Safe Space

Beban Timpang antara Ibu dan Ayah dalam Pendampingan Belajar dari Rumah

Budaya patriarkal dan sistem dalam perusahaan berdampak terhadap minimnya keterlibatan ayah dalam pendampingan belajar anak di rumah selama pandemi.

Avatar
  • September 23, 2020
  • 5 min read
  • 818 Views
Beban Timpang antara Ibu dan Ayah dalam Pendampingan Belajar dari Rumah

Memasuki tahun akademik 2020/2021 pada pertengahan bulan lalu, lebih dari setengah siswa sekolah di Indonesia harus lanjut belajar dari rumah karena berada di zona yang masih rawan terjadi penyebaran COVID-19. Sayangnya, ibu yang harus lebih banyak menanggung beban mengajar anak di rumah ketimbang ayah.

Studi yang kami lakukan sepanjang April hingga Mei 2020 pada orang tua di 34 provinsi menunjukkan sebanyak dua pertiga – atau sekitar 66,7 persen – pendampingan anak di Indonesia masih dominan dilakukan oleh perempuan. Bias gender dalam pendampingan proses belajar anak ini disebabkan oleh budaya patriarkal yang kuat mengakar pada sistem ketenagakerjaan dan pendidikan di Indonesia.

 

 

Hal ini menjadi masalah karena peran ayah juga penting dalam perkembangan akademik sang anak. Riset dari University of Illinois di Urbana-Champaign, Amerika Serikat menunjukkan bahwa keterlibatan ayah yang minim atau bahkan terlambat berdampak buruk pada capaian akademik anak. Studi lain menemukan bahwa keterlibatan yang seimbang dari ayah dan ibu membantu anak dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, serta mengembangkan ketahanan mental dan empati.

Baca juga: Masa ‘School from Home’ Ajarkan Prestasi Akademis Bukan Segalanya

Tuntutan pekerjaan orang tua

Survei kami menemukan penyebab utama responden (53,8 persen) tidak bisa mendampingi anak mereka belajar di rumah adalah karena tuntutan pekerjaan. Data terakhir menunjukkan 61,5 persen tenaga kerja di Indonesia didominasi oleh laki-laki dan hal ini menjelaskan mengapa pendampingan proses belajar ajak didominasi perempuan.

Namun, survei kami juga menemukan bahwa pada pasangan suami istri yang keduanya bekerja pun, masih terdapat ketimpangan gender dalam pendampingan anak. Salah satu penyebab terbesar dari hal ini terkait dengan masih rendahnya fleksibilitas yang diberikan tempat kerja terhadap pekerja laki-laki yang memiliki anak.

Data tahun 2019 dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa 71,4 persen laki-laki bekerja sebanyak 45 sampai 54 jam setiap minggunya. Persentase ini tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan pekerja perempuan. Bahkan, secara umum pekerja laki-laki bekerja lebih dari 25 per minggu, sementara kebanyakan pekerja perempuan bekerja kurang dari jumlah tersebut.

Aturan cuti khususnya terkait pendampingan pekerja laki-laki dalam keluarga juga masih sangat minim. Misalnya, dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa pekerja laki-laki di Indonesia hanya memperoleh hak cuti selama dua hari untuk mendampingi istrinya melahirkan.

Baca juga: Masuki ‘New Normal’, Siapa yang Temani Anak Belajar Virtual?

Sampai saat ini belum ada kebijakan yang memberikan penawaran cuti kepada ayah untuk terlibat penuh dalam pengasuhan anak mereka, seperti yang biasa ditemukan di negara-negara Skandinavia. Sistem ketenagakerjaan Indonesia yang bias gender ini tidak hanya mempersempit kesempatan ayah terlibat dalam pengasuhan anak, tapi juga melanggenggkan stigma bahwa urusan pendidikan anak adalah tanggungjawab ibu semata.

Sekolah belum mendorong keterlibatan orangtua secara adil

Budaya sekolah di Indonesia juga masih bias gender. Di lingkungan pendidikan modern, pihak sekolah berusaha untuk melibatkan orang tua dalam pendidikan anak mereka lewat kegiatan seperti pembagian rapor, pertemuan rutin komite sekolah, serta penugasan berupa proyek pembelajaran.

Namun pada praktiknya, masyarakat sering menganggap bahwa undangan dari berbagai aktivitas tersebut hanya berlaku untuk ibu. Masyarakat sejak dulu mengasumsikan bahwa dalam konteks pendidikan, orang tua dimaknai sebagai ibu semata.

Pemerintah sebenarnya telah menerbitkan aturan untuk melibatkan keluarga pada pendidikan anak yang bertujuan mendorong keterlibatan orang tua dan meningkatkan kepedulian mereka pada proses pendidikan karakter anak.

Masalahnya, upaya ini tidak selaras dengan kebijakan di tingkat sekolah. Misalnya, seiring bertambah tingginya pendidikan anak, sekolah semakin tidak melibatkan orang tua, terlebih ayah, karena menganggap anak didiknya harus belajar mandiri.

Apa yang bisa dilakukan?

Setidaknya ada tiga upaya yang dapat dilakukan dalam membangun keadilan gender dalam pendampingan pendidikan anak.

Pertama, sekolah perlu memberikan iklim yang kondusif bagi orang tua untuk terlibat dalam aktivitas belajar anak-anak mereka. Beberapa sekolah dan program pengasuhan anak tidak menciptakan lingkungan yang kondusif yang membuka kesempatan bagi ayah untuk lebih terlebih dalam proses pendidikan anak mereka. Tidak jarang ayah merasa canggung ketika harus memberikan masukan teknis pembelajaran atau menghadiri kegiatan sekolah anak mereka, dan akhirnya memilih tidak lagi hadir di sekolah.

Perlu lebih banyak kebijakan pelibatan ayah dalam aktivitas pembelajaran. Misalnya, sekolah dapat memfasilitasi penyelenggaraan pameran sederhana yang menunjukkan hasil pekerjaan siswa yang dihadiri kedua orang tua. Dari sana, baik siswa maupun orang tuanya bisa melihat hasil kolaborasi mereka bersama dengan hasil kerja siswa dan orang tua lain.

Di Jepang misalnya, orang tua khususnya ayah dilibatkan dalam kegiatan orientasi sekolah. Terdapat kebijakan yang mengharuskan orang tua masuk ke dalam kelas dan mengikuti pelajaran selama satu bulan supaya mereka memahami norma dan proses pembelajaran siswa di sekolah tersebut.

Sekolah juga dapat mengundang orang tua, khususnya ayah yang biasanya bekerja, untuk secara sukarela membagikan pengalaman kerja mereka pada siswa. Ini bertujuan untuk memantik rasa ingin tahu dan motivasi siswa tentang ragam profesi di masa depan.

Program ektsrakurikuler, olah raga, dan pengembangan bakat siswa dapat menjadi pintu masuk untuk melibatkan ayah di sekolah, mengingat umumnya pelaksanaan berbagai kegiatan ini berada di luar jam pelajaran atau di luar hari sekolah.

Kedua, institusi tempat bekerja perlu memberikan fleksibilitas waktu bekerja pada orang tua untuk dapat mengalokasikan waktu khusus dalam pendidikan anak mereka. Misalnya, perusahaan bisa menggencarkan kebijakan paternity leave (cuti ayah) untuk mendampingi istri pada saat melahirkan, hingga menemani anak tumbuh selama lima tahun pertamanya, dengan tidak mengurangi penghasilan mereka sama sekali.

Dengan fleksibilitas ini, seorang ayah dapat menjalankan perannya secara beriringan – sebagai pekerja maupun sebagai orang tua yang bertanggung jawab terhadap pendidikan anak mereka. Praktik ini dilakukan Jepang dan Korea Selatan dan mereka berhasil meningkatkan keterlibatan ayah dalam pendidikan anak mereka.

Ketiga, budaya patriarkal yang menyuburkan stigma bahwa urusan pendidikan adalah urusan perempuan juga perlu pelan-pelan dihilangkan. Bagaimana pun, ibu maupun ayah memiliki hak yang sama dalam pendidikan untuk mencapai keseimbangan capaian akademik sekaligus psikologis anak-anak di masa depan.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Diyan Nur Rakhmah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *