People We Love

Nadea Nabilla Putri: Tinggalkan Kerja demi Perjuangkan Nelayan

Nadea memutuskan meninggalkan pekerjaannya dan membangun Azura Indonesia. Organisasi itu fokus membantu transisi energi perahu nelayan, dari fosil ke tenaga surya.

Avatar
  • February 19, 2023
  • 6 min read
  • 3118 Views
Nadea Nabilla Putri: Tinggalkan Kerja demi Perjuangkan Nelayan

Kunjungan ke Desa Kelan, Bali pada Oktober 2022 mempertemukan saya dengan Nadea Nabilla Putri, CEO dan Co-Founder Azura Indonesia. Sambil menghadap ke laut lepas, kami berbincang mengenai transisi energi di perahu nelayan.

Kebanyakan dari nelayan menggunakan jukung—perahu tradisional terbuat dari kayu dan berbahan bakar fosil. Namun, kehadiran Azura Indonesia sebagai social enterprise menawarkan perubahan, berupa perahu bertenaga surya.

 

 

Saya bertanya pada Nadea, bagaimana inovasi itu muncul dan berkembang sejauh ini. “Awalnya 2018, saya ketemu Belgian engineer di pameran menyelam terbesar di Asia. Dia punya proyek juga, berkaitan dengan perahu listrik,” tutur Nadea.

“Saya tertarik, akhirnya bantuin menyelesaikan proyeknya. Lalu dia bantu saya bikin Manta One ini.”

Manta One merupakan mesin penggerak elektrik yang diusung Azura Indonesia. Mesin tersebut menggantikan ketinting—mesin untuk jukung berporos panjang. Sebagai sumber energi, Manta One dioperasikan dengan baterai ion litium, dan mampu digunakan selama tiga jam berlayar. Baterai itu diisi ulang menggunakan panel surya, yang ditempatkan di rumah seorang nelayan sebagai charging station.

Sebelum menghasilkan Manta One, Nadea mengungkapkan, awalnya Azura Indonesia berencana membuat solar fotovoltaik di sebagai atap jukung. Sayangnya, modal yang dibutuhkan terlalu besar. Pun setiap nelayan harus membeli kapal, sedangkan sebagian dari mereka masih menyewa pada saudagar yang punya banyak kapal.

Hal tersebut tidak mengubah tujuan Azura Indonesia untuk mengurangi jejak karbon, lewat kehidupan masyarakat pesisir. Sejauh ini, mereka memiliki dua area binaan nelayan yang menggunakan Manta One: di Desa Kelan, Bali dan Banyuwangi.

Nadea pun mengutarakan alasan kenapa memilih memberdayakan para nelayan. “Kami pengen bantu masyarakat pesisir melalui cara mereka memancing, supaya lebih nyaman dan sustainable,” terang Nadea.

Ternyata, hal itu turut dilatarbelakangi oleh kecintaannya terhadap laut.

Baca Juga: Kisah Dua Perempuan Sulap Sampah Plastik jadi Bahan Bangunan

Berawal dari Kecintaan Terhadap Laut

Sejak masih kecil, Nadea tertarik dengan perairan. Ia senang berenang di laut, dan mulai menyelam pada 2006 setelah diperkenalkan sang ayah. Bagi Nadea, menyelam seperti memasuki dunia yang berbeda.

Kecintaannya terhadap diving membuat Nadea memiliki surat izin menyelam pada 2011. Dari situ, instruktur menyelamnya mendorong Nadea bergabung dengan Putri Selam Indonesia. Lantaran harus melanjutkan S2 Teknik Elektro di Korea Selatan, Nadea menunda pendaftaran ajang tersebut selama beberapa tahun.

Barulah di akhir perkuliahannya pada 2017, ia bergabung dengan Putri Selam dan terpilih sebagai runner up pertama Putri Selam Indonesia. Kesempatan itu memperluas pengetahuan Nadea terhadap berbagai isu. Salah satunya sampah plastik, yang menggugah keinginannya terlibat dalam kampanye seperti Jakarta Beach Clean Up.

Aktivitas itu menjadi titik balik bagi Nadea. Keprihatinannya terhadap isu lingkungan meningkat, sejak membersihkan lapisan sampah di pantai. Sampah-sampah yang tertimbun pasir tak kunjung habis, membuat Nadea menghabiskan waktu satu jam untuk membersihkan satu titik.

“Di otak saya langsung terpikir, gimana kehidupan anak saya nantinya kalau pasir aja berlapis sama sampah? Bisa diving enggak ya dia?” ujar Nadea.

Momen tersebut membuat perempuan 30 tahun ini menangis karena emosional. “I make money for a living. Tapi Bumi, rumahku sendiri, sekotor ini ya,” ceritanya.

Baca Juga: Pentingnya Energi Terbarukan bagi Masa Depan Kita

Kesadaran itulah yang menggerakan Nadea untuk mengubah kariernya. Sebelumnya, ia bekerja sebagai project manager yang membantu sistem digital untuk aplikasi ponsel. Namun, Nadea memilih meninggalkan pekerjaannya, untuk merintis Azura Indonesia.

Karena satu dan lain hal, obrolan saya dengan Nadea di Desa Kelan siang itu harus diakhiri. Namun, kami kembali berbincang lewat sambungan telepon pada awal Februari. Kali ini, Nadea kembali melanjutkan cerita career shifting-nya.

Ternyata keputusan tersebut bukan perkara mudah. Butuh waktu tiga tahun bagi Nadea mempertimbangkannya. Berulang kali ia merasa tidak siap, bahkan insecure tentang kestabilan pendapatan. Pasalnya, pendapatan standar yang dinormalisasi orang-orang yang hidup di Jakarta, seketika hilang ketika Nadea menjadi pengusaha. Apalagi, industri yang digeluti Nadea bergerak pada isu lingkungan.

Di samping itu, Nadea juga tidak memiliki privilese selain latar belakang pendidikan. Ia mengaku tidak berasal dari keluarga yang memiliki kekayaan finansial, atau berlatar pengusaha. Ayahnya insinyur, sedangkan anggota keluarga lainnya arsitek, akuntan, dan di perbankan.

Dari segi finansial, Nadea menggunakan tabungannya untuk membangun Azura Indonesia—karena gaya hidupnya tidak begitu tinggi. Perempuan berdomisili di Bali itu menjelaskan, selain pendidikan, Nadea juga terbantu oleh networking. Satu per satu orang-orang datang padanya untuk membantu.

Karenanya, Nadea memberanikan diri meninggalkan pekerjaannya, dan mendirikan Azura Indonesia pada 2020. “Ketika brainstorming, it feels right to my gut feeling,” katanya.

Lika-liku bersama Azura Indonesia

Bukan perkara mudah, untuk menginisiasikan transisi energi di kalangan masyarakat pesisir. Tantangan kerap ditemui, misalnya ketakutan nelayan terhadap perubahan—mengingat penggunaan jukung telah dilakukan dari generasi ke generasi. Karena itu, sejauh ini di Bali pun baru digunakan oleh seorang nelayan di Desa Kelan. Meskipun Azura Indonesia berusaha menyewakan perahu dengan mesin Manta One.

Tantangan lainnya adalah kekurangan sumber daya manusia, untuk melakukan pendekatan ke para nelayan. Contohnya di Desa Amed dan Tulamben, Bali. Jarak yang cukup jauh tidak memungkinkan tim Azura Indonesia, untuk berkunjung setiap pekan.  Paling-paling sebulan sekali, membangun diskusi dan memperkenalkan Manta One pada nelayan. Karena itu, Azura Indonesia bekerja sama dengan organisasi nonprofit, yang memiliki daerah binaan di area pesisir.

Sementara dari segi pendanaan, sejauh ini Azura Indonesia masih self-funding, lantaran belum mendapatkan investor. Namun, mereka telah beberapa kali mendapatkan penghargaan, dana hibah, dan pengakuan dari sejumlah organisasi dan komunitas—seperti Women’s Earth Alliance, ClimateLaunchpad, dan Ocean Leadership Microgrants.

Baca Juga: Adopsi Energi Terbarukan: Perempuan Bergerak, Perempuan Berdaya

Terlepas dari tantangan yang dihadapi, Nadea melihat harapan akan masa depan Azura Indonesia, maupun transisi energi pada perahu nelayan ke tenaga surya. Ketika menghadiri AIS Blue Innovation Solution Conference pada November lalu, ia presentasi di hadapan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, beserta sejumlah negara kepulauan lainnya. Nadea bilang, respons yang diterima sangat positif.

“Kami ngobrol dengan beberapa negara yang mau mereplikasi Manta One, sejauh ini ada Sri Lanka, Thailand, dan Kepulauan Fiji. Ini bisa jadi salah satu faktor X, untuk mendorong nelayan di Indonesia (menggunakan Manta One,” harap Nadea.

Selain itu, untuk jangka panjang, Nadea berharap Azura Indonesia dapat terus berkembang membantu masyarakat pesisir, mendapatkan kehidupan lebih baik. Tidak hanya lewat Manta One—yang ditargetkan mencapai 10 ribu unit dalam lima tahun ke depan, tetapi pendampingan untuk istri dan anak-anak nelayan.

Salah satunya dengan literasi finansial, agar para ibu memiliki pengetahuan lebih dalam pengelolaan uang. Bahkan, menghasilkan penghasilan tambahan.

Sementara bagi anak-anak, Nadea ingin melakukan pendampingan agar mereka memiliki preferensi lapangan pekerjaan yang bisa dieksplor. Berdasarkan pengamatannya, sejauh ini anak-anak nelayan belum bercita-cita untuk meneruskan pendidikan tinggi.

Padahal, anak-anak bagian dari masyarakat pesisirlah yang paling memahami, permasalahan dan realitas kehidupan mereka sebenarnya. Dan pendidikan, merupakan salah satu cara memperbaiki komunitas dari dalam.

“The only thing to help them is themselves, dan harus datang dari dalam komunitasnya. Mau bagaimana pun, saya enggak lahir dan besar di sana, jadi jiwanya berbeda. But I can provide and help them to do that,” jelas Nadea.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *