Beda Kelakuan Kelompok Privilese Kala Pandemi
Saat Indonesia kolaps melawan pandemi, sebagian warga berprivilese memutuskan turun tangan, sementara anak pejabat memilih pergi liburan.
Saat Presiden Joko Widodo mengumumkan perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat sampai 25 Juli, saya bernapas lega. Artinya untuk sementara waktu, saya tidak perlu overthinking akan terpapar COVID-19 karena mayoritas orang diam di rumah. Pun, amit-amit jika kena, saya bisa melakukan isolasi mandiri (isoman) dengan damai. Namun, dilema menghampiri saat membaca liputan Project Multatuli, menceritakan warga di kampung kota Jakarta yang mustahil melakukan isoman, tes usap, atau mengakses fasilitas kesehatan yang memadai seperti saya.
Dari liputan itu saya jadi tahu, pandemi COVID-19 makin memperlebar ketimpangan ekonomi dan sosial. Kita yang bisa bekerja sekaligus fokus menjaga kesehatan di rumah, memiliki privilese besar untuk hidup aman dan nyaman. Sementara banyak warga tanpa privilese, sedang mempertaruhkan nyawa, bahkan untuk sekadar mengisi perut. Di titik inilah adagium bahwa kita bisa mati karena virus, tapi lupa manusia juga mati karena lapar, menjadi relevan menggambarkan ketimpangan kelas.
Baca Juga: Tangan-tangan Tak Terlihat: Bagaimana Jutaan PRT Bertahan Selama Pandemi
Figur Publik dan Privilesenya
Pekan lalu, warga Twitter dibuat jengkel dengan kelakuan anak dan menantu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia, Airlangga Hartarto. Mereka berlibur ke Jepang di tengah PPKM Darurat. Informasi itu diketahui warganet kita dari Instagram Story menantu Pak Menteri yang juga seorang influencer, Rachel Theresia, sebelum ia menghapusnya belakangan.
Selain Rachel, banyak influencer dan figur publik lain yang privilese hidupnya terlalu besar, sehingga menyepelekan pandemi ini. Kelakuan mereka di media sosial bikin kita menggelengkan kepala, karena hobinya enggak jauh dari mengumandangkan dua kalimat ini:
“Kita kumpul-kumpul gini udah swab kok” atau “stay safe guys!”
Lantas untuk apa mereka repot mengingatkan publik, kalau dirinya sendiri abai?
Ya, para figur publik memang punya penghasilan melimpah, sehingga bisa bolak-balik tes PCR, beli obat-obatan, serta vitamin mahal. Mereka juga punya banyak kenalan yang menjamin perawatannya bisa diutamakan apabila terpapar virus. Namun, kelompok masyarakat seperti ini lupa, semua privilese yang mereka punya, berpotensi membahayakan orang lain dan merepotkan tenaga kesehatan.
Satu hal yang bikin makin jengkel dari tingkah laku mereka: Begitu terpapar minta didoakan supaya cepat sembuh. Saya enggak mensyukuri mereka sakit, tapi bukannya itu akibat dari kelalaian yang disengaja?
Sebagai sosok yang paling disorot, seharusnya publik figur sadar memiliki beban moral, lantaran sering dijadikan panutan oleh pengikutnya. Alih-alih memberikan contoh yang benar, mereka justru menyampaikan pemahaman bepergian akan tetap aman selama pakai masker, jaga jarak, dan rajin cuci tangan. Padahal baik PPKM Darurat atau tidak, seharusnya kita membatasi diri untuk ke luar rumah, selama penyebaran virus ini masih berlangsung.
Baca Juga: Adakah Cara Berduka yang Tepat Saat Pandemi?
Kekesalan kita belum selesai di situ, masih ada perilaku wakil rakyat yang bikin jengah. Wasekjen DPP PAN Rosaline Rumaseuw meminta pemerintah membuat rumah sakit penanganan COVID-19 untuk pejabat negara. Boro-boro rumah sakit khusus pejabat negara, menangani rakyat saja, nakes kita sudah kewalahan. Lagipula, keadaan negara yang kolaps ini tak bisa dilepaskan ulah mereka yang meremehkan dari awal pandemi. Lantas, kenapa sekarang merasa superior dan minta diperlakukan spesial?
Privilese untuk Dinikmati Bersama
Saat pemerintah masih asyik mengklaim penanganan COVID-19 di negara ini terkendali, untung banyak warga privilese bahu-membahu menangani gelombang kedua pandemi. Mulai dari membuat situs wargabantuwarga.com untuk informasi faskes dan askes, mendirikan platform subsidi silang untuk membantu finansial warga yang ekonominya terdampak, dan penggalangan dana serta penyaluran sembako untuk warga miskin.
Kemudian ada dapur umum untuk yang sedang isoman, pembagian makanan dan peminjaman tabung oksigen gratis, hingga aktor Ananda Omesh yang merelakan mobilnya dimanfaatkan sebagai ambulans.
Solidaritas ini patut diacungi jempol dan terlihat miris secara bersamaan. Artinya, rakyat punya kesadaran tinggi untuk menekan angka penyebaran COVID-19, karena kita lelah menyandarkan harapan pada penanganan pemerintah yang tidak bisa diandalkan. Kondisi ini menunjukkan tingkat kepercayaan warga terhadap pemerintah semakin menurun, sekali pun mereka telah meminta maaf. Maka itu, lebih baik mengupayakan apa pun untuk saling menjaga dan menyelamatkan.
Namun, segelintir pejabat negara masih bikin gemas tuh. Mereka justru membanggakan usaha rakyat sebagai semangat gotong royong yang patut dibanggakan, seolah ini kesempatan mereka untuk cuci tangan dari lepasnya tanggung jawab akibat terlalu banyak menyangkal.
Baca Juga: Perempuan dan Ketergantungannya pada Privilese Pria
Sri Sultan Hamengku Buwono X misalnya. Seperti dikutip oleh CNN Indonesia, ia mengatakan pembiayaan terhadap kebutuhan Satgas COVID-19 di tingkat padukuhan, kampung, RT, dan RW menggunakan swadaya masyarakat dengan semangat gotong royong dan jaga warga. Rakyatnya menderita, tapi kok pemimpinnya tanpa malu menutupi kegagalannya dengan minta warga gotong royong?
Menurut saya, kita perlu terus bergerak untuk saling membantu. Setidaknya ini lebih efektif ketimbang membuat berbagai kebijakan seremonial yang sebenarnya hanya memperbarui nama belaka. Semoga warga berprivilese seperti kita, belum lelah mengisi kekosongan peran pemerintah sambil menunggu perbaikan sistem penanganan pandemi. Seperti pepatah klasik yang saya amini: Anggap saja mantan pacar, eh pemerintah maksudnya, sudah mati.