Issues

Janji Tinggal Janji, Kemenangan Taliban Musibah bagi Perempuan Afghanistan

Kewajiban mengenakan burka, dipaksa menikah, hingga terpaksa berdiam di rumah mengembalikan perempuan Afghanistan pada masa suram dua dekade lalu.

Avatar
  • August 18, 2021
  • 6 min read
  • 772 Views
Janji Tinggal Janji, Kemenangan Taliban Musibah bagi Perempuan Afghanistan

Taliban lewat juru bicara senior Zabihullah Mujahid, (17/8) berjanji akan menghormati hak-hak perempuan, memaafkan musuh, dan memastikan Afghanistan tidak menjadi surga bagi teroris. Masalahnya, janji tinggal lah janji, apalagi jika mengingat catatan buram mereka di masa lalu terhadap kelompok perempuan.

Bahkan, sebelum sukses menguasai ibu kota Kabul pun, milisi Taliban masih bertindak sewenang-wenang dan menyelesaikan masalah dengan moncong senjata. Pengalaman Manizha, 25 adalah salah satu contohnya. Tiga hari berturut-turut, para milisi Taliban memaksa ibu Manizha, Najia untuk memasak makanan bagi 15 orang. Di hari keempat, saat perempuan itu kehabisan logistik di rumah, Taliban memukulnya dengan popor AK-47 lalu melempar granat ke rumah. Sang ibu meninggal dunia.

 

 

Sebulan berselang, Taliban mencicil kebijakan misoginisnya dengan menghapus foto, gambar, grafiti perempuan. Dengan begini, janji Taliban menghormati perempuan disebut-sebut hanyalah pesan kosong. Dilansir dari The Associated Press, janji ini dibuat agar masyarakat dunia tak mencaci mereka beramai-ramai. Pun, agar warga Afghanistan tak semakin hidup dalam ketakutan.

Baca Juga: Perempuan Pengungsi di Indonesia dalam Belenggu Diskriminasi

Sebenarnya apa yang dilakukan Afghanistan ini senada dengan kebijakan-kebijakan mereka saat menguasai negara dari 1996 hingga 2001. Melarang anak perempuan bersekolah, perempuan harus menutupi wajah mereka dengan burka di depan umum, dilarang berobat ke dokter laki-laki, dan harus ditemani oleh laki-laki kerabat mereka—atau mahram—setiap bepergian contohnya.

Selain harus menggunakan burka, dari segi penampilan, perempuan tidak diperkenankan mengecat kuku maupun riasan wajah, dan sepatu berhak tinggi agar tidak menggairahkan laki-laki ketika mendengar langkah kakinya.

Sementara di ruang publik, perempuan dilarang berbicara dengan keras—lantaran suara mereka tak seharusnya terdengar, mengubah nama tempat dengan kata “women”, misalnya “women’s garden” menjadi “spring garden”, hingga melarang kehadiran perempuan di radio, televisi, atau pertemuan publik apa pun.

Jika melanggar aturan tersebut, perempuan akan menerima hukuman sebagai konsekuensi perbuatannya, seperti dihina dan dipukul di depan umum oleh polisi agama. Para Taliban pun menerapkan eksekusi publik berupa pemotongan tangan pencuri dan merajam perempuan yang dituduh berzina.

Dalam artikel jurnal berjudul “A History of Women in Afghanistan: Lessons Learnt for the Future or Yesterdays and Tomorrow: Women in Afghanistan” (2003) oleh Huma Ahmed-Ghosh, akademisi di San Diego State University dan editor di State University of New York Press disebutkan, aturan tersebut bermula di 1996. Tepatnya ketika Taliban meminta Departemen Pembinaan Kebajikan dan Pencegahan Keburukan untuk memantau dan mengontrol perilaku perempuan.

Untuk “membantu” warga menyesuaikan diri dengan rezim fundamentalis baru, setiap harinya stasiun radio mengingatkan kewajiban terhadap negara dan Islam, serta menyusun daftar perubahan yang perlu dipatuhi laki-laki dan perempuan.

Di sini, Afghanistan mengalami kemunduran karena pada 1964, ketika mereka memutuskan bertransformasi menjadi demokrasi modern, perempuan justru diizinkan terlibat dalam politik dan diberikan hak untuk memilih.

Baca Juga: Di Manakah Letak Patriarki?

Kehidupan Perempuan Afghanistan Saat Ini

Setelah rezim Taliban berakhir pada 2001, hak-hak perempuan meningkat secara bertahap di bawah Republik Islam Afghanistan. Berdasarkan hukum, perempuan setara dengan laki-laki di bawah konstitusi 2004, terlihat dari jumlah kursi di DPR yang disediakan untuk perempuan, sebesar 27 persen dari 250 kursi. 

Mengutip Amnesty International, kini 3,3 juta anak perempuan mengenyam pendidikan, aktif berpartisipasi dalam politik, ekonomi, dan kehidupan sosial di negaranya. Meskipun konflik masih berlanjut, banyak perempuan berprofesi sebagai pengacara, dokter, hakim, guru, insinyur, aktivis, atlet, politisi, jurnalis, birokrat, pebisnis, polisi, dan anggota militer.

Terlepas dari kemajuan tersebut, para perempuan masih menghadapi berbagai rintangan untuk memperoleh haknya, seperti kekerasan seksual yang merajalela, diskriminasi, seksisme, dan lainnya.

Pada 2015, World Health Organization (WHO) bahkan melaporkan 90 persen perempuan Afghanistan mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan itu terjadi secara verbal, psikologis, fisik, hingga pembunuhan di luar hukum yang diperintahkan oleh pihak berkuasa atau unlawful killing. Kebebasan pun tak seluruhnya dimiliki perempuan, karena sejak bayi, anak-anak perempuan maupun dewasa berada di bawah kekuasaan sang ayah atau suami.

Selain itu, partisipasi perempuan di pemerintahan masih terbatas, dan 2,2 juta anak perempuan tidak dapat bersekolah, terlebih kini Taliban kembali menginvasi Afghanistan.

Baca Juga: Magdalene Primer: Yang Perlu Diketahui tentang Isu Palestina-Israel

Wakil Presiden American University of Afghanistan, Victoria Fontan, menuturkan kepada France24, perempuan Afghanistan harus menghadapi situasi suram, terutama para pelajar yang khawatir akan dikurung di rumah dan tidak bisa belajar, karena tidak dapat dipastikan jika mereka dapat belajar secara daring. Fontan juga menyebutkan, beberapa siswinya di Kandahar dan Herat mesti bersembunyi dari para Taliban.

Marwa, janda berusia 25 tahun adalah salah satu perempuan yang melarikan diri dari kota tinggalnya, Taloqan, ketika terjadi pertempuran di sana. Kepada India Today, ia menceritakan alasannya meninggalkan kota tersebut, yakni takut diperintahkan menikah dengan seorang Taliban. Sementara sepupunya berusia 16 tahun telah dijemput paksa oleh mereka, untuk dinikahkan dengan salah satu darinya. Padahal, ia memiliki tunangan yang berada di Prancis.

Kondisi ini mencerminkan tak ada jaminan keselamatan perempuan Afghanistan, sekalipun mereka berusaha menaati “peraturan” yang diciptakan oleh kelompok militan tersebut.

Burka Menghapus Identitas Diri Perempuan

Setelah kekuasaan Taliban berakhir di 2001, perempuan Afghanistan memiliki pilihan untuk tetap mengenakan burka sebagai bentuk keyakinan agamanya, atau menolak sebagai wujud perubahan dan kebebasan bagi mereka dalam menjadi diri sendiri.

Namun, kekacauan situasi Afghanistan saat ini memaksa mereka untuk kembali ke dua dekade lalu. Setelah Taliban menguasai Herat pada 12 Agustus lalu, perempuan di kota tersebut menerima deklarasi yang disebarkan secara online, mengenai kewajiban mengenakan burka di ruang publik.

Sementara di Kabul, terdapat pengumuman dari Taliban lewat pengeras suara di masjid. Mereka mengatakan agar perempuan memakai burka untuk menutupi seluruh bagian tubuh. Akhirnya perempuan memilih berdiam di rumah karena takut dipukuli akibat tidak menutupi diri. Selain itu, kebanyakan perempuan di Kabul tidak memiliki burka dan sedang berusaha mendapatkannya.

“Kami tidak memiliki burka di rumah. Sebenarnya saya tidak ingin bersembunyi di balik pakaian itu karena saya menerima peraturan Taliban dan membiarkan mereka memegang kendali atas diri saya,” ujar Habiba, seorang mahasiswi, kepada The Guardian. Ibunya menyarankan membeli burka untuk melindungi anak-anak perempuannya.

Serupa dengan Habiba, Amul, seorang model dan desainer yang memiliki sebuah usaha kecil, melihatnya menuju ambang kehancuran. Sepanjang hidupnya, ia berusaha menampilkan kecantikan, keberagaman, dan kreativitas perempuan Afghanistan, untuk melawan citra mereka sebagai sosok tanpa wajah di balik burka berwarna biru—identik dengan identitas perempuan Afghanistan di seluruh dunia.

Demi bertahan hidup, pakaian yang melambangkan simbol perbudakan dan membatasi ruang gerak itu harus kembali dikenakan.

Kini perempuan Afghanistan sedang putus asa, terjebak dalam situasi tanpa pilihan, dan merasa harus melepaskan pencapaian yang telah diperjuangkan, termasuk identitas diri dan penghargaan yang mendefinisikan mereka. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari 



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *