Polemik ‘Food Vlogger’, Magdalena, dan Komen Pasaran ‘Enak Banget Kayak Mau Meninggal’ (2)
Di bagian kedua, Magdalene mengurai curhatan para food vlogger yang kerap dipandang sebelah mata. Apa yang bisa dilakukan kalau begitu?
Memiliki keterbatasan wawasan di bidang kuliner tengah dialami Dicky, pegawai swasta sekaligus food vlogger di Instagram @triple.eat. Hal itu membuat Dicky tidak menilai cita rasa makanan, ia cenderung fokus merekomendasikan dengan label “versi Triple Eat”.
“Makanan yang jadi konten itu yang comforting di lidah aja,” ujar Dicky. “Gue enggak pernah nyebut detail rasanya kurang apa, karena enggak ada lisensi dan bukan spesifikasinya di bidang kuliner.”
Sama seperti Ainin, ia memilih jadi food vlogger lantaran senang kulineran. Berawal dari 2017, ketika Dicky ingin menyalurkan kesenangannya itu, dan melihat banyak orang menjadi foodie di Instagram.
Namun, banyaknya akun foodie dan sempat vakum beberapa waktu menjadi tantangan bagi Dicky. Lantaran ingin memiliki branding dan menjangkau audiens lebih luas, engagement menjadi aspek yang ia kejar belakangan ini. Maka itu, Dicky berusaha menyesuaikan algoritma Instagram, dengan mengunggah reels berupa rekomendasi makanan yang disampaikan lewat storytelling.
Mengamati fenomena ini secara umum, Fadly mengungkapkan orientasi para food vlogger semata mencari keuntungan pribadi—didefinisikan melalui engagement dan jumlah pengikut.
Tak dimungkiri, engagement berperan penting. Baik dalam memperluas jangkauan audiens food vlogger, maupun keuntungan bisnis bagi pelaku usaha kuliner di tengah persaingan di media sosial.
Karenanya, food vlogger kerap menjadi bagian dari strategi pemasaran yang direncanakan pelaku usaha kuliner—sebagaimana disebutkan peneliti Stephanie Bun dan Yeshika Alversia dalam Incentives and Food Blogger Influence on Customer Engagement through Instagram (2020).
Salah satunya dilakukan Kultura, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) asal Bali, yang menjual paket mie kemasan beku (frozen noodle kit) sejak 2019. Jatu Anurantha, sang pemilik menyatakan, konten food vlogger yang mengulas Kulturasa di media sosial cukup membantu ke penjualan dan brand awareness.
Karena itu, dibandingkan jumlah followers, cara food vlogger menyampaikan isi konten merupakan aspek yang diperhatikan oleh Kulturasa. Seperti intensitas mengunggah konten, serta review yang jujur dan tidak berlebihan.
Contohnya saat Hans Danials—food blogger dengan handle @eatandtreats di Instagram—me-review produk Kulturasa di tengah pandemi. Kata Jatu, sejumlah followers Hans menghubungi dan mengikuti Instagram Kulturasa. Ada juga yang berkunjung ke kedai Kulturasa, beberapa tahun setelah ulasan Hans.
“Padahal Hans review Kulturasa di 2020, terus mereka (pelanggan) datang di 2022 dan 2023. Katanya tahu kami dari Instagramnya Hans,” cerita Jatu. Menurutnya, dampak itu begitu besar, lantaran Hans menjelaskan cita rasa produk Kulturasa secara detail—membuat followers Hans tertarik mencoba. Padahal, Kulturasa hanya menjelaskan produknya secara umum.
Berkaca dari hal itu, Jatu mengatakan tertarik untuk bekerja sama dengan food vlogger lainnya melalui endorsement. “Kita kepikiran melakukan itu dan menyesuaikan dengan budget. Mungkin tahun ini karena sebelumnya selalu dapat ulasan gratis,” ungkapnya.
Secara pribadi, Jatu pun menilai, food vlogger membuat makanan lebih diminati. Bahkan membantu usaha yang memiliki keterbatasan budget untuk pemasaran. Agar saling menguntungkan, biasanya Kulturasa menjamu food vlogger yang ingin mengulas produk, dengan menggratiskan makanan.
Di sisi lain, jamuan itu dapat dilihat sebagai privilese food vlogger. Pekerjaannya yang dianggap punya kekuatan di media sosial membuat mereka menerima perlakuan istimewa. Ainin sendiri pernah menerima voucher makan, ketika reservasi restoran untuk ulang tahun mertuanya. Menurut Anin, restoran itu tahu ia memiliki banyak pengikut di media sosial.
“Waktu itu kan makan bayar sendiri, tapi karena dikasih voucher, aku bantu posting di (Instagram) story. Walaupun ya mereka enggak minta,” cerita Ainin.
Berkat pekerjaannya sebagai food vlogger, Ainin juga berkesempatan mencicipi banyak makanan dari jamuan yang disajikan restoran. Bahkan, menerima penghasilan tambahan dari brand dan tempat makan yang mengajak kerja sama.
Sementara Dicky beberapa kali diundang ke restoran, untuk mengulas menu baru maupun ke pembukaan cabang baru. “Katanya mereka suka sama konten-konten Triple Eat,” ujarnya.
Apabila melihat privilesenya, food vlogger kelihatannya merupakan pekerjaan menyenangkan dan mudah dilakukan. Di balik itu, mereka kerap menerima perlakuan tidak menyenangkan.
Baca Juga: Di Internet, Perempuan ‘Influencer’ Tak Pernah Bisa Jadi Diri Sendiri
‘Food Vlogger’ yang Dipandang Sebelah Mata dan Aspek Penting dari Kuliner yang Patut Disorot
Ketika berbincang di podcast bersama Samuel Christ, Magda menyebutkan pelaku bisnis masih memandang food vlogger sebelah mata. Ternyata, Ainin sepakat dengan ungkapan Magda tersebut. Beberapa kali, Ainin merasa pelaku usaha kuliner menyepelekan pekerjaannya.
Contohnya ketika hendak merekam proses memasak, acapkali Ainin menerima tatapan tajam dari pemilik kedai. Menurutnya, pemilik kedai tidak sepenuhnya rela Ainin merekam, khawatir resepnya dicuri begitu dipublikasikan di media sosial.
Selain itu, tak jarang klien endorsement-nya membatalkan kerja sama, begitu Ainin tiba di tempat makan. Berbagai alasan pernah ia terima. Mulai dari tidak tahu ada kerja sama, atau membatalkan acara tanpa menyampaikan informasi apa pun.
Ada juga yang tidak membayar tarif endorsement, dan menghilang tidak dapat dihubungi. Padahal, Ainin sudah syuting dan mengedit konten sesuai perjanjian.
“Biasanya aku memberlakukan invoice, di situ ada cancelation fee, tapi ada (pelaku usaha kuliner) yang enggak mau pakai invoice,” ungkap Ainin.
Kejadian seperti itu membuat Ainin merasa pekerjaannya tidak dihargai. Sementara tak ada yang bisa ia lakukan selain mengikhlaskan. Karena itu, Ainin berharap setidaknya pekerjaan food vlogger dianggap sebagai hobi atau komunitas.
“Kita (food vlogger) mau review bukan minta gratisan aja. Kan membantu mereka (pelaku usaha kuliner) juga. Siapa tahu (usahanya) tambah rame kan alhamdulillah, kita juga senang. Pelanggan mereka bertambah, kita dapat konten,” ucapnya.
Apabila menurut Ainin food vlogger dapat membantu pelaku usaha kuliner, Fadly memandang pekerjaan ini punya kapabilitas lebih dari itu. Menurut Fadly, seharusnya food vlogger mengedukasi masyarakat tentang kekayaan kuliner Indonesia. Termasuk isu-isu krusial seputar pangan, yang tidak terekspos dalam vlog makanan.
Misalnya ketergantungan masyarakat terhadap minyak sawit. Food vlogger dapat menjelaskan situasi konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, yang juga berdampak pada hilangnya mata pencaharian masyarakat adat di Kalimantan dan Sumatra. Akibatnya, terjadi kerusakan lingkungan yang masif dari konsumsi minyak sawit, yang digunakan di lingkungan domestik dan industri.
“Media sosial itu platform yang sangat strategis. Medianya enggak salah, tapi kalau yang pakai salah, bisa menyesatkan,” ujar Fadly.
Salah satunya konten mukbang yang berpengaruh ke pola konsumsi masyarakat. Jutaan orang yang menyaksikan video tersebut memiliki respons berbeda, tidak semuanya kritis. Akibatnya, banyak yang mengikuti tren tersebut dan berdampak pada pola konsumsi, maupun lingkungan.
Contoh lainnya adalah selama Ramadan. Seharusnya, food vlogger mengingatkan audiensnya untuk mengurangi keinginan mengonsumsi makanan secara berlebihan. Hal ini berdampak pada peningkatan sampah makanan. Padahal, kekuatan food vlogger di media sosial bisa mengarahkan audiensnya untuk bertanggung jawab dalam mengonsumsi makanan.
Realitasnya, tren demi tren yang menjadi sorotan food vlogger. Seperti hidden gem, tempat makan viral dengan spot foto Instagrammable, dan makanan dari luar negeri yang membuka gerai di Indonesia.
Menurut Fadly, konten-konten itu akan berdampak pada kuliner Indonesia. “Semakin banyak kuliner lokal kita yang terlupakan, ketika konten (food vlogger) enggak berkaitan dengan nilai-nilai tradisi Indonesia,” terang Fadly.
Ia menambahkan, konten vlog makanan yang ada kebanyakan hiburan semata. Kesannya, food vlogger membujuk audiens untuk berwisata kuliner, tanpa menghiraukan berbagai hal yang patut disorot. Padahal, aspek-aspek penting dalam kuliner lokal sangat mungkin dipelajari.
Selain Bondan Winarno, Indonesia masih punya tokoh-tokoh yang memahami urusan pangan dan kuliner lokal. Misalnya Charles Toto, juru masak di pedalaman hutan Papua, dan Rahung Nasution. Dengan demikian, mungkin sudah saatnya food vlogger mempertimbangkan perluasan cakupan konten. Caranya dengan memajukan potensi pangan Indonesia yang beragam, dan edukasi terkait konsumsi makanan.
Baca artikel pertama di sini.