Culture

Memaknai lagi Maskulinitas dalam ‘Mask Off: Masculinity Redefined’

Dalam ‘Mask Off: Masculinity Redefined’, JJ Bola membongkar sejarah maskulinitas dan coba mendefinisikannya lagi.

Avatar
  • May 25, 2022
  • 7 min read
  • 599 Views
Memaknai lagi Maskulinitas dalam ‘Mask Off: Masculinity Redefined’

Jika patriarki menjadi semacam kutukan seumur hidup bagi perempuan, maka maskulinitas adalah sekubik pasir yang menyesaki jantung laki-laki sepanjang waktu oleh apa yang disebut beban kultur: Sesuatu yang kemudian mencetak dan menyetir tubuh laki-laki menjadi mesin penghancur bagi perempuan, sesama laki-laki, identitas lain, bahkan dirinya sendiri.

Sebaliknya, laki-laki yang secara perlahan memindahkan maskulinitas dari jantungnya akan disebut sebagai pecundang, yang-aneh sekaligus yang-lemah, dan kerap kali, ia hanya akan berakhir di tali gantungan. Mungkin itulah yang ingin disampaikan JJ Bola dalam bukunya Mask Off: Masculinity Redefined (Pluto Press, 2019).

 

 

Sebuah buku tipis yang melung. Buku ini termasuk dalam seri Outspoken dari penerbit Pluto Press, yang mana mereka menyebutnya sebagai “punchy political books for young people”. Begitu juga dengan Mask Off: Masculinity Redefined—yang ambil bagian dalam meramaikan gejolak pemikiran maskulinitas modern dewasa ini.

Di buku ini, JJ Bola melakukan eksplorasi pelacakan atas penciptaan mitos maskulinitas sampai pada dunia pasca-sentuh dan ruang privat di kotak pesan sosial media. Melalui patahan budaya non-barat, kobaran politik, cinta dan seksualitas, olahraga kompetitif, kekerasan, dan kesehatan mental, JJ Bola menemukan maskulinitas sebagai sesuatu yang toksik, rentan, dan berada dalam krisis.

Baca Juga: Setop ‘Book Shaming’, Berikut 5 Manfaat Baca Novel Fiktif

Dari judulnya, memang terlintas seperti bacaan yang ditujukan hanya untuk laki-laki. Namun tidak demikian. Terdapat beberapa poin penting yang disampaikan penulis dan layak dibaca siapa saja: perempuan, laki-laki, trans, bahkan non-binary. Misalnya, tentang pembongkaran dan pemaknaan kembali kata masculinity yang solid menjadi masculinities yang fluid, dan sebagainya.

Berangkat dari pengalaman JJ Bola sendiri (seorang congolese) yang dianggap gay dan dicaci maki karena berpegangan tangan dengan pamannya di salah satu jalan di London Utara dan pertanyaan, “Bisakah maskulinitas ‘lebih jinak’ jika patriarki menemui ajalnya?”, JJ Bola membentangkan spekulasi dan kemungkinan-kemungkinan terkait maskulinitas menjadi beberapa babak yang saling terhubung.

Pertama, di awal buku ini, JJ Bola seakan mengambil lembar dokumen mitos-mitos maskulinitas yang padat kemudian membakarnya. Tentu, ia melakukan semua itu dengan kepala jejeg mengingat mitos-mitos tersebut nyaris menempati segala macam ruang, melintasi batas imajiner sebuah negara dan bahasa. 

Meskipun setiap kebudayaan mempunyai definisi yang berbeda tentang maskulinitas, namun semuanya seakan memiliki nyaring komunikasi mitos yang sama. JJ Bola merekam komunikasi mitos tersebut menjadi beberapa kredo: real man, men are trash, nice guy, man up, that’s gay, men don’t cry, men are stronger than women, men are logical (women are emotional), dan men have a higher sex drive. Semuanya merupakan bentuk arogansi dalam selubung ethics of rights.

Komunikasi mitos macam itu mungkin juga terjadi dalam bangunan cetak pikiran tentang feminitas. Sebab keduanya berasal dari sumber yang sama: abstraksi nilai subjek-objek melalui penundukan terhadap tubuh dan hal lainnya. Untuk menunjang superioritas nilai subjek, diperlukan objek sebagai pembuktian terhadap yang-lemah dan yang-kuat. Keduanya berkelindan, namun tidak dengan relasi yang sehat. Bahkan boleh dibilang mendekati arogansi terhadap objek yang kerap kali terasa normal sebab distribusi masif yang tersisip dalam produk-produk budaya dan lainnya. Sejak itulah, dalam hal ini, maskulinitas didefinisikan sebagai sesuatu yang dipercaya sudah selesai.

Namun sebaliknya, JJ Bola percaya bahwa maskulinitas adalah suatu hal yang belum dan tak akan selesai. Melalui studi komparatif, ia memetakan corak maskulinitas dalam spektrum budaya barat dan non-barat. Seperti: laki-laki bergandeng tangan dalam budaya Afrika-Kongo adalah sesuatu yang normal dalam menunjukkan kedekatan dan belas kasih satu sama lain. Hal itu tentu berbeda dengan pemaknaan maskulinitas barat yang mapan dan dominan berkat kolonialisme dan moralitas agama.

Sebab itu, di buku ini JJ Bola seakan menampilkan sekaligus menyuarakan kembali maskulinitas baru dari yang terpinggir. Peleburan kata masculinity menjadi masculinities adalah upaya mendefinisikan kembali maskulinitas yang padat dan kaku dan arogan menjadi lebih ramah terhadap bentuk maskulinitas-lain. Masculinities berarti keadaan jamak maskulinitas yang lebih egaliter—yang bisa dimasuki kemungkinan-kemungkinan lain terlepas dari lintasan geografis kemungkinan tersebut. Pendek kata, dalam masculinities, ide-ide tentang maskulinitas bukan menyatu menjadi kesatuan yang solid, melainkan beriringan menempati imaji kata tersebut.

Baca Juga: Dari Baju hingga Gaya Hidup, Ada Alasan Kita Senang Meniru Idola

Selanjutnya, di bab-bab selanjutnya JJ Bola menjelaskan tentang bagaimana efek jangka panjang maupun pendek dari maskulinitas toksik sebagai penjejalan nilai-nilai tentang menjadi laki-laki di masyarakat. Hal itu dilihat dari banyaknya kasus bunuh diri dan kekerasan yang menimpa laki-laki di ruang publik maupun privat. Misalnya: sekitar tiga dari tiap empat kasus bunuh diri (76 %) dilakukan oleh laki-laki, 12.5 % laki-laki (lebih dari satu per sepuluh) menderita salah satu gangguan kesehatan mental umum, 87 % tunawisma adalah laki-laki, dan lainnya.

Dari hal itu, menariknya, meskipun maskulinitas menawarkan bentuk-bentuk arogansi, kekerasan (menurut JJ Bola kekerasan adalah bahasa laki-laki), penaklukan dan sebagainya, maskulinitas juga dapat menodong sesuatu yang lebih personal: yaitu kesehatan mental. Laki-laki dipaksa untuk selalu kuat, tidak cengeng, apalagi menangis di depan publik, atau bahkan dalam ruang domestiknya, misal. 

Kemudian semua itu diperparah dengan kurangnya kemampuan laki-laki untuk memuntahkan emosinya dengan bahasa, meskipun sangat jelas bahwa merekalah yang membentuk bahasa itu sendiri. Sebab bahasa laki-laki adalah bahasa kekerasan. Dan dari sini, terjadi penumpukan-penumpukan emosi, gumpalan kemarahan, dan kesedihan yang acap kali berujung pada bunuh diri.

Lebih jauh, kurangnya akses kesehatan mental dan posisinya yang ajeg sebagai tabu dan sistem ekonomi kapitalistik membuat keadaan ini makin rumit. Masyarakat enggan membicarakan kesehatan mental seperti masyarakat enggan membicarakan seks. Begitu juga dengan sistem ekonomi kapitalistik yang ikut serta menekan tubuh laki-laki ke depan tembok keterasingan jam kerja dan tuntutan pertumbuhan yang silang sengkarut. Dan untuk laki-laki yang tak bisa melewati gerigi kapital tersebut, ia hanya akan berakhir sebagai pecundang.

Namun, apa yang membuat buku ini berbeda adalah rentangan maskulinitas toksik yang tak hanya mandeg pada ungkapan laki-laki tak boleh menangis. JJ Bola menyeret maskulinitas toksik meluas pada political system dan lainnya. Seperti, dalam catatan sejarah, hampir semua diktator adalah laki-laki. Perang dan konflik kemanusiaan dan perebutan lahan dan lainnya berangkat dari agresivitas maskulinitas.

Ironisnya, segala bentuk agresivitas maskulinitas tersebut terjadi di tengah masyarakat yang membakar hidup-hidup pasangan gay. Dengan segudang perangkatnya (termasuk kolonialisme dan moralitas agama), maskulinitas mencoba menormalisasi kekerasan dengan kekerasan kultural. Mendengungkan narasi gay (juga identitas seksual minor lainnya) sebagai yang-lain, yang-bukan-bagian-kita, dan seterusnya. Sehingga membuat kekerasan terhadap identitas seksual minor bisa dibenarkan dengan pola tersebut. Padahal, apa yang dilakukan pasangan gay adalah based-on-love, bukan kehendak-untuk-menaklukan seperti maskulinitas kita.

Setelahnya, buku ini beralih pada ranah yang paling dibenci ruang publik, tapi diam-diam dinikmati di ruang privat: seks. Mengutip Wilde, ‘everything in the world is about sex except sex, sex is about power’, JJ Bola melihat seks bukan hanya urusan vagina-penis, tapi juga relasi kuasa di dalamnya. Dan tentu saja, dalam kerajaan patriarki, kuasa berada di tangan laki-laki. Dengan sangat komikal, JJ Bola mencontohkan laki-laki yang bersetubuh dengan banyak perempuan akan disebut casanova, womanizer, dan sebagainya. Sedangkan sebaliknya, perempuan yang melakukan hal itu akan dicap sebagai whore, slut, dan lainya—definisi yang jungkir-balik.

Baca Juga: Menerima dan Berdamai dengan Duka Lewat ‘Jujutsu Kaisen Vol. 0’

Terkait seks, JJ Bola juga mengambil contoh agresivitas maskulinitas pada lanskap seksualitas di balik layar. Ia memeriksa kerja-kerja dan aktivitas seksual dalam video porno. Misalnya, tentang bagaimana sebuah identitas direpresentasikan dalam video porno dan sebagainya. Ia berspekulasi bahwa dalam video porno, maskulinitas digandakan dan tidak bekerja seorang diri mengingat terdapat beberapa video porno yang tak diragukan lagi sangat male gaze, misoginis, bahkan rasis.

Persoalan selanjutnya adalah ketika video porno dijadikan sebagai patokan aktivitas seksual yang nyata. Misalnya, bisa dibayangkan betapa besar efek dari representasi laki-laki kulit hitam sebagai pemuas hasrat seksual yang brutal, bahkan mendekati monster ketika ia ditampilkan dalam video porno. Sentimen-sentimen macam itu yang kemudian, secara tak sadar, mampu mengukuhkan pola imaji seseorang ketika ia membayangkan maskulinitas dan hal lain yang menopangnya.

Pendek kata, pada akhirnya, buku ini mencoba memberitahu pembacanya bahwa maskulinitas secara masif menempati segala ruang—beserta akibat-akibatnya. Pengukuhan nilai-nilai terhadapnya tak dilakukan seorang diri, melainkan dilakukan bersama segala perangkat yang memang berkaitan. Seperti: kolonialisme, rasisme, moralitas agama, bahkan sistem ekonomi. Dan maskulinitas macam itu bisa disebut sebagai maskulinitas dominan.

Dengan pembongkaran kata masculinity, JJ Bola coba merebut definisi maskulinitas yang baru sebagai bentuk dari maskulinitas pinggir yang remang. Memang, upaya macam ini terdengar ambisius dan impulsif. Mengingat segala perangkat yang terlanjur ikut menyuburkan bentuk dan praktik maskulinitas dominan. Tetapi, mungkin hanya itu yang bisa dilakukan orang-orang macam JJ Bola yang tahu benar bahwa apa yang dilakukan hanya akan berujung pada penyingkiran, atau bahkan tali gantungan.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.



#waveforequality


Avatar
About Author

Adam Sudewo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *