Lifestyle

Anak Berkebutuhan Khusus di Tengah Pandemi: Semua Lelah, Harus Bagaimana?

Perubahan rutinitas membuat anak berkebutuhan khusus dan orang tua mereka ekstra stres, ini solusinya.

Avatar
  • May 19, 2020
  • 5 min read
  • 672 Views
Anak Berkebutuhan Khusus di Tengah Pandemi: Semua Lelah, Harus Bagaimana?

Banyak orang tua mengeluhkan betapa melelahkannya mendampingi anak-anak melakukan school from home di tengah pandemi COVID-19 ini. Bagi mereka yang merawat anak-anak berkebutuhan khusus, kesulitan dan kelelahannya menjadi berlipat ganda.

Hal ini dirasakan “Amira”, 32, seorang ibu rumah tangga yang sudah hampir tiga bulan terakhir menjadi terapis dadakan untuk anaknya yang ada dalam spektrum yang mengarah pada autisme.  Sebelum pandemi, anak Amira melakukan terapi untuk anak berkebutuhan khusus tiga kali seminggu, namun pembatasan fisik dan sosial sekarang ini tidak memungkinkan hal itu lagi.

 

 

“Karena COVID-19, latihannya sekarang di rumah saja. Setiap tiga kali seminggu, kami dikirimi bentuk-bentuk latihan yang perlu dilakukan dari tempat terapi,” ujar Amira kepada Magdalene (11/5).

“Tapi karena ada perubahan ini, aktivitas anak menjadi sangat terbatas dan jam tidurnya juga berantakan,” ia menambahkan.

Terbatasnya ruangan dan peralatan di rumah membuat Amira perlu berpikir ekstra kreatif untuk menciptakan latihan sesuai target untuk anaknya yang berusia 4 tahun itu.

“Misalnya untuk latihan obstacle (rintangan), kalau di tempat terapi anaknya diberikan instruksi merangkak melewati terowongan dan rintangan lainnya. Kalau di rumah saya ganti dengan kasur yang dimiringkan dan melangkahi kursi,” ujar Amira.

“Akhirnya, terapi yang diberikan di rumah cuma sekenanya saja, yang penting anak masih diberikan aktivitas untuk mendukung proses terapinya. Hanya ya tetap saja ada rasa enggak yakin apakah latihannya sudah benar atau tidak,” tambahnya.

Seperti Amira, Keyko juga membuat program sendiri dengan menyesuaikan jadwal mingguan dari sekolah, untuk anaknya yang berusia 5 tahun dan memiliki gangguan spektrum autisme (Autism Spectrum Disorder, ASD).

“Saya lebih memilih membuat program sendiri dengan mencontoh latihan-latihan di internet jadi waktunya bisa saya atur sendiri, lalu setelah itu baru dievaluasi oleh tempat terapinya,” ujar Keyko, 31.

Perubahan cara terapi yang harus dilakukan secara daring bukan hanya menjadi tantangan bagi orang tua, namun juga para terapis dan guru anak berkebutuhan khusus (ABK). Terapis ABK, Rudra Ardiyase, 27, mengatakan melakukan banyak penyesuaian dalam memberikan latihan untuk anak-anak di rumah, karena setiap anak berbeda. Terapis sendiri selama ini butuh waktu untuk dekat dengan anak tersebut, ujarnya.

Baca juga: Salah Sendiri Punya Anak: Derita Orang Tua di Era Pandemi

“Tidak semua orang tua ingin melakukan konsultasi secara daring dan terbiasa bermain dengan anak-anaknya. Ketika bermain, misalnya, suara orang tua terlalu keras, padahal anaknya sangat sensitif terhadap suara keras. Dari penilaian secara daring, kami bisa mengingatkan orang tua,” tambah Rudra.

Pengalaman yang sama juga dialami oleh “Inez”, 28, guru Sekolah Luar Biasa (SLB) di daerah Sidoarjo, Jawa Timur.  Dalam kondisi seperti ini, Inez perlu ekstra bekerja keras untuk menjalin komunikasi dengan orang tua muridnya, apalagi jika orang tua sulit diajak bekerja sama.

“Kekhawatiran kami, jika orang tua tidak bisa bekerja sama, anak tersebut akan mengalami kemunduran,” ujarnya.  

Semua lelah, apa yang harus dilakukan?

Amira mengaku sangat kelelahan di tengah pandemi ini karena harus memikirkan aktivitas dan terapi untuk anaknya yang berkebutuhan khusus. Selain itu, ia juga masih harus membagi waktu dan energinya untuk dua orang anaknya yang lain, masing-masing berusia 7 dan 3 tahun, yang juga harus beraktivitas di rumah. Ia mengakui merasa sangat kewalahan, meskipun suaminya juga ikut membantu menjaga kedua anaknya yang lain.

Psikolog Klinis Anita Chandra mengatakan setiap anak berkebutuhan khusus memiliki kerentanan yang berbeda-beda. Untuk anak dengan gangguan autistik, perubahan rutinitas yang terjadi saat COVID-19 membuat mereka menjadi sangat stres, sedangkan untuk anak yang hiperaktif tidak keluar dari rumah dan bersosialisasi membuat mereka stres. Karena tidak bisa mengungkapkan apa yang mereka rasakan, ujarnya, anak-anak cenderung tantrum dan break down.

“Di beberapa kasus, ada juga orang tua yang jarang berinteraksi dengan anaknya, lalu saat ini setiap harus berada di rumah dan melihat aktivitas anaknya. Karena tidak mengerti dengan keadaan si anak, mereka jadi melakukan kekerasan,” ujar Anita, yang praktik di sebuah rumah sakit di Jakarta Timur itu, kepada Magdalene.

Baca juga: Pandemi COVID-19 Hambat Pemberian Imunisasi pada Anak

Ia menambahkan bahwa orang tua pasti merasa kewalahan dan kelelahan, namun ia melihat orang tua sering lupa bahwa kondisi saat ini berbeda dari yang pernah ada.

“Pertama, orang tua perlu berdamai dengan diri sendiri bahwa keadaannya berubah dan setiap anak memiliki fasenya masing-masing. Jadi targetnya tidak bisa disamakan dengan anak lainnya,” ujar Anita.

Kedua, tambahnya,  juga mengingatkan bahwa saat ini anak-anak sedang berada dalam fase kebingungan karena perubahan ini, jadi mereka memerlukan penjelasan.

“Kita perlu menjelaskan pada mereka bahwa kondisinya sudah berubah, dan ini akan berlangsung cukup lama. Menjelaskannya juga perlu sabar dan pelan-pelan. Jika mereka tantrum ya dibiarkan  dahulu sejenak, lalu berikan comfort pada mereka,” tambah Anita.

Orang tua memang perlu ekstra bersabar dan tetap memberikan anaknya beragam aktivitas, agar anak tersebut tetap berkembang.

“Sebetulnya orang tua tidak perlu merasa takut salah atau keliru dalam membuat latihan di rumah. Yang terpenting adalah orang tua harus tetap membuat anaknya beraktivitas, entah itu menggambar, membuat kue, yang penting jangan sampai anak terabaikan,” kata Anita.

Ia mengatakan aktivitas dan jadwal yang rutin sangat penting agar anak terkontrol dan menciptakan rutinitas baru untuk mereka. Memberikan gawai agar mereka anteng bukan solusi, malah berbahaya, ujarnya.

“Emosi anak jadi semakin tidak stabil dan memorinya akan dipenuhi oleh visual-visual dari gawai. Beberapa keterampilan yang sebelumnya sudah terasah, kemungkinan akan menghilang,” kata Anita.  

“Berikan jadwal untuk semua aktivitas, misalnya makan snack. Selain itu kita perlu juga memberikan anak me time,” ujarnya.

Orang tua tidak perlu memosisikan sebagai pengganti terapis, sehingga secara tidak sadar memaksakan target di tempat terapi untuk aktivitas saat ini, ujarnya. Hal ini akan membuat orang tua lebih stres dan akhirnya berpengaruh kepada anak.

“Orang tua perlu mengingat bahwa yang terpenting adalah bonding dengan anak. Apa pun bentuk aktivitasnya pastikan anak enjoy menjalankannya dan tidak membuat mereka malah tambah stres,” ujar Anita.

Ilustrasi oleh Karina Tungari.



#waveforequality


Avatar
About Author

Elma Adisya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *