Safe Space

Yang Bisa Kita Pelajari dari ‘Birthcare Center’: Tak Ada Kriteria Khusus Jadi Ibu yang Baik

Birthcare Center seakan-akan meminta Ibu baru untuk menjadi Ibu yang sempurna

Avatar
  • April 14, 2023
  • 6 min read
  • 1144 Views
Yang Bisa Kita Pelajari dari ‘Birthcare Center’: Tak Ada Kriteria Khusus Jadi Ibu yang Baik

Birthcare Center seakan-akan meminta Ibu baru untuk menjadi Ibu yang sempurna. Ada kategori Ibu di Birthcare Center, Serenity. Ibu yang berada di gerbong kelas 1 adalah ibu yang berhasil melahirkan secara normal, memberikan asi langsung, serta mengeluarkan asi dengan jumlah yang banyak. Sementara Ibu yang melahirkan sesar, memberikan susuformula, serta tidak mengasilkan asi yang banyak akan dikategorikan sebagai Ibu gerbong kelas buntut. Kriteria-kriteria itu hanya membuat berberapa ibu merasa kucil atau rendah diri. Citra Ibu sempurna yang berada di gerbong kelas 1 pun menjadi rebutan di Birthcare Center.

Tentang Ibu sempurna, ada berberapa kutipan menarik dari para psikolog tentang Ibu, perempuan, dan istri. Alfred Alder berbicara tentang rasa rendah diri (inferioritas) yang mengungkapkan, “Tidak ada istri yang sempurna, tidak ada Ibu yang sempurna, tidak ada perempuan yang sempurna, yang ada adalah menjadi dan mencintai diri sendiri.” Kutiapan ini bahkan sejalan dengan akhir cerita dari Birthcare Center yang mengatakan bahwa seorang ibu tidak harus sempurna, ibu cukup menjadi bahagia dan menularkan kebahagian kepada anaknya.

 

 

Lebih lanjut, dalam buku Ester Lianawati yang berjudul Ada Serigala Betina Dalam Diri Setiap Perempuan: Psikologis Feminis untuk meretas patriariki mengutip tulisan dari Donald Winnicott yang mengatakan, “tidak ada ibu yang sempurna, tidak ada ibu yang baik. Yang ada dan yang diperlukan seorang anak hanyalah ibu yang cukup baik (good enough mother), yang mampu memenuhi kebutuhan anaknya secara seimbang, tidak kurang, tidak lebih, tidak mencari kesempurnaan karena malah justru akan menjadi tidak baik” (Lianawati, p.222)

Membangkitkan rasa bersalah pada diri perempuan. Hal itu karena menjadi perempuan ternyata harus memilih dan memutuskan. Berberapa poin yang bisa ditangkap dari K-drama Birthcare Center tentang membangkitkan rasa bersalah pada diri perempuan adalah:

Perempuan harus memilih antara karir dan anak. Sebelum memutuskan untuk memiliki anak, kebanyakan perempuan pasti sedang memiliki karir. Ada yang tengah dipuncak karir, bahkan ada pula yang baru saja menapaki karir. Kemudian, perempuan hamil. Terjadi banyak perubahan realita yang terjadi di sekeliling perempuan. Selain dari perubahan bentuk tubuh, perubahan sosial juga memengaruhi perempuan. Hal ini kemudian membuat perempuan harus memilih antara karir atau anak. Jika ingin terus berkarir, maka Ibu harus merelakan anaknya untuk diasuh oleh orang lain. Namun, jika Ibu tidak berkarir, maka ibu pun akan mengalami stress. Hal tersebut tentu menghasilkan dampak buruk dan baik yang imbang diantara pilihan-pilihan tersebut.

Perempuan harus memilih untuk melahirkan normal atau sesar. Hal ini cukup unik, karena kebanyakan orang yang tidak hamil (orang tua, mertua, bahkan suami) justru memilih agar perempuan melahirkan normal dengan berbagai alasan yang logis. Sementara, jarang sekali perempuan didengarkan pendapatnya. Melahirkan normal dan sesar kemudian menjadi tolak ukur di masyarakat untuk menilai perempuan ini sempurna atau tidak sempurna. Cukup konyol, bukan? Alih-alih mempertimbangkan tolak ukur masyarakat, orang-orang sekitar perempuan hamil harus mempertimbangkan pendapat perempuan itu sendiri, serta melihat kondisi perempuan, apakah benar ia mampu melahirkan secara normal? Ataukah ada pertimbangan lain yang membuatnya harus melahirkan secara sesar.

– Setelah melahirkan dengan sesar ataupun normal, perempuan masih harus memilih akan menyusui langsung dari badan atau memberikan formula. Banyak masyarakat memang menganjurkan jika anak harus diberikan asi secara langsung. Namun, dalam K-drama Birthcare Center, seorang Ibu bernama Lee Ru Da justru memberikan pernyataan menohok tentang dirinya yang berhak memutuskan jika harus memberikan susu formula atau asi pada anaknya. Lee Ru Da memutuskan untuk memberikan susu formula, karena ia tidak menyukai perubahan terhadap dirinya. Banyak orang akan menilai jika Lee Ru Da sangat egois, akan tetapi pernyataan Lee Ru Da tidak juga salah. Le Ru Da justru menujukan sisi terbaik dari perempuan, yaitu dapat memutuskan apa yang terbaik untuk dirinya sendiri, namun bukan sikap yang egois.

– Selanjutnya, perempuan diminta untuk memilih tentang pengasuhan anaknya. Seorang Ibu karir pasti akan memilikirkan untuk mencari pengasuh dan hal ini bertolak belakang dengan Ibu yang secara penuh waktu berada di rumah. Bagi Ibu yang sedang berkarir, ia tidak bisa merelakan karir begitu saja karena untuk mencapai pada titik tersebut sudah banyak yang ia korbankan. Terkesan egois, tetapi apa yang ia pikirkan tentang karirnya pun adalah keputusan yang baik. Demikian pula Ibu yang secara penuh waktu berada di rumah dan tidak membutuhkan pengasuh. Tidak ada yang salah pada keputusan seorang ibu yang ingin mengasuh anaknya sendiri.

Masih banyak lagi poin-poin yang bisa membangkitkan rasa bersalah pada diri perempuan yang mungkin luput dari pengamatan ketika saya menonton Birthcare center. Akan tetapi, poin-poin yang sudah saya jabarkan diatas merupakan hasil yang dapat membangkitkan rasa bersalah pada diri perempuan jika keputusan yang diambil tidak sejalan dengan keinginan masyarakat. Sederhananya, masyarakat menginginkan perempuan tentu harus memiliki seorang anak, yang melahirkan secara normal, memberikan asi badan, serta mengurus anaknya seorang diri. Perempuan dinilai tidak baik atau sempurna jika tidak memiliki anak. Padahal segala keputusan yang baik bagi masyarakat belum tentu membahagiakan perempuan. Mengutip tulisan lama dari Simone de Beauvoir yang mengatakan, “kita tidak terlahir perempuan, tetapi kita menjadi perempuan.” Tuntutan masyarakat terkadang tidak sejalan dengan keinginan perempuan. Hal ini tentu saja merugikan perempuan disatu sisi.

Selain itu, perempuan diminta untuk memilih dan membuat keputusan yang tidak egois karena harus memilikirkan anak, suami, serta keluarga besar. Hal ini tentu memberatkan perempuan. Sebelum memiliki anak, segala keputusan dibuat dengan begitu mudah. Hal ini mungkin saja disepakati oleh Gwendolyn T. Sorrel & Marilyn J. Montgomery (2001) yang mengungkapkan jika pengalaman sebagai ibu mungkin memengaruhi identitas seorang perempuan. Perempuan pun mulai kehilangan identitasnya dalam membuat keputusan bagi dirinya sendiri.

Singkatnya, jalan cerita K-drama Birthcare Center sudah menujukan citra perempuan dan laki-laki pada kesejajaran. Seorang perempuan memang membutuhkan bantuan dan dukungan seorang suami setelah melahirkan. Seorang perempuan yang baru saja melahirkan dan menganti status dari istri menjadi seorang Ibu melalui fase yang sebenarnya sulit dijelaskan hanya dengan kata-kata. Ibu baru akan merasa tidak disayangi oleh suami, karena bentuk tubuh yang berubah. Ibu baru tentu saja merasakan tidak dicintai suami, karena merasa tidak lagi menarik. Disini, peranan seorang suami tentu sangat penting. Sehingga, menurut saya, Birthcare Center ini layak ditonton bagi orang tua baru atau calon orang tua agar dapat saling mendiskusikan terkait kesiapan orang tua / calon orang tua dalam menyambut kehadiran anak. K-drama ini sangat cocok untuk dijadikan bahan diskusi antar pasangan agar lebih siap menghadapi fase kehidupan sebagai orang tua.

Lebih lanjut, mari kita saling mematahkan stigma yang dikemukan oleh Erik Erikson tentang laki-laki yang definisinya ditentukan oleh sejauh mana mereka mampu (how they can be) dan perempuan didefinisikan dari apa yang dapat mereka lakukan (what they can be). Melakukan diskusi bersama pasangan mengenai kesiapan hingga kecemasan dalam persiapan memiliki anak tentu sangat bermanfaat bagi para calon orang tua. Sehingga, menonton k-drama Birthcare Center sekiranya mampu menjadi bahan diskusi yang menarik bagi para calon orang tua dan orang tua baru di luar sana.

References:

Lianawati, Ester. 2020. Ada Serigala Betina Dalam Diri Setiap Perempuan: Psikologis Feminis untuk Meretas Patriarki. Yogyakarta: Buku Mojok Group.

Park, So Won., Kim, Ji Soo. 2020. Birthcare Center. Netflix.



#waveforequality


Avatar
About Author

Ira Karunia

Ira (28 tahun) seorang guru yang gemar belajar. Ia menyukai isu-isu perempuan, budaya, dan Pendidikan. Ia bukan seorang penulis handal, hanya penulis pemula yang senang membagikan ide-ide melalui tulisannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *