Kuliner Pagaruyung, Warisan Keragaman yang Terancam Punah
Kompleks wisata Kuliner Pagaruyung di Medan adalah warisan keberagaman yang terancam punah akibat gempuran kafe modern.
Hamidah merasa frustrasi setiap kali orang mempertanyakan kehalalan makanan yang dijualnya di Kuliner Pagaruyung, Medan, Sumatra Utara.
“Kami ini India Tamil, tapi agama kami Islam. Kami selalu berjualan dengan menggunakan pakaian syar’i dan berhijab, tapi begitu pun kami masih ditanya tentang agama kami, tentang halal atau tidaknya makanan yang kami jual,” ujarnya saat dikunjungi Agustus lalu.
“Tolong sampaikan ke masyarakat luas, bila perlu se-Indonesia tahu. Jangan ragukan kehalalan makanan yang kami jual di sini. Makanan yang kami jual 100 persen halal,” tambahnya.
Hamidah adalah salah satu pedagang di kompleks wisata yang disebut “Little India Kota Medan” itu. Ia merupakan penerus almarhum ayahnya, Ramli, yang telah merintis bisnisnya sejak remaja sebelum meninggal lima tahun yang lalu. Warung Pak Ramli merupakan salah satu warung tertua di Kuliner Pagaruyung, dengan menu andalan nasi beriani, martabak telur, dan roti cane, yang tak lain adalah masakan India dengan bumbunya yang khas.
Diresmikan pada 2018, Kuliner Pagaruyung terletak di tengah-tengah kota Medan ini, tepatnya di Jl. KH. Zainul Arifin, yang sebelumnya disebut Jl. Pagaruyung atau Kampung Madras. Dari kisah singkat Hamidah, muncullah fakta bahwa di balik dinamika Little India Kota Medan dengan kuil Shri Marriaman-nya yang terkenal itu, ternyata ada sejuta cerita, sejarah, dan perjuangan yang manis sekaligus pahit dari para pedagang.
Khairunnisa, 28, keponakan Hamidah yang bekerja di Warung Bu Inong seberang Warung Pak Ramli, mengatakan selain urusan halal dan haram, persaingan bisnis sekarang begitu kuat sehingga usaha mereka semakin sulit.
Ia mengatakan ada pedagang yang dengan sengaja memiringkan harga di luar dari harga yang disepakati. Hal ini memicu perselisihan dan pedagang-pedagang yang berkomitmen memasarkan harga sesuai kesepakatan tentu merasa kecewa dan rugi karena otomatis pelanggan akan memilih tempat yang harganya lebih murah.
Baca juga: Mbah Satinem: Wajah Tradisional Feminisme di Indonesia
“Tak jarang pedagang yang pindah ke tempat lain untuk berjualan karena masalah ini. Bahkan ada pedagang yang diamankan pihak kepolisian karena bertengkar secara terang-terangan dan mengundang kericuhan,” ujar Khairunnisa.
“Karena persaingan bisnis yang sangat gila ini, yang tadinya saudara bahkan keluarga bisa jadi musuh, kebanyakan pedagang di sini memiliki ikatan hubungan keluarga,” tambahnya.
Hamidah mengatakan pengunjung yang datang ke Wisata Kuliner Pagaruyung ini semakin hari semakin menurun. Jika dibandingkan dengan lima tahun yang lalu, grafiknya sangat jauh berbeda, ujarnya.
Para pedagang pun tidak lagi hanya orang-orang keturunan India, tapi juga orang Melayu, Padang, Jawa, dan China, sehingga makanan yang tersedia tidak lagi unik khas India saja, tapi sama seperti destinasi kuliner kebanyakan.
Menurut Hamidah, faktor penyebabnya adalah persaingan harga dan munculnya kafe-kafe dengan desain modern yang digemari anak-anak muda.
“Pelanggannya pun lebih banyak dari luar kota. Pelanggan kami banyak datang dari Jakarta, dari Medan sendiri itu sangat jarang,” ujar Hamidah.
Salah satu pelanggan adalah Adi, 38, yang merupakan supir transportasi antarkota.
“Saya lumayan sering ke sini, makanan di sini enak, terasa khas bumbu Indianya. Harganya juga terjangkau untuk kalangan menengah ke bawah. Saya juga sering membawa tamu-tamu saya makan di sini atas permintaan mereka, dan tak jarang saya yang menyarankan,” ujarnya.
“Kalau boleh saya menyarankan kepada pedagang supaya menempelkan logo ‘halal’ pada rak dagangan mereka masing-masing. Mungkin hal itu akan meyakinkan pengunjung,” tambahnya.
Pengunjung seperti Rani, 22, mengaku lebih senang makan di kafe karena bebas menggunakan wifi sepuasnya.
“Saya datang kesini karena penasaran ingin mencicipi masakan khas India. Jika ditanya soal harga, saya akan lebih memilih lebih sering makan di kafe yang harganya murah dan bebas menggunakan wifi sepuasnya,” ujar mahasiswa itu.
Artikel ini ditulis oleh peraih program fellowship liputan yang diselenggarakan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan Magdalene.
Foto diambil dari tautan berikut.