Lelah Dikepung Berita Buruk? Tenang, Kamu Enggak Sendiri
Kamu tidak perlu terpaku pada TV, Twitter, atau Facebook jam demi jam.
Anne Murray dari Kanada merilis satu lagi lagu hitsnya pada 1983. Namun, tembang bikinan dia itu direspons berbeda oleh deretan penggemar. [A Little Good News] adalah balada suram yang merangkum suasana hari ini:
“One more sad story’s one more than I can stand; Just once how I’d like to see the headline say; ‘Not much to print today, can’t find nothin’ bad to say’ […] We sure could use a little good news today.”
“Satu lagi cerita sedih, saya sudah tidak tahan; Saya ingin, sekali saja, koran membuat judul; ‘Tidak banyak yang harus dicetak hari ini, kami tidak dapat menemukan hal buruk untuk diberitakan’ […] Kita butuh sekali sedikit kabar baik hari ini.”
Baca juga: Cukup dan Bahagia: Fragmen Cerita di Tengah Pandemi
Hampir empat puluh tahun kemudian, liriknya mendapatkan perhatian. Kecuali, akhir-akhir ini, saat liputan berita tentang kisah-kisah sedih tidak pernah berhenti. Saat “selang api” informasi ada di genggaman kita, siang dan malam.
Saat kita bergulat dengan berita utama yang suram tentang pandemi, pergolakan politik, ketidakadilan rasial dan perubahan iklim, tidak banyak kabar baik dapat kita baca.
Sementara itu, banyak orang — dari segala usia dan latar belakang — [menyerah pada berita], bergabung dengan barisan yang disebut “[penghindar berita]”. Beberapa membatasi jumlah berita yang mereka konsumsi. Yang lain menghindarinya sama sekali. [Mereka tidak menonton, mendengarkan, atau membaca].
Penghindaran berita adalah subjek makalah penelitian saya “[No News is Not Good News],” yang akan segera diterbitkan di Athens Journal of Mass Media and Communications. Sebagai jurnalis yang bekerja selama lebih dari 30 tahun, saya mengalami perubahan besar pada industri berita secara langsung. Sekarang, sebagai profesor jurnalisme, saya memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi apa yang ada di balik tren penghindaran.
Lelah, Butuh Jeda
Bobot berita dunia bisa jadi terlalu berat. Bahkan sebelum kedatangan COVID-19, [survei pada 2019 terhadap 12.000 orang dewasa Amerika] menemukan 66 persen mengaku mereka “lelah” oleh banyaknya berita yang tersedia.
Pada 2020, 71 persen orang dewasa Amerika mengatakan mereka perlu “[beristirahat dari berita COVID-19]” sedangkan 43 persen mengatakan berita itu “membuat mereka merasa lebih buruk secara emosional.”
Pada 2021, [sebuah survei di Kanada] menemukan lebih dari dua pertiga (69 persen) dari 1.002 orang Kanada yang disurvei mengaku “kelelahan ketika harus mengkonsumsi berita tentang pandemi.”
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan membahas hal ini [dalam anjuran kesehatan mental mereka] dengan mengatakan, “Cobalah untuk mengurangi waktu menonton, membaca, atau mendengarkan berita yang membuatmu merasa cemas atau tertekan.” Semakin banyak orang yang memperhatikan hal ini.
Pada 2020, Institut Reuters untuk Studi Jurnalisme di Universitas Oxford meneliti orang-orang yang “[rentan dalam infodemi]” di Inggris – orang-orang yang memilih untuk mengurangi berita pandemi. Lebih dari seperlima mengatakan “mereka sering atau selalu secara aktif berusaha menghindari berita” dengan mayoritas mengutip dampak pada suasana hati mereka.
Baca juga: ‘Call-Out Culture’ di Media Sosial: Berfaedah atau Bikin Lelah?
Ketidakpercayaan pada Media
Upaya menjaga kesehatan mental tampaknya menjadi alasan utama di balik peningkatan penghindaran ini, tapi masalah kepercayaan juga disebutkan. Ketidakpercayaan pada media arus utama bukan hal baru, tapi [skeptisisme terhadap jurnalisme meningkat selama pandemi] ketika para pendukung anti-vaksinasi dan penyebar teori konspirasi mempertanyakan validitas dan keakuratan fakta COVID-19 yang dibagikan oleh organisasi berita dan pemerintah.
Dalam Trust Barometer tahunan di seluruh dunia pada 2021, Edelman (sebuah perusahaan komunikasi) menemukan kepercayaan di media, baik tradisional maupun sosial, ada pada titik terendah sepanjang masa. Salah satu faktornya adalah kuatnya persepsi bias di kalangan jurnalis. Dari 33.000 orang yang disurvei, 59 persen setuju dengan ini: “Jurnalis dan reporter dengan sengaja mencoba menyesatkan orang dengan mengatakan hal-hal yang mereka tahu salah atau berlebihan.”
Mengingat temuan dan pendapat ini, tidak mengherankan lebih sedikit orang yang mengonsumsi berita, setidaknya dalam pengertian tradisional. Pertanyaan untuk jurnalisme adalah apakah penghindaran berita merupakan fenomena jangka pendek karena pandemi atau tren tetap yang berhubungan dengan ketidakpercayaan dan penurunan kualitas jurnalisme secara keseluruhan?
Baca juga: ‘Namanya Juga Cewek’: Soal Seksisme yang Menjamur di Media Kita
PR Organisasi Berita
Sudah waktunya bagi organisasi berita untuk berbuat lebih banyak untuk meyakinkan publik tentang relevansi dan keandalan dari sikap ini. Berdasarkan pengalaman saya sebagai jurnalis, saya percaya banyak organisasi berita telah gagal dengan menolak menginvestasikan waktu dan uang untuk melakukan penelitian audiens untuk mengkonfirmasi apa yang diinginkan konsumen, ketimbang berasumsi untuk mengetahui apa yang mereka inginkan hanya berdasarkan apa yang telah berhasil pada masa lalu.
Transparansi yang lebih besar adalah solusi potensial lainnya. Mendidik konsumen tentang bagaimana jurnalis melakukan pekerjaan mereka dan mengapa berita dan masalah tertentu diutamakan untuk diliput lebih penting daripada sebelumnya. Satu metode — menerbitkan atau mengunggah seluruh wawancara atau transkrip — akan memungkinkan konsumen menentukan sendiri apakah kutipan orang yang diwawancarai akurat atau diambil di luar konteks.
Peningkatan kepercayaan dan peningkatan relevansi juga dapat dicapai ketika organisasi berita mengatasi kurangnya keragaman dan perspektif alternatif di ruang redaksi dan berusaha untuk meningkatkan pemahaman masyarakat yang terpinggirkan. Dunia telah berubah secara dramatis dalam 20 tahun terakhir, tapi selain teknologi, hanya sedikit yang berubah dalam struktur ruang redaksi dan cara jurnalis menginformasikan publik.
Jadi, jika berita buruk atau tidak relevan membuat kamu mempertimbangkan untuk menghindarinya, kami menyarankan: Sama seperti bagaimana kita diajari untuk moderasi demi mendapatkan kunci dari begitu banyak kebiasaan, moderasi juga berlaku dalam berita.
Kamu tidak perlu terpaku pada TV, Twitter, atau Facebook jam demi jam dan kamu tidak perlu ponsel kamu menjadi hal terakhir yang dilihat setiap malam. Alih-alih mematikan saluran berita sepenuhnya, kurangi saja frekuensinya. Tetap terinformasi tanpa kewalahan. Saya yakin kamu akan menemukan setidaknya sedikit kabar baik.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.