Zarifa Ghafari, Wali Kota Perempuan Termuda Afghanistan yang Diancam Taliban
Sebagai perempuan di kursi pemimpin, Zarifa Ghafari wali kota Meidan Shar kerap menerima ancaman pembunuhan, tapi itu tidak membuatnya takut.
“Saya duduk menunggu mereka (Taliban) datang. Tidak ada orang yang akan membantu saya dan keluarga saya. Dan mereka akan membunuh orang-orang seperti saya. Saya juga tidak bisa meninggalkan keluarga. Lagi pula, ke mana saya akan pergi?”
Zarifa Ghafari, wali kota perempuan Afghanistan paling muda, melontarkan kalimat itu ketika Taliban kembali menguasai kursi pemerintahan pertengahan Agustus lalu. Ghafari yang merasa tidak bisa berlindung tahu dirinya akan dibunuh. Pasalnya, ia sudah lama menjadi incaran Taliban karena menjadi pemimpin dan kerap mengadvokasikan pemberdayaan perempuan. Citranya itu adalah wajah yang harus dihilangkan bagi kelompok radikal fundamentalis itu.
Perempuan berusia 27 tahun itu sering menjadi sasaran rencana pembunuhan yang selalu gagal. Namun, pada November tahun lalu, Ghafari yakin Taliban membunuh ayahnya, Abdul Wasi Ghafari, sebagai balas dendam dirinya menjadi wali kota Maidan Shar. Ayahnya yang seorang kolonel pasukan operasi khusus militer Afghanistan juga telah lama dibenci Taliban. Ghafari mengatakan ayahnya menjadi salah satu pilar yang menguatkannya bertahan melewati berbagai ancaman dan upaya pembunuhan.
“Saya sudah beberapa kali diancam. Mereka menjadikan saya target. Saya selamat dan tetap melakukan pekerjaan saya. Mereka ingin melihat saya hancur, makanya mereka membunuh ayah saya,” ujarnya kepada The New York Times.
Pada masa krusial ini, keselamatan Ghafari yang sebelumnya selalu dilindungi menjadi sangat rapuh dan bisa dihancurkan kapan saja. Tidak hanya itu, kembalinya Taliban di kursi pemerintahan adalah kiamat untuk perempuan Afghanistan. Pasalnya, mereka melarang perempuan untuk bekerja dan menempuh pendidikan, menyuruh mereka menutup wajah dengan burka di tempat umum, dan harus selalu ditemani mahram jika bepergian.
Dalam keadaan seperti ini, Ghafari tidak pernah merasa putus asa. Dalam unggahannya di media sosial dia selalu bersikap optimis akan masa depan Afghanistan.
“Orang muda tahu apa yang sedang terjadi. Mereka memiliki media sosial. Mereka berkomunikasi. Saya yakin mereka akan terus berjuang untuk progres dan hak kita. Saya merasa ada masa depan untuk negara ini,” ujarnya dikutip dari NPR.
Baca juga: Bagaimana Cara Tunjukkan Solidaritas pada Pengungsi Afghanistan?
Mulai Karier Sebagai Aktivis Perempuan
Zarifa Ghafari mengingat betul menjadi perempuan di masa berkuasanya Taliban selama lima tahun di bawah kepemimpinan Mullah Muhammad Omar. Perempuan yang berasal dari Provinsi Pakita, Afghanistan itu harus menempuh pendidikan di sebuah sekolah rahasia agar tidak dipersekusi Taliban. Setelah Taliban disingkirkan dari kursi kekuasaan oleh militer AS dan NATO pada 2001, Ghafari dengan bebas mengenyam pendidikan. Ia menempuh pendidikan perguruan tinggi jurusan ekonomi di Punjab University, India.
Dilansir dari Time, sebelum terjun ke dunia pemerintahan, Ghafari adalah seorang pebisnis yang mendirikan stasiun radio Peghala FM. Radio ini berfokus pada edukasi untuk perempuan. Selain itu, dia mendirikan organisasi non-pemerintah yang membimbing perempuan agar mereka bisa berdaya secara ekonomi lewat pelatihan di Provinsi Wardak pada 2014.
Lelah dengan tatanan masyarakat patriarkal yang menilai harga diri dan kemampuan seseorang dari jenis kelaminnya, Ghafari melihat pemilihan wali kota Maidan Shahr pada 2017 sebagai kunci pemberdayaan perempuan. Pilihannya untuk menyasar kursi wali kota itu terbilang berbahaya mengingat Maidan Shahr yang sangat konservatif dan kental dengan ajaran Islam ekstrem dari Taliban. Tak pelak, Ghafari pun menerima banyak penolakan atas pencalonannya dari masyarakat setempat.
“Kadang semua orang memang tampak anti terhadap perempuan, terutama jika dia aktif di masyarakat. Mereka bisa melabeli kamu sebagai perempuan tidak bermoral,” ujarnya dikutip dari The New York Times.
Ghafari memang bukan wali kota perempuan Afghanistan yang pertama. Sebelumnya ada Azra Jafari, perempuan pertama yang diangkat menjadi wali kota di Nili pada 2008. Namun, Nili digadang-gadang lebih toleran dibandingkan Maidan Shahr. Situasi pun menjadi sangat pelik untuk Ghafari. Selain itu, Ghafari adalah menjadi satu-satunya calon perempuan melawan 137 kandidat laki-laki. Namun pada akhirnya Presiden Ghani menunjuknya sebagai wali kota pada 2018.
Baca juga: Janji Tinggal Janji, Kemenangan Taliban Musibah bagi Perempuan Afghanistan
Zarifa Ghafari Tak Gentar Dapat Penolakan
Hari pertamanya menjadi wali kota perempuan Afghanistan pun tidak berlangsung mulus pada Juli tahun itu. Alih-alih menjadi momen bahagia dan bersejarah untuk Afghanistan, massa laki-laki beramai-ramai datang membawa batu dan melemparnya ke arah kantor wali kota. Mereka meminta Ghafari segera turun dari posisinya. Alasan demonstrasi itu tidak jauh-jauh dari nilai misogini.
Mereka tidak suka Zarifa Ghafari menjadi wajah perempuan berdaya yang memimpin kota Maidan Shahr. Belum lagi Gubernur Provinsi Wardak saat itu, Mohammad Arif Shah Jahan, juga tidak setuju perempuan menduduki posisi pemimpin.
Bukannya merasa takut dengan ancaman seperti itu, Ghafari merasa semakin terbakar dan berjanji pada Presiden Ghani dia tidak akan mundur. Ia kemudian menyuarakan ketidakadilan itu lewat kampanye di media sosial #IWillFightForRight dan membuktikan perempuan juga memiliki hak dan kekuatan yang seharusnya tidak dipandang enteng.
“Saya selalu mencoba untuk membuktikan kekuatan dan kemampuan perempuan,” ujar Ghafari kepada Time.
Ghafari berjuang dengan kampanyenya itu selama sembilan bulan sampai akhirnya Jahan turun dari posisinya sebagai gubernur pada 2019. Saat itu, Ghafari pun bisa menjalankan tugasnya sebagai wali kota perempuan Afghanistan pada usia 26 tahun. Hal pertama yang ia lakukan ialah menciptakan ruang aman untuk berbelanja khusus perempuan, mencabut politikus korup dari posisinya, dan fokus pada proyek lingkungan serta kebersihan kota.
Akan tetapi, masa jabatannya tentu tidak berjalan mulus. Laki-laki yang menjadi koleganya di posisi pemerintahan sering memandangnya rendah hanya karena Ghafari perempuan berusia muda. Kadang, dia harus menunjukkan amarah agar dia bisa menjalankan tugas. Itu pun juga tidak lepas dari bahan candaan laki-laki.
“Ketika perempuan ingin bekerja di lingkungan yang sangat konservatif, dia harus menyembunyikan diri yang sebenarnya dan menjadi keras atau tidak ada orang yang akan mendengarkannya. Saya harus membuktikan kepada mereka perempuan tidak lemah,” ujarnya.
Baca juga: Magdalene Primer: Yang Perlu Diketahui tentang Isu Palestina-Israel
Ancaman Pembunuhan untuk Perempuan Berdaya
Sebagai perempuan yang berani melawan tatanan masyarakat misoginis dan patriarkal, ancaman pembunuhan menjadi bagian rutinitas sehari-hari. Untuk menjaga keselamatannya, Ghafari bermukim di ibu kota Kabul dan harus menempuh perjalanan sekitar 48,2 kilometer untuk menuju kantornya di Maidan Shahr. Dia pun selalu dalam pengawasan yang ketat dengan mobil anti peluru. Pengawalnya juga harus siap siaga dengan senjata api jika ada anggota Taliban yang tiba-tiba menyerangnya.
Dilansir dari Rolling Stone, untuk menuju Maidan Shahr, dia harus melewati National Highway 01 atau ring road yang menyatukan kota-kota besar di Afghanistan. Jalan tersebut juga sering disebut sebagai jalan menuju neraka karena kerap menjadi sasaran serangan Taliban.
“Setiap kali saya meninggalkan rumah saya berpikir perjalanan ini mungkin yang terakhir. Jalan berbahaya ini yang menentukan nasib saya,” ujarnya.
Di kantornya pun, suara serangan roket dan bom Taliban bisa terdengar. Ghafari mengaku merasa aman di kantornya karena diawasi dengan ketat. Namun, hal itu tidak menjadi jaminan Ghafari luput dari daftar orang-orang yang harus dibunuh Taliban. Ia sudah mengalami tiga kali aksi percobaan pembunuhan, salah satunya terjadi Maret lalu. Ghafari diserang dengan tembakan bertubi-tubi ke arah mobilnya di Kabul.
Dalam wawancaranya bersama Geneva Solutions, ia mengaku selalu merasa khawatir dengan keselamatan keluarganya karena perdamaian tak kunjung datang. Situasi seperti itu tentu saja menjadikan perempuan sebagai korban terbesarnya, ujarnya.
Sebelum Taliban kembali mengambil kursi pemerintahan dan berjanji untuk menghargai hak dan melindungi perempuan, Ghafari sudah merasa skeptis. Hal itu karena secara historis Taliban tidak berpihak pada perempuan.
“Kami sempat merasakan pemerintahan mereka di negara ini dan kami melihat apa yang mereka lakukan pada perempuan. Mereka membunuh, menghancurkan citra dan mimpi perempuan. Jadi, saya tidak bisa percaya mereka dengan menghormati hak perempuan karena mereka telah gagal,” jelas Ghafari.
Ghafari yang kerap aktif menyuarakan hak perempuan Afghanistan dan teguh dalam posisinya sebagai pemimpin walaupun terus diserang menerima penghargaan International Women of Courage dari State Department AS, Maret lalu. Dalam pidatonya menerima penghargaan itu dia menekankan perempuan belum melupakan masa berkuasa Taliban dan selalu dirundung rasa khawatir.
Kepada Time Ghafari mengatakan, “Selama lebih dari 60 tahun, laki-laki selalu memiliki kesempatan, tapi mereka belum menemukan solusi untuk konflik yang sedang berlangsung. Saya yakin kita, perempuan, bisa melakukannya dengan lebih baik dibandingkan orang lain.”