Di negara ini, kontrasepsi itu lazimnya tabu dibicarakan oleh orang yang belum menikah, karena memang budaya masyarakat kita menabukan hal-hal berbau seks. Namun setelah saya amati dan pelajari, saya menemukan dimensi yang bahkan lebih tabu daripada kontrasepsi bagi kaum lajang: Kontrasepsi untuk pria.
Berdasarkan pengamatan saya, mayoritas orang akan menjodohkan konsep kontrasepsi dengan rahim. Kontrasepsi itu kalau bukan spiral, ya pil Keluarga Berencana (KB). Mungkin sekelompok orang juga sadar betul bahwa kondom juga merupakan alat kontrasepsi, tapi lain kasusnya dengan vasektomi.
Pertanyaan-pertanyaan dan pikiran-pikiran tentang kontrasepsi di kepala saya berawal dari situasi keluarga saya yang sempat berada di posisi cukup pelik. Ibu saya memiliki kondisi medis yang menyebabkan dia tidak bisa memasang alat KB spiral dan beliau tidak boleh hamil lagi. Pil bagi Ibu bukanlah solusi karena dia tetap “kebobolan” sampai empat kali, dan nyawa Ibu pernah hampir lewat gara-gara keguguran.
Orang tua saya kemudian terjebak dalam lima opsi: 1) Coitus interruptus, yang merupakan bahasa medis dari “keluar di luar”; 2) Kondom; 3) Tidak berhubungan seks sampai ibu menopause; 4) Aborsi tiap terjadi kehamilan tak diinginkan; atau 5) Vasektomi. Pilihan ketiga dan keempat mereka eliminasi—lebih tepatnya tidak dipertimbangkan sama sekali karena orang tua saya cenderung konservatif. Saya tidak tahu persis (dan tidak ingin tahu), tapi saya rasa pilihan satu dan dua kerap dijalankan oleh Bapak dan Ibu.
Baca juga: Kontrasepsi untuk Laki-laki: Mengapa Banyak yang Ogah Pakai?
Mengingat keadaan Ibu, Bapak sempat mempertimbangkan untuk menjalankan pilihan kelima. Setelah selesai menimbang-nimbang untung-ruginya, beliau terlihat sudah bulat hati untuk menjalankan operasi vasektomi demi kebaikan ibu. Tapi tidak lama kemudian, dicegatlah bapak oleh salah satu anggota keluarga. Dia berargumen, “Laki-laki itu jangan vasektomi, kan organ reproduksinya enggak ada kedaluwarsanya. Kalau nanti Bapak sudah enggak sama Ibu, terus mau punya anak lagi, nanti enggak bisa.” Lalu, semudah itu Bapak berubah pikiran. Digugurkanlah opsi vasektomi.
Di dalam kepala saya, terbersitlah sejuta pertanyaan. Apa benar Bapak mau punya anak lagi padahal umur sudah uzur? Apa Bapak berencana punya anak lagi sama calon ibu tiri yang belum ada wujudnya? Apa komitmen Bapak ke Ibu selalu dibatasi oleh komitmen lain yang belum kejadian seperti dalam konteks keinginan untuk vasektomi ini? Banyak pertanyaan lain yang saya tidak tahu jawabannya dan saya simpulkan bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut lebih baik tidak dilayangkan.
Jangan mencocok-cocokkan vasektomi atau kebiri dengan ide kehilangan maskulinitas. Kenapa hilangnya fungsi reproduksi laki-laki itu diasosiasikan dengan hilangnya kejantanan, sedangkan konsep dominan soal hilangnya fungsi reproduksi perempuan itu diasosiasikan dengan independensi dan kemajuan berpikir?
Vasektomi tidak menghilangkan dorongan seksual
Jaminan soal absennya jawaban tidak menyebabkan pertanyaan-pertanyaan di kepala saya berhenti mencuat. Satu pertanyaan yang paling saya pikirkan adalah: Apakah Bapak memutuskan tidak mau vasektomi karena dia takut “kehilangan kejantanan”?
Bisa jadi, pikir saya. Kebiri = hilangnya identitas maskulin itu banyolan yang diseriusin, kan?
Kalau itu masalahnya, Bapak (dan bapak-bapak lainnya), ada dua hal yang harus diluruskan. Pertama, jangan menukar-nukar definisi medis antara vasektomi dengan kebiri. Secara medis, vasektomi itu merupakan prosedur pemotongan saluran dari testis yang mencegah bergabungnya sperma dengan semen. Sedangkan kebiri atau kastrasi itu prosedur yang membuat testis disfungsional. Secara biologis, kebiri itu menyebabkan hilangnya dorongan seksual, sedangkan vasektomi tidak. Orang-orang yang telah menjalani operasi vasektomi tetap dapat memiliki hasrat dan beraktivitas seksual dengan normal.
Baca juga: Putus Kontrasepsi dan Hambatan Program Keluarga Berencana Lainnya
Hal kedua yang harus diluruskan: Jangan mencocok-cocokkan vasektomi atau kebiri dengan ide kehilangan maskulinitas. Lagi-lagi kepada diri sendiri, saya bertanya kenapa hilangnya fungsi reproduksi laki-laki itu diasosiasikan dengan hilangnya kejantanan, sedangkan konsep dominan soal hilangnya fungsi reproduksi perempuan itu diasosiasikan dengan independensi dan kemajuan berpikir?
Kontrasepsi, baik bagi laki-laki atau perempuan, berkutat pada mekanisme biologis yang sama, yaitu kontrol terhadap organ reproduksi. Lalu, kenapa interpretasi sosialnya berbeda? Apakah itu berarti kontrol terhadap rahim itu baik dan kontrol terhadap penis itu buruk?
Saya tidak pernah berniat untuk menjawab pertanyaan tersebut karena saya paham bahwa variabel dan perspektif untuk menentukan baik-buruk atau positif-negatif dalam konteks masyarakat dan budaya itu terlalu kompleks untuk dijabarkan. Determinan final itu bukan ranah ilmu manusia. Kita harus puas dengan kesanggupan mengidentifikasi konsensus yang beredar di masyarakat, dan kita harus puas dengan ketiadaa jawaban atas pertanyaan.
Dari eksperimen pikiran kecil soal kontrasepsi ini, saya harus puas dengan mencapai kesimpulan bahwa kontrol terhadap alat kelamin perempuan itu merupakan ide dominan yang diterima.
Kontrasepsi berkutat pada mekanisme biologis yang sama, yaitu kontrol terhadap organ reproduksi. Lalu, kenapa interpretasi sosialnya berbeda? Apakah itu berarti kontrol terhadap rahim itu baik dan kontrol terhadap penis itu buruk?
Tentunya berat bagi saya untuk menahan gonggongan dan keluh kesah tentang kekeliruan berpikir orang-orang yang tidak dapat memisahkan antara fungsi biologis dan konstruksi sosial. Namun, saya mengingatkan diri sendiri bahwa gonggongan sering kali merupakan cerminan dan buaian dogma. Saya memilih untuk tidak mempertanyakan keputusan Bapak karena keputusan ini melibatkan organ reproduksi pribadinya.
Tidak peduli betapa feminisnya saya, ironisnya, ujung-ujungnya saya harus berdamai dengan keademan pola pikir orang tua saya bahwa spiral adalah satu-satunya solusi permanen untuk mencegah kehamilan. Ironisnya, saya hanya bisa mengangguk-angguk ketika Bapak memutuskan untuk batal vasektomi. Karena terbentur kuasa Bapak dan Ibu soal pilihan yang harus diambil terkait alat kelaminnya masing-masing, ironisnya, saya harus abai terhadap risiko ibu akan meninggal lantaran Bapak takut di-“kebiri”.
Mana yang harus didahului, nyawa atau pilihan? tanya saya pada akhirnya, sepenuhnya sadar akan kemungkinan terdapatnya logika bengkok dalam mengambil keputusan.