Percuma Hujat Ridho Permana, Wartawan ‘Online’ Memang Hidup dari Klik
Ramai-ramai memaki wartawan Ridho Permana tak akan menuntaskan problem seksisme di berita olahraga, selama media masih menghamba pada klik.
Dengan semangat jihad, saya baru ingin menghujat wartawan Viva Ridho Permana, saat Mbak-mbak Feminis di media sosial ramai-ramai melakukannya. Penyebabnya, Ridho menerbitkan sejumlah artikel dengan judul seksis yang mudah memantik kecaman: “Duh, Pose Mengangkang Pebulutangkis Kanada di Gym Bikin Ngilu”, “Pose Seksi Bidadari Bulutangkis Australia di Ranjang Bikin Ngilu”, “Bikin Gagal Fokus Pose Bidadari Bulutangkis Australia di Gym”, “Jeritan Hati Pebulutangkis Cantik Myanmar Mengenaskan di Olimpiade”.
Selain menerbitkan artikel bernada seksis, Ridho yang berhari-hari dirundung dan di-doxing di internet itu juga menerbitkan judul “Reputasi Bulutangkis Indonesia Rusak Gara-gara Praveen/Melati”. Belakangan berita ini tak lagi bisa diakses karena Viva menghapusnya tanpa disertai penjelasan dan permintaan maaf, seperti amanat Pasal 10 Kode Etik Jurnalistik. Namun, beberapa judul berita seksis di atas masih gentayangan di media milik taipan Aburizal Bakrie tersebut.
Meski sudah menyiapkan amunisi caption kritik andalan agar Ridho Permana tetap trending di linimasa, niat itu saya urungkan begitu melihat cuitan jurnalis perempuan Evi Mariani. Ia bilang dalam akun Twitternya @evimsofian, memaki dan men-doxing Ridho adalah percuma, mengingat selalu ada Ridho-Ridho lain yang jadi buruh konten di media online. Prestasi mereka tak diukur dari seberapa berkualitas tulisan, tapi berdasarkan jumlah klik di Google Analytics. Sebuah kenyataan pahit yang menampar saya sendiri selaku jurnalis di media online.
Baca juga: Media, Stop Objektifikasi dan Seksualisasi Anak Perempuan
Tentu saja saya mengecam pemberitaan bernada seksis yang ditulis semua wartawan termasuk Ridho Permana, dan selemah-lemahnya iman, saya takkan pernah menyusun judul semacam itu cuma demi mendulang klik. Pun, saya menghindari baca berita-berita yang bikin saya turut emosi. Namun, satu hal yang perlu diketahui, banyak media daring yang menggantungkan napas mereka dari klik, kendati ada beberapa cara lainnya.
Siasat Media Online Bertahan Hidup
Misalnya, jejaring media yang menitikberatkan pada diversifikasi platform. Strategi ini jelas susah diterapkan oleh media kecil apalagi media komunitas yang terkadang untuk bertahan saja masih mengandalkan sumbangan donatur (crowd funding). Menurut Ross Tapsell dalam bukunya Kuasa Media di Indonesia (2019) yang diterjemahkan oleh Marjin Kiri, para konglomerat digital yang dikuasai oleh segelintir orang, mulai dari Hary Tanoe, Chairul Tanjung, hingga James Riady ini, sengaja menciptakan kerja pengumpulan multiplatform yang lebih efektif. Sementara, pada saat yang sama, membeli kompetitor dan media-media kecil yang sekarat di daerah-daerah. Efeknya, selain seragam, pemberitaan yang dihasilkan juga rentan disetir oleh kepentingan bisnis dan politik si pemilik media.
Cara kedua adalah dengan paywall atau konten premium berbayar. Ariana Huffington, co-founder The Huffington Post, media Amerika pernah menulis di The Guardian, paywall adalah sejarah. “Media daring harus mengeksplorasi cara baru dalam mendapatkan revenue, caranya dengan melindungi konten, ternyata tidak berhasil.” Strategi yang eksis sejak 1996 ini memang rentan gagal karena tak semua media kompak melakukannya, sehingga pembaca bakal mencari sumber informasi dari media gratis. Kegagalan ini menimpa Times yang kehilangan nyaris 90 persen pembacanya. Contoh yang berhasil adalah The Washington Post, The New York Times, dan Bloomberg.
Baca juga: Perempuan dan LGBT di Media Online: Direndahkan dan Dilecehkan Demi Konten
Cara lain bisa lewat iklan-iklan banner yang memang sengaja dipasang oleh media yang bersangkutan. Tarifnya pun beragam sesuai standar masing-masing perusahaan. Sayangnya, tak semua media daring bisa mudah mendapat kue iklan. Kendati ada peningkatan belanja kue iklan di ruang digital sebesar 4 kali lipat di 2020 dibanding 2019 karena pandemi COVID-19, tapi persebarannya tak merata. Sulit untuk media gurem bersaing dengan media besar yang didukung sumber daya yang juga besar.
Hal lain yang biasa digunakan oleh media daring adalah dengan mengandalkan pada AdSense atau iklan Google. Tak hanya blog-blog saja yang memonetisasi kontennya lewat strategi ini, beberapa media daring kaliber nasional macam Detik hingga Tribunnews melakukannya.
Dilansir dari laman support.google.com, pendapatan ini diukur per 1.000 tayangan (RPM). RPM ini menunjukkan penghasilan tertaksir yang akan Kamu dapatkan untuk setiap 1.000 tayangan yang Kamu terima. RPM tidak menunjukkan penghasilan Kamu sebenarnya, tapi jumlah itu dihitung dengan membagi penghasilan tertaksir dengan jumlah tampilan laman, atau kueri yang Kamu terima, kemudian dikalikan 1.000. Contohnya, jika penghasilan tertaksirmu sebesar US$0,15 dari 25 tampilan laman, RPM laman Kamu sama dengan (US$0,15/25) * 1.000 atau US$6,00. Semakin besar orang mengklik beritamu, semakin banyak potensi pendapatan dari iklan ini.
Klik dan Berita Seksis adalah Sahabat Dekat
Berenang di kolam yang sudah keruh barangkali analogi paling pas untuk menggambarkan “penderitaan” media daring di Indonesia hari-hari ini. Apa yang dilakukan wartawan Viva memang tak harus dan tak boleh dimaklumi, begitu pula media daring lain yang berjualan seksisme dan erotisme demi memanen klik dari pembacanya. Namun, bagaimana jika sebenarnya wartawan seperti Ridho Permana ini tak punya pilihan?
Daripada meminta Ridho menenggak obat Paracetamol seperti yang dibilang Mbak-Mbak Feminis di media sosial, saya lebih senang mencari tahu kenapa ia melakukannya. Jangan-jangan sebenarnya ia cukup idealis sampai akhirnya nyemplung ke dunia kerja yang tak memberi tempat bagi idealisme untuk bertumbuh. Jangan-jangan, ia sebenarnya ingin menulis berita berkualitas, tapi karena prestasinya di kantor cuma dinilai dari angka-angka Google Analytics, maka ia terpaksa menulis berita yang terang-terangan mengobjektifikasi dan merendahkan perempuan itu.
Baca juga: Menjual Perempuan dalam Berita Olahraga
Pada medio 2012, saat masih jadi wartawan mahasiswa, saya duduk dalam satu panel bersama seorang wartawan lokal di Jawa Tengah yang belakangan bermigrasi dalam format digital. Kepada puluhan mahasiswa yang hadir di diskusi itu, ia berujar, “Tulislah berita tentang seks, karena sudah pasti itu laku keras. Ini yang kami lakukan.” Saya kaget tapi sekaligus mafhum jika kemudian media-media daring kita melakukan strategi serupa: Menulis berita yang seksis, misoginis, dan menjadikan perempuan sebagai bulan-bulanan.
Jauh sebelum itu, pada 1997, di Hong Kong digegerkan dengan kembalinya kepulauan itu pada China. Namun, alih-alih menuliskannya sebagai peristiwa monumental, penting, dan menarik, headline media-media setempat masih saja didominasi oleh berita kriminal dan seks. Menurut kesaksian Seth Faison, jurnalis The New York Times pemenang Pulitzer Prize 1994 yang tinggal di dataran China selama 12 tahun, tema-tema itulah yang menjual dan dibaca luas oleh publik.
Seksisme dalam berita atau yang dalam laman Britannica diterjemahkan sebagai prasangka dan anggapan bahwa salah satu jenis kelamin superior atau lebih baik ketimbang jenis kelamin yang lain. Meskipun bisa saja menimpa semua jenis kelamin, tapi perempuan lah yang paling sering ketiban sial jadi korban seksisme, termasuk seksisme di berita olahraga. Buktinya, Kamu akan mudah menemukan judul berita yang mengobjektifikasi perempuan, seperti “Ketika Sandra Olga Pakai Jersey, Nggak Bisa Kedip Mata Para Pria” di Matamata.com, “9 Atlet Olimpiade Berpose Seksi untuk Amal” di Detik, atau “Pelari Asal Jerman Disebut sebagai Atlet Paling Seksi di Dunia, Intip Foto-fotonya” di Tribunnews. Artinya, berita-berita seksis atau mengobjektifikasi perempuan ini tak cuma monopoli Viva atau dilakukan wartawan Ridho Permana saja, tapi juga nyaris merata di semua media daring nasional.
Kalau sudah begini, lalu bagaimana? Meski Nieman bilang, kita bisa menaruh optimisme pada bisnis berita daring, tapi saya kurang sepakat. Mungkin untuk media daring yang mempertahankan mutu jurnalismenya, disokong pendanaan yang baik, dan menempatkan wartawan bukan sekadar mesin pencari uang dari klik, saya masih bisa percaya. Namun, untuk media daring yang masih menghamba pada klik lalu seenak udel mengeksploitasi perempuan dan bersikap seksis, saya lebih memilih menutup layar ponsel dan enggak baca berita saja.