December 17, 2025
Issues Politics & Society Technology

Perburuan Senyap di Ruang Digital Pasca-Aksi Agustus 

Pasca aksi Agustus 2025, ratusan orang kini menjalani proses persidangan. Mereka ditangkap terpisah-pisah. UU ITE jadi jerat yang paling sering digunakan.

  • November 27, 2025
  • 3 min read
  • 943 Views
Perburuan Senyap di Ruang Digital Pasca-Aksi Agustus 

Kita semua mungkin masih ingat dengan aksi akhir Agustus dan awal September 2025 di pelbagai kota. Kala itu massa berdemonstrasi setelah isu kenaikan tunjangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) naik ke permukaan. Masyarakat juga membawa ragam tuntutan lain ke pemerintah, dari korupsi hingga kesulitan ekonomi. Rentetan demo ini sempat terekskalasi selepas Affan Kurniawan, pengemudi ojek online, tewas digilas kendaraan rantis Brigade Mobil (Brimob). 

Setelah bulan berganti, pemberitaan mengenai demonstrasi mulai reda. Namun, di balik senyap, aparat terus menangkap sejumlah warga yang dianggap terlibat dalam aksi maupun percakapan digital seputar demonstrasi. 

Catatan SAFEnet per November 2025 menunjukkan, 6.719 orang ditangkap sejak aksi Agustus berlangsung hingga setelahnya. Dari jumlah itu, 959 orang ditetapkan sebagai tersangka, dan 295 di antaranya masih berusia anak-anak. 

Baca juga: Perempuan dan Kejahatan Digital: Ancaman Nyata di Era Online 

Unggahan Biasa yang Berbuah Dakwaan 

Di balik puluhan nama yang kini menjalani proses hukum, Balqis Zakiyyah, Analis Hukum dan Kebijakan SAFEnet, menjelaskan banyak dari mereka dijerat karena unggahan sederhana di media sosial. Dalam Media Briefing “Menyoal Penegakkan UU ITE Pasca Revisi Kedua dan Transisi Menuju KUHP Baru” (26/11), ia bilang, cuitan, video, dan dokumentasi aksi menjadi alasan paling umum lahirnya pelaporan. 

Beberapa laporan datang dari unggahan pos bantuan hukum di Delpedro, hingga ajakan demonstrasi yang diunggah Blok Politik Pelajar. Namun penetapan tersangka tak hanya muncul dari laporan masyarakat. Jaksa penuntut umum juga mengajukan dakwaan berdasarkan apa yang diunggah warga di akun pribadi mereka. Misalnya, video seseorang memasang poster “1312” di jalan, video akal imitasi (AI) yang menggambarkan polisi berjalan mundur sebagai kritik yang diarahkan pada Kapolri, hingga cuitan tentang aksi yang seharusnya dilakukan di bandara. 

Kasus serupa juga menimpa Laras Faizati, yang kini menjalani proses hukum di daerahnya setelah mengunggah story Instagram bernada satir pasca-wafatnya Affan Kurniawan. Bersama tiga orang lainnya, ia masuk dalam daftar warga sipil yang dihadapkan pada dakwaan akibat ekspresi digital mereka. 

Kebanyakan dakwaan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagai dasar hukum. Beberapa warga bahkan terkena kombinasi UU ITE dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal-pasal yang paling sering dipakai aparat antara lain Pasal 28 ayat (2) tentang larangan menyebarkan informasi bernuansa SARA, serta Pasal 28 ayat (3) mengenai pemberitahuan bohong yang dapat menimbulkan kerusuhan. Dari KUHP, Pasal 160 tentang penghasutan menjadi rujukan utama. 

Balqis mengatakan tren kriminalisasi ekspresi digital telah meningkat sejak 2021. Pada 2024 saja, jumlah kasus naik dari 126 menjadi 170. Dengan gelombang penangkapan pasca-Aksi Agustus, ia memperkirakan angka 2025 dan tahun-tahun berikutnya berpotensi lebih tinggi.  

Baca juga: Rencana Aturan Pembatasan Medsos Buat Anak: Terlalu Ketat dan Tidak Tepat

“Pencari-carian kambing hitam masih dilakukan hingga hari ini,” ujarnya. 

Di tengah meningkatnya penangkapan ini, kekecewaan juga datang dari Andi Hidayat, Koordinator Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE). Ia menilai ruang digital, khususnya media sosial, semestinya menjadi sarana pertukaran informasi yang bebas dan bermanfaat antarwarga. Namun kini ruang itu terasa tidak lagi aman. 

“UU ITE dan KUHP, apalagi yang baru ini disahkan, membuat media-media digital jadi tempat yang lebih rentan. Padahal hari ini, ruang-ruang itu jadi tempat yang bisa dengan cepat menyebarkan informasi ke sesama rakyat. Dan kini ruang itu dilirik oleh pemerintah,” kata Andi. 

Chikita Edrini Marpaung dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers juga menyayangkan praktik penegakan hukum yang melebar. Menurutnya, UU ITE sejak awal diproyeksikan untuk transaksi elektronik, bukan sebagai instrumen pemidanaan ekspresi warga sipil. 

“Selain trias politika kita problematik, dari awal UU ITE sudah tidak sesuai dengan kapasitasnya. Sejak awal UU ITE itu semestinya untuk transaksi elektronik,” pungkasnya. 

About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah lulusan Psikologi dan Kajian Gender UI yang punya ketertarikan pada isu gender dan kesehatan mental. Suka ngopi terutama iced coffee latte (tanpa gula).