekedar aksi jalanan tetapi juga ruang kolektif perlawanan dari ragam kelompok untuk bersuara. Aksi ini menjadi pengingat bahwa perjuangan feminis tidak bisa eksklusif, melainkan harus merangkul semua lapisan masyarakat yang terdampak ketidakadilan.
















