Masuki ‘New Normal’, Siapa yang Temani Anak Belajar Virtual?
Sekolah belum dibuka, ibu semakin kerepotan mendampingi anak belajar secara virtual.
Sektor bisnis mulai dibuka, kantor-kantor sudah beroperasi seperti sedia kala, para orang tua pun mulai bekerja. Lantas, siapa yang menemani anak belajar virtual di rumah?
Pemerintah belum memastikan kapan sektor pendidikan akan beroperasi secara optimal di tengah pandemi virus corona (COVID-19). Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy juga mengatakan bahwa kemungkinan sekolah adalah sektor yang paling terakhir dibuka dibandingkan sektor-sektor lainnya. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan pihaknya baru akan membuka sekolah pada awal 2021. Artinya, fasilitas pendidikan akan tetap tutup hingga waktu yang belum ditentukan.
Di lain pihak, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai dilonggarkan bahkan dicabut di sejumlah daerah. Ekonomi mulai dibuka, sektor bisnis mulai beroperasi, dan kantor-kantor mulai beraktivitas seperti sedia kala dengan mengadopsi kebijakan “new normal”. Dalam kondisi demikian, maka persoalan baru berpotensi muncul, terutama pembagian peran di wilayah domestik saat orang tua kembali ke kantor.
Siapa yang menemani anak belajar di rumah secara virtual?
Ibu bekerja rentan mengalah
Dalam kondisi ideal, pembagian peran domestik dan mendampingi anak-anak belajar adalah tugas ibu dan ayah. Namun faktanya, moral komunal serta racun patriarkal kerap menempatkan ibu atau perempuan sebagai pihak yang lebih bertanggung jawab. Glorifikasi multitasking yang disematkan kepada perempuan dan ibu seolah-olah mengabaikan penting hadirnya pasangan. Yang terjadi adalah beban ganda perempuan dan ibu bekerja yang mengurusi rumah tangga.
Baca juga: ‘Working from Home’ bagi Ibu Bekerja adalah Mitos
Kita kerap mengelu-elukan ibu hebat dan ibu kuat. Ibu hebat adalah mereka yang berhasil menavigasikan semua urusan rumah tangga dan pekerjaan. Ibu kuat adalah mereka yang tidak perlu mengeluh dan merasa “baik-baik saja” saat menjalani peran bekerja sekaligus mengurus rumah tangga. Padahal, ibu bekerja sekaligus mengurus rumah tangga adalah kelompok yang rentan depresi. Tidak semua ibu bekerja memiliki privilese atau kemewahan dibantu pekerja rumah tangga. Tidak semua ibu bekerja pun memiliki pasangan. Jika pun mereka memiliki pasangan belum tentu mau berbagi peran.
Sehingga, bukan tidak mungkin sebagian ibu bekerja justru memilih mengalah memasuki fase “kelaziman normal” ini. Mereka mengalah karena tidak ada pihak yang dianggap ideal dan bisa menemani anak-anak bersekolah di rumah secara virtual selain mereka. Apalagi jika anak-anak mereka cenderung masih usia TK, SD, dan SMP atau pra-remaja. Dibutuhkan pendampingan yang intensif dalam mengikuti kelas virtual. Setidaknya ini yang saya alami selama tiga bulan terakhir menemani kedua anak saya yang masih usia TK dan SD. Kedisiplinan soal waktu, rencana harian, pemahaman materi, pengerjaan PR, dan lain sebagainya.
Baca juga: Salah Sendiri Punya Anak: Derita Orang Tua di Era Pandemi
Kita bisa berharap bahwa anak-anak paham ibu mereka mesti bekerja. Tetapi yang sering kali mereka terlalu muda untuk mengerti. Sjuga eorang ibu akan dihantui rasa bersalah saat gagal menemani anak mencapai hasil belajar. Seorang ibu tidak jarang menyalahkan diri mereka sendiri saat anaknya dianggap gagal, terutama dalam hal pendidikan. Hal ini belum termasuk bagaimana masyarakat dan bahkan anggota keluarga besar yang melabeli para ibu gagal mendidik anak-anaknya.
Keputusan paling pahit yang sering kali diambil adalah: Ibu melepaskan pekerjaannya. Mengalah demi keluarga. Mendidik anak-anak mereka karena ibu ditempatkan sebagai madrasah pertama. Menemani anak-anak belajar di tengah situasi serba tidak pasti ini. Padahal ada setumpuk cita-cita terpendam yang belum terwujud atau rencana berkarier sampai posisi yang menjanjikan sebagai bentuk pencapaian.
Di luar kondisi pandemi, saya menyaksikan banyak sekali sahabat perempuan saya yang luar biasa cerdas saat sekolah dan kuliah tetapi tidak cukup punya daya menegosiasikan cita-cita dan minat mereka. Bahkan mereka menjelaskan itu semua murni pilihan mereka. Tentu tidak ada yang salah dengan pilihan menjadi ibu rumah tangga. Tapi saat mereka butuh ruang aktualisasi, berkarya, menjalankan minat, dan cita-cita mereka sebagai perempuan, semua itu seharusnya masih bisa dijalani dan dicapai. Selain itu, apakah mereka betul-betul memilih menjadi ibu rumah tangga secara sadar dan kritis? Saya sangsi.
Tidak semua ibu bekerja punya kemewahan dibantu PRT. Tidak semua ibu bekerja pun memiliki pasangan. Jika pun ada, belum tentu mau berbagi peran.
Potensi KDRT
Saat ibu bekerja mengalah dan terpaksa meninggalkan pekerjaannya, maka potensi KDRT muncul. Bagaimana bisa?
Pertama, Faktor ekonomi menjadi kambing hitam penyebab kekerasan. Pemasukan awalnya datang dari kedua belah pihak, namun saat ini satu pihak saja yang bekerja. Sedangkan kebutuhan bulanan bisa jadi secara ideal ditopang oleh dua pemasukan. Akibatnya, stres dalam mengelola keuangan memunculkan konflik antar-pasangan. Saling menyalahkan, tidak mengapresiasi peran pasangan, menganggap lebih berperan, menegasikan kontribusi pasangan dalam keseharian, dan lain sebagainya. Sehingga kekerasan psikis, fisik, sampai pengabaian ekonomi berpotensi terjadi.
Kedua, masa transisi dari yang sebelumnya bekerja menjadi ibu rumah tangga tentu membutuhkan kemampuan mengelola emosi serta ekspektasi tingkat tinggi. Sayangnya, kerentanan depresi tidak diantisipasi sejak awal. Saat seorang ibu bekerja sebelumnya memperoleh pengakuan di ruang publik, maka dia merasa hampa dan tidak berguna saat perannya dipaksa kembali ke rumah. Cita-citanya terhenti, ambisinya terpasung. Kekerasan psikis rentan terjadi saat pasangan yang bekerja mengabaikan situasi depresi yang dialami istri.
Ketiga, pengabaian situasi depresi tersebut bahkan buruknya dapat berdampak pada anak-anak. Kanalisasi emosi serta pengelolaan stres yang tidak terkendali menyebabkan para ibu justru melampiaskan kemarahan dan kekecewaan kepada anak-anak mereka. Sehingga anak-anak menjadi korban di tengah situasi yang semakin sulit ini. Pendampingan yang optimal di tengah sekolah di rumah yang diperpanjang sampai akhir tahun justru menjadi neraka bagi pola relasi yang toksik seperti ini.
Baca juga: Berbagi Peran Domestik: Lebih Banyak Dibahas Daripada Dilakukan
Mengenali situasi yang terjadi dan membicarakannya kepada para pihak/profesional yang tepat adalah langkah yang bisa dilakukan. Namun jika hal tersebut mustahil dipilih maka ruang aman #safespace yang ditawarkan lembaga-lembaga layanan serta komunitas dapat dijangkau.[1] Kamu, kita, tidak sendirian. Jika kamu ragu bercerita, ada cara-cara mengirimkan pesan rahasia kepada kawan.
Ada kalanya kita kerap takut dinilai gagal, lemah, lebay, drama, dan lain sebagainya yang menyudutkan kita sebagai korban. Mungkin ini saatnya kita menyudahi anggapan itu. Akan selalu ada teman dan tangan-tangan baik menjangkaumu jika kamu memulai percaya bahwa: kekerasan harus dihentikan. Sekarang!
Jika memerlukan bantuan untuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, silakan hubungi Komnas Perempuan (021-3903963, [email protected]); Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan/LBH APIK (021-87797289, WA: 0813-8882-2669, [email protected]). Klik daftar lengkap lembaga penyedia layanan di sini.