Culture

Batal Puasa hingga Minta Tanda Tangan Imam Tarawih: Nostalgia Puasa Saat Masih Kecil

Apa momen puasamu saat kecil sangat menyenangkan? Kalau aku, iya.

Avatar
  • April 3, 2023
  • 6 min read
  • 1774 Views
Batal Puasa hingga Minta Tanda Tangan Imam Tarawih: Nostalgia Puasa Saat Masih Kecil

“Ayo sahur keluarga Pak Mimin”

“Sahur, sahur keluarga Pak Puji”

 

 

“Sebentar lagi imsak”

Cara bangun sahur seperti ini sempat aku rasakan ketika masih kecil. Mungkin sekitar masih umur sekolah dasar (SD). Biasanya orang yang beribadah di masjid akan bergantian untuk membangunkan sahur dengan toa. Menurutku ini cara paling ampuh dan manusiawi untuk membangunkan orang sahur. Tanpa harus teriak-teriak menghidupkan musik kencang sambil menghidupkan petasan. Justru akan mengganggu warga sekitar.

Di sekitar rumahku memang banyak sekali non-muslim tinggal. Khususnya Konghucu dan Buddha. Cara membangunkan sahur yang lebih beradab ini menjadi bentuk toleransi umat muslim bagi masyarakat non-muslim.

Tidak hanya mereka non-muslim yang disuruh harus menghormati umat muslim untuk tidak makan dan minum di depan kita, tapi kita masyarakat muslim juga perlu bertoleransi agar menjalan ibadah Ramadan bisa lebih khusyuk dan membawa berkah.

Baca juga: Ramadan di Tengah Wabah, Ngabuburit Tetap Jalan

Momen-momen ini menjadi salah satu yang aku rindukan ketika bulan Ramadan tiba. Sudah merantau sejak usia 17 tahun untuk kuliah dan kerja, aku selalu bernostalgia mengingat kenangan ini. Selain itu ada banyak sekali hal lucu yang aku habiskan bersama teman-teman ketika bulan puasa datang.

Puasa Yang-Yang atau Puasa Bedug jadi Kenangan Lucu

Aku rasa tidak hanya aku saja yang pernah diam-diam buka puasa ketika masih kecil. Setiap anak kecil pasti pernah merasakannya. Apalagi bagi anak kecil puasa adalah hal yang sangat berat karena mereka harus menahan lapar dan haus sepanjang hari. Karena hidup anak kecil hanyalah untuk bermain, puasa pun menjadi sebuah tantangan yang harus ditaklukan.

Aku sudah mulai berpuasa sejak saat duduk di kelas satu SD. Waktu itu umurku masih lima tahun. Tapi karena masih dianggap terlalu kecil untuk menjalankan puasa seharian, aku pun hanya disuruh untuk puasa setengah hari saja. Awal-awal yang aku tahu kalau puasa itu hanya sekedar menahan rasa lapar dan haus saja. Makanya aku masing selalu marah dan menangis saat itu karena ingin minum dan makan. Ketika mulai beranjak besar, aku mulai tahu kalau puasa juga harus menahan emosi dalam diri kita.

Mulai belajar untuk puasa seharian penuh itu ketika sudah duduk di kelas tiga SD. Walaupun terkadang aku masih sering merengek untuk berbuka puasa di siang hari. Mamaku juga tak pernah mengiming-imingi anak-anaknya dengan uang agar puasa penuh sebulan. Karena menurutnya tidak baik jika ibadah baik ini dijadikan bahan taruhan.

Selain itu namanya juga anak kecil, meskipun tahu kalau sedang berpuasa tapi aku dulu masih aktif bermain. Petak umpet, main kasti, berenang di aliran sungai sampai jogging pagi selepas sahur dan shalat subuh. Makanya mengapa anak kecil sering sekali merasa haus dan lapar di siang hari, karena tidak kenal waktu kalau sudah bermain. Waktu tahun 2000-an memang anak kecil masih belum mengenal gadget jadi momen puasa mereka dihabiskan dengan bermain di luar rumah.

Ada satu kejadian lucu karena lupa waktu kalau sudah main, di mana kami anak-anak di sekitar rumahku merencanakan untuk buka puasa bersama (bukber). Mungkin orang-orang mengira kami merencanakan hal ini pada waktu maghrib. Eitss, bukan maghrib melainkan di siang hari. Agak lucu tapi kalau dipikir-pikir berdosa juga. Aku selalu tertawa setiap kali mengingat momen lucu—berdosa ini. Waktu itu kami berencana untuk bukber di salah satu rumah nenek temanku. Saat itu kami ada orang sepuluh dan masing-membawa mangkok dan mie instan dari rumah. Setelah bukber kami langsung buru-buru pulang untuk menyikat gigi dan mandi agar bau mie instan itu tidak melekat di badan.

Ketika mengingat momen ini, aku pun menelepon tiga sahabatku yang juga ikut dalam ‘aksi bukber’ ini.

Baca juga: 6 Hal yang Saya Sukai dari Ramadan di Tengah Pandemi

Hahaha, ingat bangetlah, waktu itu bukbernya tuh di rumah nenekku. Aku sampai bohong ke nenekku kalau kita semua emang tidak sahur, makanya jadi makan mie bareng. Kalau dipikir-pikir rasanya double ya dosanya, bohong dan buka puasa diam-diam,” ujar Gita, salah satu sahabatku yang ikut mengingat nostalgia puasa ini.

Karena merasa hal itu berdosa dan takut akan ketahuan, kami pun hanya sekali melakukan ‘bukber’ ini dan tidak pernah mengulanginya lagi. Walaupun bisa dibilang kami cukup bandel saat masih kecil karena kerjaannya hanya bermain, tapi kalau beribadah cukup baik.

“Kita dulu setiap jam lima pasti sudah lari ke masjid buat cari tempat biar dapet tempat shalat. Habis itu baru kita pergi ngaji bareng. Selesai ngaji kita ngabuburit di sekitar jalan raya sambil liatin orang yang lalu-lalang lagi cari makanan berbuka. Meski nakal tapi kita cukup alim juga ya,” ujar Isfa salah satu sahabatku yang ikut tertawa ketika mengatakan hal ini.

Satu lagi momen yang tidak bisa dilupakan dari hiruk-pikuk bulan Ramadan yaitu meminta tanda-tangan imam shalat tarawih. Aku masih merasakan hal ini sampai kelas tiga sekolah menengah pertama (SMP). Bersama dengan anak kecil lainnya, kami harus rebut-rebutan dan mengantri untuk mendapat tanda-tangan ini. Kadang bisa bertemu imam yang baik, langsung memberi tanda-tangannya. Atau bertemu imam yang agak rese—menurut kami saat itu yang harus menjawab pertanyaan dulu baru bisa boleh pulang.

Baca juga: Puasa dan Perundungan terhadap Si Gemuk

Kadang karena sudah saking kesalnya, kami selalu meminta tanda-tangan kepada bapak-bapak atau kakek-kakek sesepuh yang sering duduk di sebelah imam tarawih ini. Lalu bergegas dan berlari pulang sebelum ketahuan oleh imam tersebut.

Kapan Lagi Bisa Mengulang Kenangan Puasa Saat Masih Kecil Ini?

Momen-momen ini memang hanya akan sekali terjadi pada hidup kita. Meskipun kita ingin mengulang memori-memori ini tapi nyatanya tetap tidak bisa.

“Bersyukur dulu kita masih hidup di dunia yang belum mengenal gadget sama sekali. Jadi masih bisa merasakan momen puasa yang memang akan terus membekas sepanjang hidup kita. Kalau kata orang mereka sering MKKB atau masa kecil kurang bahagia, aku justru sangat bahagia sewaktu masih kecil,” tutur Riri, sahabatku yang ikut senang karena bisa bersama-sama mengenang masa-masa ini.

Pengalaman waktu kecil ini menjadi pengingatku bahwa aku bisa jadi manusia yang lebih baik lagi dalam beribadah. Semakin dewasa mungkin kita disadarkan sering jauh dari agama, anggapan ini sering juga masuk ke dalam pikiranku. Aku menjadi terkesiap, masa kita kalah sama anak kecil.

Meskipun aku juga belum sempurna dalam beribadah, mungkin dari mengingat pengalaman ini aku menjadi belajar sedikit dari sosok anak kecil di dalam tubuhku.Seperti sebandel apapun kami dulu waktu kecil tapi tidak melupakan ibadah itu. Untuk itu perbanyaklah ibadahmu di bulan Ramadan ini.

Selamat Berpuasa Teman-teman yang Menjalankannya.



#waveforequality


Avatar
About Author

Chika Ramadhea

Dulunya fobia kucing, sekarang pencinta kucing. Chika punya mimpi bisa backpacking ke Iceland.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *