Fenomena Sunyi Kasus ‘Sextortion’ di Indonesia
Istilah ‘sextortion’ masih belum umum diketahui masyarakat luas, tapi fenomenanya sudah marak terjadi.
Mawar (nama samaran) tak pernah menyangka universitas, tempatnya menimba ilmu justru sumber mimpi buruknya. Mahasiswi dari kampus swasta di Semarang itu jadi korban pelecehan seksual dosennya sendiri pada 2021 lalu.
Awalnya, pelaku sering mengirimkan pesan pribadi ke media sosial Mawar. Pesan-pesan ini semakin intens. Ia terima hampir setiap hari, lalu disusul ajakan kencan, seperti nonton bioskop serta tawaran memberikan barang-barang mewah hingga tiket perjalanan.
Baca Juga: ‘Restorative Justice’ dalam Pemerkosaan Anak Papua: Tak Sama dengan Jalur Damai
Dilansir dari Kompas, Mawar beberapa kali sempat menolak sang dosen. Tetapi, karena terus dibujuk, Mawar pun menerima tawaran dosennya. Bujuk rayu yang dianggap pelaku sebagai konsen dari Mawar berubah jadi kekerasan. Selama kurun waktu 2020 hingga 2021, sang dosen mulai memaksa Mawar melakukan hubungan seksual.
Mawar menolak habis-habisan bujukan sang dosen, apalagi dengan fakta dosen itu sudah memiliki istri. Namun, penolakan Mawar tak digubris pelaku. Pelaku justru mengancam Mawar akan dapat nilai jelek jika tak menurut.
Mawar tak sendiri. Nyatanya, ada sejumlah kasus serupa yang juga dialami oleh perempuan di lingkup universitas. Korban diiming-imingi nilai bagus dan kelulusan dengan syarat melakukan hubungan seksual. Iming-iming ini umumnya dilakukan beserta ancaman, tentunya membuat banyak korban yang punya tuntutan lulus cepat apalagi karena tekanan ekonomi, tidak punya pilihan lain. Dalam banyak kasus mereka akhirnya terpaksa bungkam, enggan melapor kekerasan seksual yang mereka alami.
Mengenal Lebih Jauh Soal Sextortion
Dalam studi Keterkaitan Hubungan/Kekerasan Seksual, Benturan Kepentingan dan Korupsi, yang dilakukan KEMITRAAN dan USAID, kasus pemerasan seksual begini sebetulnya fenomena jamak. Namun, jarang terungkap. Fenomena yang juga disebut sextortion ini adalah fenomena sunyi, Kata Judhi Kristantini, salah satu penulis laporan tersebut.
“Tahun 2020, Global Corruption Barometer merilis laporan. Indonesia itu masuk ke dalam negara dengan peringkat teratas kasus sextortion di Asia, lho. Dalam rilisan tersebut, kasus sextortion di Indonesia mencapai angka 18 persen. Kita ingin menyoroti ini. Fenomena yang banyak enggak tau itu apa, tapi ketika dijelaskan, banyak kasus diceritakan dan masuk dalam unsur sextortion,” jelas Judhi.
Istilah sextortion pertama kali digunakan International Association of Women Judges (IAWJ) pada 2008. Sextortion terdiri dari dua kata, sex dan extortion (pemerasan).
Lewat penggabungan dua kata ini, sextortion menggambarkan kompleksitas bentuk eksploitasi dan korupsi seksual yang terjadi ketika orang-orang pemegang posisi otoritas—baik pejabat pemerintah, hakim, pendidik, aparat penegak hukum, atau majikan—berusaha menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan atau keuntungan sendiri.
Sehingga, variable utama dari sextortion adalah: korupsi dan aktivitas seksual.
“Terjadinya harus bersama-sama. Tidak bisa ada tindak korupsi dulu baru kekerasan seksual atau sebaliknya, karena sextortion itu sendiri adalah irisannya. Pemegang otortitas punya kekuasaan di sini untuk memutuskan ngasih reward atau tidak ya, saat ia melakukan penekanan atau pemerasan itu,” ungkap Judhi.
Lebih lanjut, dalam membedakan sextortion dengan bentuk kekerasan seksual atau pertukaran seksual dibutuhkan setidaknya tiga unsur. Di antaranya: (1) penyalahgunaan otoritas; quid pro quo atau “ini-untuk-itu” atau imbalan/kompensasi, (2) pelaku menuntut atau menerima kenikmatan seksual yang dipertukarkan dengan kekuasaan yang mereka miliki; dan (3) pemaksaan psikologis.
Judhis menekankan, ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban memungkinkan pelaku untuk melakukan pemaksaan/tekanan koersif. Relasi kuasa timpang ini membuat sextortion memiliki kekhasan dibanding gratifikasi atau suap seksual.
Pertama, ia lebih banyak melibatkan kelompok marjinal yang mengalami kesulitan untuk mengakses sumber-sumber daya atau kuasa untuk mendapatkan hak-haknya. Kedua, pada umumnya seolah-olah dipandang sebagai hubungan yang dilakukan atas dasar mau sama mau atau konsensual. Hal yang membuat korban menjadi lebih rentan dikriminalisasi sehingga enggan melapor atau bercerita tentang pengalamannya.
Baca Juga: Lagi, Pejabat Remehkan Kasus Pelecehan Seksual: Sudah Saatnya Berubah, Pak, Bu!
Judhi pun mencontohkan dua kasus sextortion dalam situasi konflik atau bencana alam dan dalam situasi Mengutip dari penelitian UNFPA Indonesia dalam Pencegahan & Penanganan Kekerasan Berbasis Gender (KBG) di Masa Darurat (2019), ia mengatakan bahwa dalam kondisi tanggap darurat, di Sigi Donggala, Sulawesi Tengah, kebijakan distribusi jaminan hidup hak dasar masih dihitung dari status kepala rumah tangga, yaitu laki-laki.
Lewat status kepala rumah tangga yang kaku ini, perempuan sering kali terputus dari hak jaminan hidup untuk mendapatkan makan, sandang, dan tempat tinggal sementara. Untuk mendapatkan jaminan hidupnya kembali, tak sedikit dari laki-laki pemegang otoritas setempat sengaja menjerat perempuan untuk berhubungan seksual dengan imbalan bantuan kemanusiaan.
Sedangkan dalam proses penyidikan, perempuan tersangka atau keluarga tersangka kerap kali harus mengalami kekerasan seksual sebagai syarat pembebasan atau keringanan hukuman dirinya atau keluarga mereka. Hal ini terjadi pada pemerkosaan istri tersangka perkara Narkotika oleh Polisi Kutalimbaru, Sulawesi Utara pada 2021. Sebagai syarat pembebasan suaminya, korban tak hanya diperas uang sebesar Rp150 juta oleh enam personel polisi tetapi ia juga diperkosa oleh satu personel polisi di sebuah hotel.
“Kasus-kasus ini menekankan ada ketimpangan sebuah hubungan. Dan ketika ada posisi ini, maka yang lebih tinggi bisa melakukan penekanan disertai ancaman. Ini yang membuat sextortion berbeda dengan jenis atau bentuk kekerasan seksual lain.”
Solusi yang Bisa Dilakukan
Judhi mengatakan fenomena sextortion di Indonesia layaknya kasus yang menggantung. Menunggu untuk diusut tapi kesulitan mendefinisikan diri dan dapat atensi yang cukup. Definisi korupsi yang sangat sempit sebatas pembayaran uang suap dan barang berwujud membuat fenomena ini kerap tersandung tuduhan konsensual dalam penyelesaiannya. Apalagi dalam peraturan hukum di Indonesia sendiri belum ada yang secara spesifik mengatur sextortion dalam konteks korupsi.
Dalam UU TPKS misalnya, walau sextortion dianggap beririsan dengan bentuk eksploitasi seksual dan pemaksaan pelacuran. Kedua jenis kekerasan seksual ini menurut Judhi masih belum bisa memotret kompleksitas dan kelindannya dengan tindak pidana korupsi. Hal yang membuatnya seolah-olah mengecilkan permasalahan yang terjadi karena tidak semua kekerasan terhadap perempuan adalah korupsi dan tidak semua korupsi juga adalah kekerasan terhadap perempuan.
Karena itu, butuh ada peraturan khusus yang memuat sextortion sebagai irisan dari keduanya. Namun, Judhi juga menyadari kendala besar dalam pembentukan produk hukum baru mengingat UU TPKS saja yang membutuhkan waktu penantian selama 10 tahun. Dengan demikian, ia menawarkan setidaknya lima cara yang bisa dilakukan dalam mengupayakan peningkatan kesadaran dan pencegahan sextortion di Indonesia.
Baca juga: Predator Seksual itu Berlindung di Balik Jubah Gereja
Pertama, memperkuat kerangka legislatif untuk isu sextortion. Mengingat dibutuhkan waktu yang panjang untuk melakukan hal tersebut, maka diharapkan setidaknya kementerian/lembaga dan pemerintah daerah mengembangkan atau menyempurnakan aturan yang ada dengan memasukkan unsur kejahatan sextortion dalam peraturan atau kode etik lembaga masing-masing.
Kedua, meminta kepada setiap pimpinan kementerian/lembaga, pemerintah daerah dan perguruan tinggi untuk mengembangkan panduan pencegahan sextortion dan melakukan sosialisasi tentang sextortion melalui pembentukan SOP.
Ketiga, melakukan sosialisasi atau edukasi terhadap publik termasuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang sextortion dengan dengan bahasa yang mudah dipahami. Sekaligus memberikan penguatan untuk mampu menolak menjadi bagian dari kekerasan tersebut.
Keempat, mendorong setiap pimpinan kementerian/lembaga, pemerintah daerah dan perguruan tinggi untuk menyediakan atau menyempurnakan sarana laporan pengaduan yang efektif serta aman demi melindungi hak korban secara utuh.
Kelima, mendorong kepada kementerian/lembaga terkait untuk melakukan pengumpulan data yang kuat untuk mendorong strategi nasional pencegahan sextortion sekaligus mendorong kepada Tim Nasional Strategi Nasional Pencegahan Korupsi untuk memasukkan sextortion dalam Stranas Pencegahan Korupsi.
Dengan lima cara Judhi berharap kedepannya baik masyarakat secara umum maupun pemegang otoritas di banyak sektor mampu memahami kedaruratan fenomena sextortion di Indonesia. Hal yang mampu jadi bekal kuat untuk membangun masyarakat lebih adil gender lewat pengurangan angka kekerasan terhadap perempuan.