Pengalaman Makan di Karen’s Diner: Unik Tapi Juga Tidak Menyenangkan
Aurel dan Jasmine mencoba sensasi makan sambil dimarah-marahi oleh pramusaji Karen’s Diner. Ternyata ini jadi pengalaman unik yang tak terlupakan
POV Jasmine:
“Jasmine, aku rencananya minggu depan mau eksperimen ke Karen’s Diner. Kamu bisa ikut enggak? Aku enggak mau sendirian,” begitu ajak Aurel pada 9 Januari lalu.
Ajakan Aurel berasal dari ide artikel eksperimen saat rapat mingguan. Ia telah merencanakannya dari Desember tahun lalu dan sejak awal ia melontarkan ide ini aku sudah berharap akan diajak olehnya. Tak heran saat Aurel mengajakku, tanpa pikir panjang dan dalam hitungan detik aku langsung menerima tawarannya.
Sejujurnya sejak Karen’s Diner resmi dibuka di Jakarta 15 Desember 2022 lalu, aku sudah tak sabar ingin berkunjung ke restoran itu. Bukan karena ingin kebelet eksis atau ingin berburu konten untuk ajang pamer. Tetapi aku hanya ingin menikmati sensasi makan sambil dimarah-marahi. Karen’s Diner buatku adalah tempat tepat buat memompa adrenalin. Maklum, aku termasuk adrenaline junkie kecuali untuk urusan hal-hal mistik.
Tiba pada pukul 12 siang, dengan ritme jantung yang sudah mulai naik kami berdua berjalan naik menuju Bengkel Burger. Belum sempat masuk ke dalam restoran, kami berdua sudah diteriaki oleh mbak-mbak berambut panjang dan berwajah super judes.
“Berasa kaya diospek,” begitu kata Aurel yang aku amini dengan anggukan kepala.
Ternyata mbak-mbak itu adalah resepsionis Karen’s Diner. Sebelum kami duduk dan memesan makanan, nama kami harus dicek terlebih dahulu dalam dokumen reservasi. Namun karena kami berdua tidak melakukan reservasi, nama kami otomatis tak muncul dan berujung diomeli lagi. “Bikin repot aja,” katanya pada kami.
Beruntung omelannya tak berlangsung lama. Setelah mencantumkan nama kami di dokumen reservasi, dengan muka judesnya mbak-mbak itu langsung menyuruh kami duduk di meja 18. Meja yang letaknya paling ujung jauh dari pelanggan yang lain.
Selama duduk di meja itu, baik aku maupun Aurel bersikap layaknya anak yang ditinggal ibunya belanja. Kami linglung, bingung harus memesan makanan di mana sedangkan pramusaji Karen’s Diner tak pernah ada yang mampir ke meja kami.
Puji Tuhan, di depan kami ada dua ibu-ibu yang nampaknya juga dalam posisi yang sama seperti kami. Aurel pun menanyakan mekanisme pemesanan makanan di sini yang ternyata memang kami harus sabar menunggu sampai salah satu dari mereka datang ke meja kami.
Tetapi karena aku dan Aurel sedang kelaparan, aku jadi tak sabaran. Setiap melihat ada Karen (panggilan pramusaji di Karen’s Diner) berdiri di sekitar meja pelanggan lain, aku berusaha memanggil mereka. Akhirnya setelah mencoba berkali-kali ada Karen yang menghampiri kami.
Karen itu perempuan, namanya Bebe. Dengan muka judesnya yang tak rela aku panggil, dia mencatat pesanan kami satu per satu. Dan setelah mencatat pesanan kami, ada Karen lain yang memberikan kami tisu basah dan sarung tangan. Cara memberikannya tentu out of the box, sesuai dengan gimmick Karen’s Dinner. Jadi bukannya diberikan pelan-pelan, tisu basah dan sarung tangan justru dilempar hadapan muka kami.
Butuh waktu cukup lama buat pesanan kami sampai di meja. Hal yang ternyata sama dialami oleh pelanggan lain. Bedanya aku memilih tidak banyak mengomel. Bukan karena aku takut pada Karen, tapi ingin mengamati lingkungan sekitar kami. Makanya saat ada pelanggan yang protes makanannya tidak kunjung datang, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana respon Karen terhadap pelanggan tersebut.
“Kalau mau cepet enggak usah makan di sini! Makan sono di warteg!” bentak salah satu Karen. Bentakan ini aku lihat tak hanya ampuh membuat pelanggan yang protes diam, tapi juga membuat ibu Mawar, pelanggan asal Kendari yang duduk di depan kami juga “ketakutan”.
“Jantungan lama-lama di sini. Dibentak-bentak mulu,” ucapnya pada kami sambil mengelus dadanya seperti sedang menormalkan ritme jantungnya.
Selain mendengar bentakan dari Karen kepada pelanggang yang tak sabaran. Aku pun juga memperhatikan cara Karen marah-marah ke semua pelanggan. Ada yang memang mengandalkan suara lantangnya untuk akting marah-marah. Ada yang memanfaatkan penuh otot wajah dan gestur tangannya untuk menekankan rasa marah. Ada yang marah-marah dengan suara sengaja dikeraskan untuk mendapatkan atensi. Dan ada pula yang bersikap tak acuh sambil mengomel sendiri.
Call me lucky, karena aku kedapatan dimarahi dengan empat cara marah-marah ini. Cara pertama aku dapatkan di awal bersama mbak-mbak resepsionis. Cara kedua aku dapatkan ketika aku menanyakan letak toilet pada Karen dan justru dihadiahi suara melengking, mata melotot, serta telunjuk yang mengarah ke mataku sendiri “Makanya cari pake mata!”.
Sedangkan cara ketiga aku alami dalam dua babak. Babak pertama aku alami bersama Aurel saat kami berusaha meminta pisau dan garpu. Kami berdua tadinya mengira, pisau dan garpu kami akan diantarkan dan diberikan dengan cara yang sama saat kami mendapatkan tisu dan sarung tangan plastik kami. Ternyata perkiraan kami meleset, kami mendapatkan amukan dari Karen. Dengan jurus telunjuknya dia sengaja mengeraskan suara dan berkata “Minta, minta! Ambil sendiri sana, gue udah capek!”.
Lalu babak kedua aku alami sendiri saat beradu ngomel dengan Karen. Saat itu kami memutuskan untuk memesan menu tambahan. Berharap dengan menu tambahan ini kami bisa mengulur waktu dan bisa mendapat kesempatan wawancara langsung dengan Karen. Tapi ternyata waktu kami di Karen yang termasuk cukup lama membuat Karen gerah. Dengan mikrofon, kami, pelanggan meja 18 disuruh cepat pulang.
Aku pun membalas kami belum mau pulang karena menambah pesanan dan pesanan kami belum kunjung datang. Balasanku sepertinya mendapatkan atensi para Karen, yang akhirnya saat makanan kami diantar ke meja, salah satu Karen balas menyindirku dengan suara lantang
“Jadi ini nih makanan lo yang lo bangga-banggain tadi?” sindirnya sambil mengambil tanpa izin satu kentang goreng pesanan kami.
Sungguh, pengalaman makan di Karen’s Diner ini unik sekali. Jika Aurel merasa tak nyaman dibentak-bentak, aku justru menikmatinya. Akting marah-marah para Karen menurutku sangat lucu. Hal ini tak lain karena aku pernah dalam posisi yang kurang lebih sama dengan mereka. Berakting marah-marah karena ditunjuk jadi kakak-kakak galak yang mengospek angkatan baru semasa kuliah S1.
Selama kurang lebih 3 hari di tahun 2013, aku harus menjadi diriku yang lain. Berkat muka beteku yang yang menurut teman-teman angkatanku judes bukan main serta suara lantang yang merupakan pemberian Tuhan padaku, aku ditunjuk jadi kakak-kakak galak selama ospek.
Tak peduli itu pagi hari atau malam hari saat Pusat Studi Jepang, di UI Depok sedang mengalami pemadaman listrik, anak-anak angkatan baru pasti akan mendengar suara lantangku dan mukaku yang judes. Wikan, salah satu temanku bahkan sempat berkata dia takut melihatku selama ospek karena aku terlampau mendalami karakter hingga jadi galak sekali.
Baca Juga: Ramai di Media Sosial Mengenai ‘Gimmick’ Karen’s Diner
Aku ada ketika mereka sedang melakukan senam pagi. Aku ada ketika mereka sedang berjalan menuju ruang auditorium untuk makan tiga kali sehari. Dan aku ada menunggui mereka melakukan berbagai rentetan kegiatan yang angkatan kami susun bersama.
Pengalamanku ini bukan pengalaman yang aku banggakan. Semakin dewasa aku mengerti cara ospek seperti ini sangat primitif dan justru bisa melanggengkan kekerasan bertahun-tahun ke depan. Tetapi pengalamanku ini setidaknya jadi bekal berhargaku ketika di Karen’s Diner. Bekal yang membuatku justru tahan banting di Karen’s Diner dan memahami betapa beban emosional untuk berakting marah-marah itu berpengaruh kuat kepada seseorang.
Dengan bekal inilah aku berusaha untuk mendekati salah satu Karen, Nando (20). Aku ingin tau bagaimana perasaan mereka harus berakting marah-marah berjam-jam lamanya. Saat aku memintanya untuk duduk dan bercerita tentang pengalamannya Nando berkata berakting marah-marah itu tidak mudah.
Sebagai seseorang yang telah bekerja sebagai Karen sejak 23 Desember tahun lalu, ia jelas mengatakan ada hal yang harus dibayar olehnya dan teman-teman satu pekerjaannya dari pekerjaan yang punya beban emosional besar ini. Ia mengatakan tak sedikit Karen yang menangis karena merasa capek atau tidak kuat dengan beban emosional pekerjaan mereka.
Apalagi menurut Nando, ada saja pelanggan yang suka “adu mekanik” atau sengaja datang hanya untuk beradu mulut dengan pada Karen. Pelanggan yang biasanya akan dia dan teman-temannya usir kalau sudah terlampau kurang ajar dan tak bisa diatur
“Kita usir. Enggak peduli dengan derajatnya. Mau dia orang kaya atau orang ternama, tetep kita usir. Karena kan di sini kalian datang untuk nikmatin experience bukan buat adu bacot,” jelasnya.
Dengan tawaran pengalaman makan sambil dimarah-marahi sebagai atraksi utamanya, memang para Karen harus bersabar dengan banyak kelakuan para pelanggan. Pelanggan yang sengaja adu mekanik adalah satu hal, menurut Nando konsekuensi dari pekerjaannya ini adalah bertemu dengan pelanggan yang punya mental bully.
Ia misalnya pernah mendapati pelanggan yang balas melempar makanan ke lantai tanpa bersalah. Padahal cara melempar makanan ke pelanggan memang sudah jadi bagian dari salah satu atraksi di restoran ini. Melemparnya pun tidak secara harfiah dilempar kepada pelanggan.
Atau dalam cukup sering kedapatan dipermalukan oleh pelanggan. Dengan kulitnya yang sawo matang, Nando kerap kali jadi korban body shaming.
“’Item banget, bedakan kek!’. Terus beberapa kali diteriakin ‘Minimal mandi woy!’. Atau ada juga yang ngomong “Muka lo kaya pantat panci’. Diteriakin kaya gini aja kan sebenernya udah ketauan mereka shaming gue. Ada rasa sakit hati tersendiri sih pas digituin sampe gue beli skincare beneran,” ungkapnya.
Resiko yang harus mereka alami ini tetapi tetap harus menjaga profesionalitas dengan Selalu marah-marah seraya menjaga perasaan pelanggan lewat house rules, memaksa para Karen harus punya kesadaran mandiri untuk beristirahat sejenak. Sekedar mengambil nafas dan memberikan jeda pada diri mereka sendiri.
Nando berkata dengan beban pekerjaannya ini dia harus bisa menjaga pola hidupnya dengan baik. Setidaknya secara fisik dia harus fit. Apalagi dia sendiri kini bekerja enam hari penuh dengan waktu bekerja selama 9 jam sehari.
“Capek sih. Tapi karena udah jobdesk gue marah-marah gue yang harus jaga kesehatan. Enggak begadang dan gue harus jauh-jauhin minum merangsang kaya minuman es biar enggak gampang ngedrop,” katanya.
Baca Juga: Komplain Layanan Restoran di Media Sosial Boleh Saja, Tapi…
POV Aurel:
“Yang di bawah cepetan! Lama!”
“Dengan hangat”, perintah seorang Karen menyambut kedatangan saya dan Jasmine di restoran tersebut. Meskipun tidak keras, suara Karen cukup menyentak. Tipikal senior yang mengospek sewaktu di Sekolah Menengah Pertama (SMP), atau yang suka melabrak adik kelas dan bikin drama.
Saya pun seharusnya enggak kaget sama perlakuan Karens. Mengingat beberapa kali sudah “mempersiapkan diri”, dengan nge-stalk Instagram Bengkel Burger. Namun, begitu mengalaminya sendiri, ternyata pressure-nya tetap berasa. Ditambah bentakkan Karen, membuat perhatian pelanggan siang itu berpusat pada saya dan Jasmine.
Reaksi Jasmine yang kelihatan antusias dan “menikmati” bentakan Karen, berbeda 180 derajat dengan saya. Saya pernah membaca di Newsweek, Aden Levin dan James Farrel–pemilik Karen’s Diner–mendirikan tempat makan ini untuk menawarkan sensasi makan yang berbeda. Mereka sengaja mengadaptasi kepribadian “Karen”, yang mencerminkan perempuan kulit putih rasis, bias kelas, dan memanfaatkan privilesenya sesuka hati.
Bukannya tertarik dengan pengalaman yang dijual, saya mempertanyakan esensi tempat makan ini. Apa enaknya, makan sambil diteriaki pramusaji? Bukannya nafsu makan malah hilang?
Soalnya, saya pernah menerima pengalaman serupa ketika makan di Ragusa—kedai es krim Italia di Jakarta Pusat. Sudah rahasia umum, sang penjaga kedai memang terkenal sinis dan jutek terhadap pelanggan. Itu jadi salah satu alasan saya enggan berkunjung ke Ragusa lagi, karena enggak nyaman dan cukup merusak mood.
Belum lagi melihat pengalaman orang di media sosial, saat makan di Karen’s Diner. Para Karens melempar menu dan makanan ke hadapan pelanggan. Ada juga yang mencomot makanan pelanggan yang mereka letakkan sendiri. Dengan kata lain, suka-suka Karens mau memperlakukan pelanggan seperti apa.
Riset kecil-kecilan soal Karen’s Diner itu memosisikan saya dalam fight or flight mode, selama di Bengkel Burger. Khawatir kejadian serupa akan terjadi. Untunglah, hanya bentakan-bentakan kecil yang dilontarkan kepada saya dan Jasmine. Bentakan yang kadang-kadang kedengarannya terlalu dipaksakan.
Misalnya ketika Nando menghampiri meja kami, mengantar seporsi Karen’s American Cousin—burger dengan daging wagyu dan truffle mayo. Dengan bentakan kecil, Nando menyuruh saya melepas masker.
“Maskernya dibuka nape. Kayak (sakit) tipes lo!” kata Nando.
Atau ucapan Karen yang bertugas di kasir, ketika saya enggak bisa memberikan tip lantaran enggak punya uang tunai. “Ih nggak punya duit lo,” ujar Karen tersebut.
Sindiran-sindiran kecil itu tentu enggak ada apa-apanya, dibandingkan tekstur patty yang juicy dan rasa kentang goreng yang dipesan. Awalnya, saya mengira akan menerima kalimat yang menyinggung. Mengingat sewaktu soft opening, sebuah video viral menampilkan Karen mengejek pelanggan. Ia menyebut wajah customer itu mirip pantat panci.
Ternyata, Karen’s Diner di Indonesia menetapkan house rules yang sama, dengan gerainya di Australia, Inggris, New Zealand, dan Amerika Serikat. Yakni dilarang body shaming, melemparkan komentar seksual, rasis, seksis, ableist, dan homofobik.
Kendati demikian, Bebe–salah satu Karens–pernah menerima body shaming selama bekerja di Karen’s Diner. Katanya, faktornya adalah warna kulit yang lebih terang dibandingkan Karens lainnya.
“Di antara Karens, yang blasteran cuma gue. Terus dia (pelanggan) bilang, bule kok item?” cerita perempuan 18 tahun tersebut.
Saya menyayangkan Bebe harus mengalami kejadian itu. Walaupun house rules yang ditetapkan telah terpampang di tembok, kenyataannya segelintir pelanggan belum bisa memahami. Entah mereka tidak membacanya di tembok Karen’s Diner, atau di Instagram Bengkel Burger.
Mungkin juga pelanggan mengasumsikan, Karen’s Diner adalah tempat untuk adu mekanik. Rasanya itu bisa jadi pertimbangan bagi Bengkel Burger dan Karen’s Diner, untuk memastikan stafnya menekankan house rules kepada pengunjung—sebelum mereka diarahkan ke tempat duduk. Bagaimana pun, Karens harus menanggung beban emosional dari pekerjaannya.
Bahkan kata Bebe, pelanggan enggak hanya mencela penampilan, melainkan merendahkan pekerjaannya. Mereka menyayangkan pekerjaan Bebe sebagai waitress, sedangkan penampilannya menarik. Ada juga yang menyebut para Karens adalah ladies companion (LC).
Baca Juga: Pengalaman Jadi Anak Jaksel Sehari: Lebih Nyaman Jadi Warga Pinggiran
Merasa iba, saya bertanya bagaimana Bebe merespons situasi itu. “Gue cari kerja halal,” jawab Bebe. “Emang gue nuntut apa (dari pelanggan)? Dia nggak gaji gue.”
Di atas jam makan siang, jumlah pelanggan yang menunggu “diperintahkan” duduk semakin mengular. Teriakan Karens pun kian terdengar, di sela-sela obrolan saya dengan Bebe. Ada yang enggan menyuruh customer mengambil alat makan sendiri, ada juga yang memarahi pelanggan lantaran sibuk bikin konten tanpa menyentuh makanannya sama sekali.
Detik itu juga, saya menyimpulkan Karen’s Diner bukan tempat untuk anak kecil. Meskipun sejumlah orang tua membawa anak-anaknya, dan Karens memperlakukan mereka dengan baik. Pasalnya, Karens dan pengunjung acap menuturkan kalimat yang kasar.
Riset dari akademisi Ming-Te Wang dan Sarah Kenny, Longitudinal Links Between Fathers’ and Mothers’ Harsh Verbal Discipline and Adolescents’ Conduct Problems and Depressive Symptoms (2013) menyatakan teriakan memiliki dampak yang sama dengan hukuman fisik pada anak. Di antaranya meningkatkan tingkat kecemasan, stres, dan depresi bersamaan dengan peningkatan masalah perilaku.
Di samping itu, saya juga menyadari, Karens harus bekerja dua kali lebih ekstra—melayani sekaligus menghibur pelanggan. Sama seperti Nando, Bebe pun mengamini pekerjaannya begitu melelahkan. Saya jadi ingin tahu, bagaimana mereka memperlakukan pelanggan, sambil mengontrol emosinya?
“Gue tipe orang yang bawel dan berisik, tapi balik lagi ke personality pelanggan. Misalkan (pelanggannya) orang tua, gue perlakukan dengan mager ngomong aja. Paling nanya, ‘Kenapa bu? Mau apaan?’” ungkap Bebe. “Kita (Karens) kan baca karakter orang juga. Kira-kira pelanggan terima enggak kalau diperlakukan begini? Kalau enggak, harus gimana?”
Penjelasan Bebe menyadarkan saya, begitu berat beban kerja dan tanggung jawab yang dimiliki Karens.
Mungkin pelanggan melihat pekerjaan ini menyenangkan lantaran enggak perlu memaksakan diri bersikap baik terhadap pelanggan. Padahal, siapa pun bisa tertekan akibat beban emosional, yang berujung pada masalah regulasi emosi dan mengganggu relasi dengan orang lain.
Dalam The Managed Heart: Commercialization of Human Feeling (1983), profesor asal Amerika Serikat–Arlie Russell Hochschild menyebutkan, kemarahan berbahaya untuk kesejahteraan seseorang. Hal itu disebabkan emosi yang dirasakan dan ditunjukkan berbeda. Membuat seseorang lama-lama kesulitan mengidentifikasi, apakah perasaan itu valid untuk dirasakan.
Fakta itu seharusnya jadi pengingat untuk pengunjung Karen’s Diner, untuk tidak memperlakukan Karens seenaknya. Mereka bukan samsak untuk kamu jadikan pelampiasan, supaya pengalamanmu terbayarkan.
Terlepas dari obrolan saya dengan Bebe yang menyenangkan, kunjungan pertama–sekaligus terakhir–saya ke Karen’s Diner rasanya enggak sesuai ekspektasi. Tidak ada roulette yang dimainkan, maupun Karens yang melakukan kompetisi kecil-kecilan antara pengunjung. Seperti yang saya tonton di beberapa Youtube channel.
Secara keseluruhan, Karen’s Diner juga bukan tempat makan yang tepat untuk saya. Ada emotional cost yang harus dibayar, di setiap gigitan burger yang ditelan. Enggak nyaman aja, harus makan sambil mendengarkan kemarahan orang-orang, dan tersentak tiap kali dibentak Karens.
Tapi kalau ingin makan dengan suasana berbeda–seperti tujuan Levin dan Farrel mendirikan Karen’s Diner, mungkin sebaiknya kamu datang ke restoran ini. Setidaknya sekali, untuk menguji ketahananmu.