Madge PCR

Cinta Bertepuk Sebelah Tangan, Haruskah Berhenti Jadi Bucin Keras Kepala?

Cinta yang tak berbalas memang menyakitkan. Kita perlu mengenali kenapa hal ini bisa terjadi berulang kali.

Avatar
  • April 1, 2022
  • 4 min read
  • 1010 Views
Cinta Bertepuk Sebelah Tangan, Haruskah Berhenti Jadi Bucin Keras Kepala?

Kalau setiap orang punya lagu cinta yang menggambarkan love life-nya masing-masing, saya mengklaim “Pupus” dari Dewa 19 paling relevan sepanjang masa. Lirik yang diciptakan Ahmad Dhani itu menemani saya selama empat tahun ketika menyukai seseorang dalam diam. Sebuah cinta yang belum tentu berbalas perasaan serupa.

Semua berawal ketika saya berusia 13 tahun dan menjalin kedekatan dengan kakak kelas. Kami bertukar pesan hampir 24/7, membicarakan banyak hal mulai dari kegiatan setiap hari, hobi, hingga latar belakang masing-masing. Ada kalanya dia memberikan kabar kalau enggak bisa merespons dalam sepersekian detik, membuat saya semakin merasa spesial.

 

 

Intensitas tersebut bikin saya baper dan berasumsi, laki-laki yang hobinya main futsal itu punya perasaan yang sama. Sayangnya, enggak lama kemudian dia pacaran dengan perempuan lain. Namun, bukan berarti kedekatan itu selesai begitu saja, karena enggak ada yang berubah dari interaksi kami.

Dalam perkembangannya, saya melihat ia jadi pacar orang berulang kali dalam kurun waktu empat tahun. Meskipun muncul kecemburuan dan sadar harus move on, saya terjebak di perasaan nyaman dengan perhatian tipis-tipis yang diberikan.

Situasi itu bikin saya enggak punya keinginan maupun keberanian, untuk mengungkapkan isi hati. Sampai suatu malam, sepupu saya—kebetulan kenal dengan laki-laki itu—memberikan ultimatum padanya. Isinya kurang lebih jangan menyakiti atau memberikan harapan palsu, kalau enggak berniat membuat hubungan kami “naik kelas”.

Sejak ultimatum ini, sikapnya berbeda, enggak ramah, pun memberikan perhatian khusus. Dari situ saya menangkap sinyal, lirik lagu Dewa 19 bukan lagi overthinking belaka, melainkan sudah pasti terjebak dalam unrequited love, atau cinta bertepuk sebelah tangan.

Baca Juga: ‘Retroactive Jealousy’: Saat Kamu Insekyur dan Kepo Mantannya Pacar

Alasan Cinta Bertepuk Sebelah Tangan

Pengalaman itu hanya salah satu one-sided love yang dirasakan. Seperti sebuah pola, saya terjebak dalam lingkaran tersebut tiap kali naksir laki-laki, sehingga harus berpikir ratusan kali jika “kupu-kupu” mulai beterbangan saat dekat dengan seseorang.

Terkait unrequited love yang terjadi berulang, psikoterapi dan pakar cinta Toni Coleman menyebutkan, salah satunya ketertarikan yang cenderung dipengaruhi hubungan dengan role model sewaktu kecil.

Hal ini berkaitan dengan attachment styles dalam diri seseorang. Mereka yang memiliki anxious attachmentinsecure dan cemas dalam menjalin hubungan, lebih mungkin terjebak dalam unrequited love. Dikarenakan, mereka perlu berkomunikasi secara konstan supaya tidak merasa ditelantarkan.

Begitu pula dengan avoidant attachment, atau cenderung menghindar dalam hubungan. Ironisnya, mereka enggan berhubungan secara intim, karena meyakini tidak ada yang bisa memenuhi kebutuhan emosionalnya. Untuk mengurangi sakit hati akibat ditolak, mereka berusaha tidak terlalu dekat dengan siapa pun.

Sementara, buat mereka dengan secure attachment—memandang dirinya berharga karena hubungan dengan orang tua atau pengasuhnya ideal, kemungkinannya justru kecil.

Baca Juga: Perempuan Nyatakan Perasaan: Bicara Sekarang Atau Tertekan Selamanya

Adapun faktor selain attachment styles yang memengaruhi adalah, perasaan familier dengan hubungan sebelumnya, misalnya perasaan nyaman atau karakteristik hubungan sehat.

“Bisa juga karena menganggap orang lain dapat melengkapi dirinya,” ujar Coleman kepada Bustle. “Atau mereka terlalu fokus dengan keinginannya terlibat dalam hubungan romantis, walaupun bukan bersama orang yang tepat.”

Lantaran berorientasi pada diri sendiri, ia mengejar seseorang yang disukai demi kesenangan dan kepuasannya. Sehingga, reaksi maupun perasaan gebetannya tidak terlalu diperhatikan.

Menurut psikolog Roy Baumeister dalam Unrequited Love: On Heartbreak, Anger, Guilt, Spiritlessness, and Humiliation (1993), itu disebabkan seseorang yang naksir berusaha mengabaikan penolakan.

Pun yang termasuk unrequited love bukan hanya seperti yang saya alami—naksir tanpa inisiatif memulai relasi romantis. Sebab, terdapat beberapa contoh lainnya, seperti perbedaan ekspektasi dalam hubungan, ingin balikan dengan mantan pacar, hingga naksir seseorang yang enggak nyata seperti mengidolakan figur publik.

Baca Juga: Dunia Belum Berakhir Setelah Cinta Ditolak

Apakah Unrequited Love Buruk?

Banyak orang mengatakan, bukan kita yang menentukan ketika punya perasaan dengan seseorang. Alhasil tidak ada prediksi harga mati, apakah perasaan itu akan terbalaskan atau bertepuk sebelah tangan.

Sebenarnya enggak ada salahnya jika yang terjadi adalah opsi kedua, selain harus siap dengan patah hati. Fase itu dapat dimanfaatkan sebagai pengalaman mengeksplorasi hubungan dan percintaan, seperti dijelaskan terapis pasangan Alicia Muñoz dalam Mind Body Green.

“Terlebih jika dialami saat berusia remaja atau 20-an,” jelasnya. “Yang penting tidak memengaruhi kualitas hidup kamu.”

Sementara Susan Trombetti, CEO Exclusive Matchmaking—layanan kencan di AS—mengatakan sebaliknya. Menurutnya, unrequited love tidak sehat karena kita tidak dapat menemukan seseorang yang mencintai dan membantu memenuhi kebutuhan. Akibatnya berujung pada kesepian dan terjebak secara emosional.

Pasalnya, segelintir orang yang mengalami unrequited love, kerap menyandarkan kebahagiaannya pada orang lain. Seolah menghindari tanggung jawabnya atas diri sendiri, dan orang tersebut mampu memenuhi kebutuhannya.

Apabila itu yang terjadi, artinya ia memiliki pola pikir seperti anak-anak yang menghindari tanggung jawabnya. Layaknya karakter Disney princess, ia percaya kedatangan seorang pangeran yang “menyelamatkan” hidupnya. Misalnya membuatnya merasa utuh dan bahagia selamanya.

Terlebih jika hal ini telah membentuk suatu pola. Trombetti menyarankan, perlunya mencari tahu mengapa situasi tersebut terjadi secara berulang, supaya dapat mengubah kebiasaan dan cinta bertepuk sebelah tangan tidak kembali terjadi.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *