Komnas Perempuan: Kasus Kekerasan NWR adalah Femisida
Kasus pemerkosaan dan pemaksaan aborsi yang berujung pada kematian korban NWR adalah femisida. Celakanya, relasi kuasa pelaku sebagai polisi membuat kasus sulit ditangani.
Kasus pemerkosaan dan pemaksaan aborsi yang berujung kematian korban, NWR termasuk bentuk femisida. Komisioner Komisi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Siti Aminah Tardi mengatakan, femisida merupakan puncak dari kekerasan terhadap perempuan yang disebabkan oleh ketidakadilan gender.
Dalam kasus mahasiswa Universitas Brawijaya tersebut, imbuhnya, femisida dilakukan dengan aksi kekerasan dan eksploitasi seksual oleh pelaku, RB, sehingga korban bunuh diri. NWR ditemukan tewas di makam ayahnya di Mojokerto setelah mengonsumsi minuman yang diduga racun, (2/12).
Siti menuturkan, NWR menjadi korban dan terjebak siklus kekerasan dalam pacaran yang berulang sejak memulai hubungannya dua tahun lalu. Dalam laporan Komnas Perempuan, kekerasan dalam pacaran merupakan kasus kekerasan ranah privat ketiga tertinggi. Selama kurun waktu 2015 hingga 2020 tercatat 11.975 kasus kekerasan yang dilaporkan kepada lembaga layanan, 20 persen di antaranya ialah kekerasan ranah privat.
Ia mengatakan, NWR juga mengadukan kasus kekerasan yang dialaminya kepada Komnas Perempuan pertengahan Agustus lalu secara daring. Pada 10 November, Komnas Perempuan memperoleh informasi lengkap tentang kasus yang dialami korban.
Baca juga: Polisi Pemerkosa, Kepada Siapa Lagi Perempuan Cari Pertolongan?
Sejak awal tahun hingga Oktober lalu, terdapat 4.500 aduan kasus ke Komnas Perempuan, NWR salah satunya.
Ditemukan korban dipaksa melakukan aborsi sebanyak dua kali, meskipun NWR menolak menggugurkan kandungannya.
“Cara yang dilakukan dalam pemaksaan aborsi ini dengan meminum obat pil KB dan jamu. Selain itu ada paksaan melakukan hubungan seksual di tempat yang tidak wajar karena tanggapan sperma dapat menggugurkan janin atau kandungan,” ujar Siti dalam Konferensi Pers Kasus NWR, Korban Kekerasan Seksual di Mojokerto secara daring, (6/12).
Sementara, pemaksaan aborsi kedua dengan memasukkan obat-obatan ke dalam organ reproduksi korban. NWR meminta penyelesaian dengan menikahi, tetapi orang tua pelaku menolak dengan alasan tidak mendahului kakak perempuan dan mempertimbangkan karier pelaku yang merupakan anggota kepolisian.
Eksploitasi seksual dan pelaku yang memiliki hubungan dengan perempuan lain, tapi tidak ingin memutuskan relasi dengan NWR membuat korban merasa tidak berdaya, disia-siakan, dan ingin menyakiti diri sendiri.
“Korban menyakiti diri sendiri dengan memukul batu di kepalanya dan dirawat. Berdasarkan konsultasi dan pengobatan ke psikiater, korban didiagnosa OCD dan gangguan psikosomatik lain,” ujarnya.
Siti melanjutkan, berdasarkan kebutuhan bantuan psikologis korban, Komnas Perempuan merujuk ke layananan PTP2A di Mojokerto untuk menjalankan dua kali sesi konseling pada November. Namun, sebelum sesi kedua korban telah meninggal dunia.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan, kasus NWR menjadi pembelajaran bahwa Indonesia sedang dalam posisi darurat kekerasan seksual.
“Kasusnya semakin kompleks dan daya penanganan kasus kekerasan seksual secara khusus perempuan sangat terbatas. Karenanya banyak yang tidak terlaporkan dan kalau dilaporkan tidak ditangani dengan baik,” kata Andy.
Baca juga: Perempuan Korban Kekerasan Seksual Sulit Cari Keadilan Hukum
Polisi dan Relasi Kuasa
RB bukan anggota kepolisian yang menjadi pelaku kekerasan seksual pertama. Pada Juni, polisi di Halmahera, Maluku menangkap kemudian memperkosa remaja berusia 16 tahun yang sedang dalam perjalanan menuju Sidangoli. Lalu, Oktober lalu, polisi di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah dikabarkan melakukan pelecehan seksual kepada seorang anak yang diduga mencuri ternak.
NWR juga disebutkan pernah berkonsultasi dengan lembaga hukum di daerahnya yang menyarankan untuk melaporkan kasus pada Propam. Meski demikian, dikabarkan korban tidak menerima tindak lanjut. Setelah kasus viral dan ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian, RB ditetapkan sebagai tersangka karena pasal 348 KUHP tentang aborsi di Mapolres Mojokerto.
Andy menambahkan, kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan polisi menjadi catatan penting karena seringkali terjadi hambatan dalam penanganan dan pelaporan. Faktor yang menyebabkannya karena relasi kuasa besar yang dimiliki aparatur negara.
“Kasus yang dilakukan polisi harus diperlakukan secara khusus untuk memastikan bahwa korban dilindungi. Dan ketika berhasil melaporkan maka bisa mengadukan ke LPSK untuk perlindungan. Perlu juga dilakukan upaya agar kasus tidak di-drop. Banyak yang akhirnya tidak dilanjutkan ketika pelaku pejabat atau institusi yang memiliki kekuatan intimidasi,” jelasnya.
Siti mengatakan, agar kasus yang melibatkan kepolisian tidak terulang lagi Komnas Perempuan menyatakan, telah mengajukan audiensi dengan Kepolisian Republik Indonesia terkait koordinasi kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah privat dan publik atau kasus yang melibatkan anggota polisi. Meski demikian audiensi tersebut belum menerima waktu penjadwalan.
“Koordinasi dengan bapak Kapolri belum ada waktunya. Upaya ini dilakukan tahun ini dan (menyorot) hambatan yang dialami dalam proses penanganan kasus di tingkat kepolisian,” ujarnya.
Baca juga: Kapolri Diminta Revisi Aturan, Prosedur Penanganan Kasus Kekerasan Seksual
Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini mengatakan, sejak tahun 2000 telah dilakukan upaya untuk mendorong konsep sistem peradilan pidana dan penanganan kasus kekerasan pada perempuan terpadu. Konsep tersebut bertujuan menyatukan dua institusi besar, aparat hukum negara, seperti polisi, kejaksaan, dan pengadilan bersama lembaga layanan pemulihan di berbagai daerah.
Harapannya dengan menyatukan dua institusi tersebut aparat penegak hukum dapat dipastikan berkoordinasi untuk pemulihan korban yang mengalami shock dan trauma. Selain itu, memastikan ada pemulihan secara berkelanjutan yang tidak hanya dibantu oleh kepolisian, tapi sebagai tuntutan pengadilan sampai pelaksanaan keputusan.
“Kami yakin upaya untuk memastikan dua entitas ini bisa bekerjasama menjadi sesuatu yang penting dengan layanan yang komprehensif karena keduanya ini membantu korban,” ujarnya.
Benahi Sistem Pelayanan
Andy juga mengatakan, kasus NWR menjadi pembelajaran untuk membenahi sistem dan proses penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Komnas Perempuan mengakui sejak 2020 terjadi lonjakan pelaporan kasus dan membuat lembaga pengaduan dan pelaporan kewalahan dalam menanggapi kasus karena sumber daya manusia terbatas. Karenanya, situasi seperti itu menjadi semacam bom waktu dan kasus NWR menjadi dampak paling fatal.
Siti mengatakan hal senada, lonjakan yang membuat antrian kasus semakin panjang, sehingga ada keterlambatan dalam memproses kasus. Daftar tunggu verifikasi kasus di Komnas Perempuan juga mencapai dua bulan.
“Lonjakan kasus tidak hanya di Komnas Perempuan, tapi lembaga layanan lain. Hal ini menjadi masalah yang harus dipecahkan. Kasus kematian almarhum NWR menjadi dorongan agar kita benar-benar serius mengatasi sistem pelayanan pada korban,” ujarnya.