Peran Laki-laki dalam Isu Kesetaraan Gender
Normalisasi keterlibatan laki-laki dalam pekerjaan rumah dan pengasuhan anak dapat mendorong norma sosial yang lebih ramah terhadap gender.
Lima belas tahun yang lalu, pengusaha Kokok Dirgantoro sangat khawatir melihat kondisi istrinya yang sangat lemas saat hamil dan rentan keguguran, namun tidak mendapat keringanan di kantor. Pekerjaan terus menumpuk, dan cuti melahirkan hanya diberikan selama 1,5 bulan.
Pada suatu subuh setelah salat, Kokok berkata kepada istrinya, “Suatu saat nanti, aku akan mendirikan sebuah perusahaan yang memberikan cuti melahirkan enam bulan.” Sembilan tahun kemudian, Kokok adalah CEO dari perusahaan layanan telekomunikasi dan infrastruktur Opal Communications, dan ia menepati janji tersebut. Bahkan, hingga sekarang Kokok terus memperjuangkan hak perempuan untuk menjadi kebijakan nasional.
“Cerita ini saya tulis di media sosial dan saya mendapat banyak masukan dan informasi yang membuat saya kaget. Ternyata Indonesia itu tertinggal sekali di bidang cuti melahirkan dan saya baru tahu dampaknya begitu besar,” kata Kokok dalam acara KataData x Investing in Women Conference baru-baru ini.
Baca Juga: ‘He’s Expecting’: Ketika Lelaki Bertukar Peran dengan Perempuan
Dalam perjuangan untuk mewujudkan kesetaraan gender, banyak pihak mendorong laki-laki untuk ikut berperan karena keterlibatan lebih banyak sekutu akan membuat gerakan lebih kuat. Selain itu, di tengah masyarakat yang masih sangat patriarkal, suara laki-laki bagaimanapun masih lebih didengar. Hal ini menjadi fokus dalam sesi “The Missing Voice in the Gender Equality Conversation” atau peran laki-laki dalam kesetaraan gender pada acara tersebut.
“Sebenarnya kalau kita membahas tentang peran laki-laki, yang sering kali ditanya adalah ‘kita harus memulai dari mana?’. “Yang pertama dan yang paling dasar adalah menyadari bahwa laki-laki memang memiliki privilege atau perlakuan istimewa dalam masyarakat,” ujar Nur Hasyim, pendiri Aliansi Laki-laki Baru (ALB), sebuah komunitas yang menempatkan laki-laki sebagai aktor yang berperan di isu kesetaraan gender.
“Dari sini mereka juga harus mengerti bahwa perlakuan istimewa ini membawa konsekuensi negatif ke perempuan. Misalnya laki-laki dianggap gender yang lebih kuat, maka perempuan akan cenderung dianggap lemah,” tambahnya.
Menurut Siska Dewi Noya, Project Manager for Voice di HIVOS Regional Office Southeast Asia, langkah paling pertama dari keterlibatan laki-laki dalam isu ini adalah adanya pengakuan bahwa relasi perempuan dan laki-laki setara.
“Selama laki-laki tersebut masih menganggap bahwa dalam keluarga dia adalah pemimpin dan masih menormalisasi budaya patriarki, mereka masih belum berperan, walaupun dia terlibat aktif dalam pekerjaan rumah,” ujar aktivis perempuan yang akrab dipanggil Chika tersebut kepada Magdalene.
“Yang harus kita perhatikan adalah apakah dia bisa keluar dari zona nyamannya? Apakah ia bisa melepas privilege-nya sebagai laki-laki yang selama ini diistimewakan oleh budaya dan masyarakat?” lanjutnya.
Menurut Nur, memulai praktik baru seperti pembagian peran yang adil dalam pekerjaan rumah atau dalam pengasuhan anak adalah permulaan yang baik, dan normalisasi keterlibatan laki-laki dalam praktik ini dapat mendorong norma sosial yang lebih ramah terhadap gender.
“Kita harus menghilangkan norma sosial yang menganggap bahwa mengerjakan pekerjaan rumah dan mengasuh anak adalah suatu hal yang tidak ‘maskulin’. Normalisasikan bahwa ini adalah pekerjaan semua orang,” ujar Nur.
Ia menambahkan bahwa laki-laki harus berkontribusi dalam membuka ruang untuk berdiskusi soal isu-isu yang dianggap tidak maskulin.
“Laki-laki selalu ada ruang untuk membahas perempuan, olahraga, politik dan transportasi, tapi mereka tidak punya ruang untuk membahas kesetaraan gender, kegelisahan, kekhawatiran atau isu-isu lain yang menyangkut perasaan,” ujar Nur.
Baca Juga: KDRT Ferry Irawan, Kesalahan Tafsir Alquran, hingga Pendidikan Gender untuk Lelaki
“Dengan kita membuka ruang seperti ini, kita bisa mendorong pembahasan kesetaraan gender menjadi suatu topik yang wajar untuk dibahas dalam diskusi sehari-hari lingkaran pertemanan laki-laki,” lanjutnya.
Dengan cara ini, ujar Nur, laki-laki bisa saling mengingatkan, mengedukasi dan mencontohkan cara yang benar untuk terlibat dalam isu kesetaraan gender ini.
Menurut Chika, selama ini banyak seminar yang membahas kesetaraan gender namun pembicaranya hanya melibatkan perempuan. Padahal isu ini bukan hanya isu perempuan, tetapi isu semua orang.
“Dengan kesadaran dan pengakuan ini, laki-laki akan mulai mengubah cara pandangnya. Dia tidak akan lagi mempraktikkan budaya-budaya yang dianggap patriarkal,” ujarnya.
“Setelah itu, langkah selanjutnya adalah mereka akan menyebarkannya ke lingkaran pertemanannya. Contoh terbaik kumpulan laki-laki yang sudah sadar, mengakui dan membuka wacana ini dalam pembicaraannya sehari-hari adalah Aliansi Laki-laki Baru,” katanya.
Chika menambahkan bahwa kesetaraan gender tidak hanya menghargai hak-hak perempuan tetapi juga mengkritik nilai-nilai maskulinitas yang diajarkan dan ditanam oleh patriarki. Menurutnya, banyak laki-laki yang masih belum menyadari bahwa sistem patriarki juga merugikan mereka.
“Laki-laki yang dianggap sukses adalah laki-laki yang mampu menafkahi keluarganya secepatnya, laki-laki yang tangguh, sehat secara mental dan fisik. Ia juga harus mampu mendapatkan posisi yang tinggi di pekerjaannya, padahal tidak semua orang bisa begitu,” ujarnya.
“Dengan kesadaran ini mereka juga dapat menyadari bahwa adanya kesetaraan gender tidak hanya menguntungkan perempuan tetapi semua orang.”
Simak lima cara mendobrak stereotip peran gender dalam keluarga.
Ilustrasi oleh Adhitya Pattisahusiwa