‘Kiamat’ Energi Fosil di Depan Mata, Energi Terbarukan adalah Kunci
Gelap, bencana alam, kelaparan: Kemungkinan skenario ketika bahan bakar fosil di Bumi benar-benar habis.
Kamu bangun dengan perasaan hampa, seperti miliaran manusia lain di Bumi. Pagi, siang, dan malam tak jauh berbeda, karena sepanjang mata memandang, kabut asap tebal menyelimuti. Baik cahaya matahari maupun lampu kini sama-sama langka. Paling lama empat atau lima jam sehari kamu dapat menikmatinya. Selebihnya, kamu harus berdamai dengan kegelapan dan kehampaan. Tak ada ponsel atau televisi untuk mengisi waktumu yang luang.
Bermain di luar? Risikonya terlalu besar. Banjir, longsor, gelombang panas, dan bencana alam lainnya tak kunjung mereda. Sungai dan danau, sumber air bersih semua makhluk hidup, juga telah tercemar tak bersisa. Gagal panen di mana-mana jadi hal yang biasa, bahan pangan menjadi langka ketika distribusi terganggu. Wabah penyakit merajalela. Kemiskinan dan kelaparan pada akhirnya jadi niscaya.
Bumi telah berubah menjadi neraka yang diciptakan sendiri oleh manusia.
Skenario di atas bukan adegan film dystopia terbaru, melainkan prediksi situasi terburuk ketika Bumi kehabisan bahan bakar fosil. Penelitian Millennium Alliance for Humanity and the Biosphere (MAHB) Universitas Stanford pada 2019 menyebutkan, bahan bakar fosil minyak, gas, dan batu bara akan habis dalam 30 tahun, dan cadangannya tak bersisa pada 2052. Gas diproyeksikan akan habis 40 tahun lagi, yaitu sekitar 2060. Sementara, batu bara diproyeksikan bakal ludes dalam kurun waktu 70 tahun, dengan cadangan terakhirnya pada 2090.
Verania Andria, Senior Adviser for Renewable Energy Strategic Programme UNDP dalam wawancaranya bersama Magdalene menjelaskan bagaimana manusia telah lama bergantung pada bahan bakar fosil sebagai dampak revolusi industri pada abad ke-19.
Pada masa itu, batu bara berperan penting dalam memutar roda perekonomian. Ia digunakan untuk menggerakkan berbagai mesin, lokomotif, dan kapal uap. Karenanya, batu bara jadi sumber energi utama guna meningkatkan produktivitas dan distribusi barang dalam skala kecil, menengah, maupun besar.
Baca juga: Pentingnya Pelibatan Perempuan dalam Isu Energi Terbarukan
“Efisiensi dan dampak pembangunan pesat yang diberikan dari batu bara pun membuat pemerintah melakukan investasi teknologi pemanfaatan bahan bakar fosil. Karena dulu ketersediaannya banyak dan murah, teknologi juga dikembangkan terus menerus, sehingga bahan bakar fosil jadi sangat dominan dan terus dipakai. Sayangnya investasi teknologi dan pemakaiannya ini enggak dikaji ulang. Makanya semua sistem kita sekarang terlanjur mengandalkan bahan bakar fosil,” ujar Verania.
Klaim Verania soal ketergantungan kita terhadap bahan bakar fosil pun terlihat dari betapa dominannya pemakaian bahan bakar fosil di dunia. Dalam artikel yang diterbitkan Environmental and Energy Study Institute (EESI) pada 2021, bahan bakar fosil termasuk batu bara, minyak, dan gas alam telah menggerakkan perekonomian selama lebih dari 150 tahun, dan saat ini memasok sekitar 80 persen energi dunia.
Permintaannya pun terus naik, misalnya dapat dilihat dari naiknya permintaan minyak global di mana pada 2018 terkerek hingga 1,3 persen. Hal yang sayangnya tidak sebanding dengan cadangan minyak tanah yang menghilang dengan laju lebih dari 4 miliar ton per tahun.
Senada dengan minyak, gas memiliki porsi tertinggi kedua dari total pembangkit listrik sebesar 23 persen, dan permintaannya pada 2018 tumbuh sebesar 4.8 persen. Sedangkan untuk batu bara, asupan total pembangkit listrik mencapai 10.116 TWh dan menguasai 38 persen dari total pembangkit listrik di seluruh dunia.
Di Indonesia sendiri, dalam laporan Greenpeace dan Universitas Indonesia, Menimbang Urgensi Transisi Menuju Pembangkit Listrik Energi Baru Terbarukan di Indonesia pada 2019 bahkan dinyatakan Pembangkit Listrik Negara (PLN LN) hampir 60 persen pembangkitannya dari PLTU Batu bara.
Melihat bagaimana dunia sangat bergantung pada bahan bakar fosil, A. Azis Kurniawan, Research And Development Manager dari Coaction Indonesia bilang, jika bahan bakar fosil habis, manusia yang akan menanggung dampak buruk. Di level rumah tangga, kita bisa terancam tidak mendapatkan energi listrik yang memadai. Listrik mungkin hanya bisa menyala satu jam sekali. Mobilisasi warga terhambat karena tak ada bensin yang mampu digunakan untuk dipakai. Pun, kita akan terancam sulit memasak karena gas yang dibutuhkan tidak ada.
Bumi telah berubah menjadi neraka yang diciptakan sendiri oleh manusia.
Sementara, pada level negara, habisnya fossil fuel pun lebih mengerikan lagi.
“Tingkat negara paling terasa, global transportation, food chain, semuanya akan berpengaruh. Indonesia punya jalur perdagangan yang aktif sekali dan kita melakukan ekspor impor, mengirimkan logistik pake fossil fuel, kapal tanker. Kalau fossil fuel habis masa kita pakai kapal layar lagi? Waktunya otomatis akan lebih panjang dan tidak bisa secepat sekarang. Kita aja banyak impor makanan seperti gandum, kedelai, minyak goreng. Kalau fossil fuel habis food security kita enggak aman,” ujarnya.
Baca juga: 5 Perempuan Inspiratif di Bidang Energi dan Pertambangan
Pentingnya Energi Terbarukan
Ketergantungan kita terhadap bahan bakar fosil begitu berbahaya, belum lagi efek yang akan timbul dari bagaimana jika kita terus membakarnya. Kita perlu paham waktu kita tidak sedikit lagi dan kita butuh solusi secepatnya. Dalam hal ini, energi terbarukan pun menjadi satu-satunya solusi yang kita punya.
Dalam laman resmi United Nations, energi terbarukan berasal dari sumber alami yang diisi ulang pada tingkat yang lebih tinggi daripada yang dikonsumsi. Ia terdiri dari tenaga air, panas bumi, biomassa, tenaga surya, tenaga angin, panas laut, ombak, dan pasang surut air laut. Sumber energi terbarukan berlimpah dan ada di sekitar kita, berbeda dengan bahan bakar fosil yang merupakan sumber daya tak terbarukan yang membutuhkan waktu ratusan juta tahun untuk terbentuk dan tentunya akan habis.
Di Indonesia sebagai negara kepulauan beriklim tropis dan dikelilingi oleh laut, energi terbarukannya relatif melimpah. Dalam laporan IESR, Beyond 443 GW Renewables Energy Potential pada 2021 dijelaskan, bagaimana Indonesia memiliki potensi teknis hingga 7.714.6 GW dari tenaga surya. Jika Indonesia mampu memanfaatkan potensi tersebut secara optimal, maka nol emisi atau dikenal sebagai zero emission di sektor ketenagalistrikan pasti bisa dicapai pada 2050.
Bahan bakar fosil minyak, gas, dan batu bara akan habis dalam 30 tahun, dan cadangannya tak bersisa pada 2052. Gas diproyeksikan akan habis 40 tahun lagi, yaitu sekitar 2060. Sementara, batu bara diproyeksikan bakal ludes dalam kurun waktu 70 tahun, dengan cadangan terakhirnya pada 2090.
Potensi tenaga angin di Indonesia juga tidak kalah besar, yaitu di angka 25 GW. Potensi energi ini paling melimpah terdapat di Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara, dan Maluku. Namun, tak menutup kemungkinan potensi energi tersebut bisa dimanfaatkan di hampir semua provinsi di Indonesia.
Lebih lanjut, demi mengoptimalkan potensi energi terbarukan di Indonesia, tenaga air digunakan untuk melengkapi produksi tenaga surya. Sebab, mereka memiliki variabilitas per jam yang tinggi karena variabilitas tutupan awan, suhu, dan kelembaban. Bila kita tidak membatasi jumlah pembangkit listrik tenaga air mikro hingga kecil di anak sungai, potensi sumber listrik dari tenaga air dapat mencapai 28 GW dengan potensi tertinggi dari Papua, Sumatera Utara, Jawa Barat, dan hampir seluruh Sulawesi.
Melimpahnya energi terbarukan yang ada di Indonesia membuat kita bertanya-tanya, manfaat apa yang kiranya bisa kita dapatkan dari energi terbarukan dibandingkan bahan bakar fosil? Untuk menjawab pertanyaan ini, Magdalene mewawancarai Fabby Tumiwa Executive Director dari Institute for Essential Services Reform (IESR).
Fabby mengungkapkan manfaat pertama dari energi terbarukan adalah ia menjamin akses kita pada energi dalam jangka panjang. Energi fosil ini akan habis dan untuk memastikan generasi kita dan nanti memiliki energi yang terjangkau dan handal, maka energi terbarukan yang handal dan terjangkau bisa menjamin akses energi kita di masa depan.
Selanjutnya menurut Fabby, penggunaan energi terbarukan bisa mengurangi risiko perubahan iklim akibat pembakaran energi fosil.
“Fenomena alam itu ada biayanya, energi terbarukan bisa mengurangi perubahan iklim maka biaya sosial lingkungan di dunia bisa berkurang,” jelasnya.
Ketiga, energi terbarukan juga dapat mengurangi polusi udara lantaran pembakaran energi fosil dan transportasi berbasis batu bara, bensin, atau solar. Fabby mencontohkan bagaimana warga Jakarta saja kini harus hidup berdampingan dengan racun. Polusi udara di Jakarta begitu mengkhawatirkan, bahkan Jakarta sempat menduduki posisi nomor satu sebagai kota dengan udara terburuk sedunia pada 26 Juni lalu. Tingkat polusi udara di Jakarta berada pada level tidak sehat.
Baca juga: Inisiasi Energi Terbarukan Untuk Masyarakat Sumba
“Dengan penggunaan energi terbarukan, maka polusinya berkurang dan biaya kesehatan yang lebih mahal,” ungkap Fabby.
Terakhir, energi terbarukan mendorong transformasi ekonomi yang penting bagi negara seperti Indonesia. Ia menciptakan industri dan lapangan pekerjaan hijau atau green jobs yang dibutuhkan sekarang dan generasi ke depan.
Dalam siaran pers Coaction Indonesia, Siti Koiromah, peneliti Coaction Indonesia mengungkapkan berbasis Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Coaction Indonesia menghitung, akan tercipta 432 ribu tenaga kerja langsung akan pada 2030 dan lebih dari 1,12 juta pada 2050.
Dari target dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021 – 2030, setengah dari energi terbarukan setara 20,9 GW dapat menciptakan lebih dari 140 ribu tenaga kerja, dibandingkan 48,4 persen energi fosil setara 19,6 GW yang hanya menciptakan 10 ribu tenaga kerja.
“Itu sebabnya green jobs bisa menjadi bagian dari upaya mitigasi perubahan iklim karena saat ini sebagian besar emisi Indonesia berasal dari energi fosil,” tukas Siti dikutip dalam siaran pers.
Melihat bagaimana energi terbarukan memberikan sederet manfaat, maka dibutuhkan usaha yang juga tak setengah-setengah agar pemanfaatan EBT jadi maksimal. Verania mengungkapkan, sudah saatnya pemerintah melihat pengembangan energi terbarukan sebagai isu urgent, termasuk dengan memfokuskan pada rancangan undang-undang (RUU) Energi Baru dan Terbarukan yang berorientasi pada publik.
Dalam hematnya, RUU ini terbilang kontradiktif karena masih menggunakan terma energi baru yang berasal dari hilirisasi batu bara. Pada draf terbarunya tertanggal 30 Mei 2022, Pasal 9 ayat 1 menyebutkan, energi baru antara lain mengacu pada gas metana batu bara (coal bed methane), batu bara tercairkan (liquefied coal), dan batu bara tergaskan (gasified coal).
“Energi terbarukan ini kan didorong untuk mendorong investasi dan penciptaan serta perkembangan teknologi untuk mengurangi emisi. Harusnya dipisah karena satunya (energi terbarukan) didorong sebenarnya untuk mengurangi emisi, tapi satunya (energi baru) tetap menghasilkan emisi itu sendiri. It will be a never-ending cycle, kita juga mungkin enggak bisa net zero. Begitu pula dengan nuklir yang sebenarnya kan sudah ada undang-undangnya. Jadi menurut saya paling tepat itu dijadikan RUU ET atau energi terbarukan bukan RUU EBT,” jelasnya.
Selain dengan memfokuskan RUU pada energi terbarukan saja, Verania menegaskan butuh sosialisasi besar agar publik terbiasa memakai bahan bakar fosil. Sosialisasi ini pun dilakukan harus dengan target kelompok masing-masing, tidak boleh disamaratakan.
“Targetnya beda-beda karena interest orang beda-beda. Kalau untuk ekonomi menengah ke bawah, promosinya misal cost saving. Mereka bisa dapet cashback kalau pake PLTS Atap misalnya atau jelaskan kita kan sekarang ada kenaikan harga listrik dengan pemasangan ini, maka kita bisa menghemat biaya listrik. Kalau menengah ke atas, tambah dengan responsible consumption dan awareness pengurangan emisi sesuai dengan Sustainable Development Goals 12. Isunya harus dibeda-bedain, insentifnya harus beda-beda,” ujar Verenia.
Hal penting terakhir yang menurut Verania penting adalah mulai membangun kebiasaan baru di masyarakat. Salah satunya dengan melanjutkan program-program atau inisiatif masyarakat terkait pengembangan energi terbarukan. Inisiatif ini sudah dilakukan masyarakat adat Moi Kelim di Kampung Malaumkarta dan Suantolo, Sorong, Papua Barat. Mereka bisa memenuhi kebutuhan listrik dari pembangkit listrik mikro hidro (PLTMH) di hulu Sungai Kalawagan.
Dilansir dari Ekuatorial, aliran listrik ini menerangi rumah-rumah warga di Kampung Malaumkarta dan Suatolo, Distrik Makbon, Sorong, Papua Barat, sehingga masyarakat lokal tak perlu lagi menunggu PLN hadir. Energi bersih dan ramah lingkungan bisa masyarakat adat Moi Kelim rasakan dengan biaya murah selama 24 jam.
Apa yang dilakukan oleh masyarakat Moi inilah yang bisa jadi pemicu pembangunan kebiasaan baru di masyarakat yang dinyatakan Verania. Pasalnya, setelah masyarakat adat Moi sudah bisa memenuhi kebutuhan listriknya lewat energi terbarukan, ekonomi warga makin bergeliat dan ini menjadi contoh bagi warga kampung lain untuk menyusul jejak mereka.
“Inisiatif atau program kaya gini akan membuat orang terbiasa. Ini menciptakan kebiasaan baru. ‘Oh, si A masang, si A juga masang. Eh ternyata bermanfaat banget lho’. Hal ini akhirnya bisa membuat perubahan.”
Tulisan ini didukung oleh Institute for Essential Services Reform (IESR).
Ilustrasi oleh Karina Tungari