Environment Issues

Perempuan Muslim Jadi Agen Perubahan Iklim, Lelaki ‘Ngapain’?

Lelaki harus ikut mendukung perempuan muslim dalam usaha melestarikan lingkungan dan mengatasi krisis iklim.

Avatar
  • May 8, 2023
  • 5 min read
  • 1723 Views
Perempuan Muslim Jadi Agen Perubahan Iklim, Lelaki ‘Ngapain’?

Perempuan adalah pihak paling rentan, korban terbanyak dari krisis iklim. Ini bukan sekadar pepesan kosong. Riset International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada 2022 yang dikutip Magdalene menyimpulkan, kerusakan alam akibat ulah manusia memicu kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.

Sande, anak 13 tahun asal Malawi dinikahkan paksa orang tua karena keluarganya kekurangan makanan usai lahan pertanian kering kerontang. Di Ethiopia dan Sudan Selatan, saat cuaca panas ekstrem, anak-anak perempuan dijual untuk dinikahkan dengan imbalan hewan ternak. Di Bangladesh, perempuan lebih mungkin mati karena banjir bandang lantaran mereka jarang pergi mencari perlindungan di pengungsian darurat.

 

 

Di Nusa Tenggara Timur, Indonesia—daerah termiskin di Indonesia bersama dengan Papua, Papua Barat, Maluku, dan Gorontalo—angka penjualan perempuan terbilang tinggi. Menurut laporan Vice, sepanjang 2021 saja, sudah 83 warga NTT pulang dalam peti mati karena terjebak penyalur TKI ilegal. Kemarau berkepanjangan di NTT, akibat krisis iklim, memaksa banyak orang mempertaruhkan nasib hingga ke Malaysia dan negara penyalur buruh migran lainnya. Tak jarang, mereka justru jadi korban perdagangan manusia karenanya.

Pengalaman pahit banyak perempuan hari-hari ini lahir akibat ketidaksetaraan gender di berbagai bidang. Perempuan tak punya akses dan kontrol atas sumber daya, akses ke pendidikan dan informasi, pun hak yang sama pada proses pengambilan keputusan.

Bahkan, meskipun 43 persen perempuan mengisi sektor pertanian global menurut catatan The Global Netizen (2020), ruang gerak mereka tetap dibatasi di sana-sini. Mereka dilarang meminjam uang untuk pupuk dan peralatan, tak punya hak katas tanah pertanian, kesulitan mengakses pasar untuk menjual hasil panen mereka. Dalam kondisi yang lebih buruk, saat kualitas tanah dan air kian mengkhawatirkan, mereka pula yang pertama dieksploitasi dan jadi korban.

Baca juga: Tentukan Masa Depan Bumi, COP26 Jangan Dipolitisasi

Agensi Perempuan dalam Krisis Iklim

Dalam Podcast Magdalene’s Mind edisi Ramadan episode 6, Umdah El Baroroh, dosen Institut Pesantren Mathaliul Falah, pendamping santri putri Mansajul Ulum, Pati, dan jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) memberikan penjelasan soal ini.

“Alam semesta adalah anugerah Allah, termasuk air, udara, tumbuhan. Namun, manusia kerap lupa menjaganya. Alih-alih bersyukur, manusia justru mengeksploitasi alam di mana-mana dengan dalih mendapat keuntungan cepat. Misalnya, penggunaan pupuk kimiawi, penggunaan makanan olahan sampah yang tampak mewah. Tak heran jika tubuh manusia cepat rusak, mentalnya ikut terganggu,” ujarnya.

Banyak orang menyadari bahwa mereka berlaku eksploitatif ketika Bumi sudah sekarat. Saat ini suhu Bumi terus meningkat hingga rerata 1,1 derajat C, merujuk pada laporan terbaru dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), badan ilmu iklim terbesar di dunia. Sebuah angka yang belum ada apa-apanya karena dalam skenario terburuk, pemanasan  global bisa menyentuh 4,4 derajat C pada 2100. Dampaknya sudah barang tentu lebih buruk dari mencairnya es di kutub Bumi, banjir bandang Eropa, kebakaran hutan Australia dan Amerika Serikat (AS), atau rentetan katastropi di negeri sendiri.

Baca juga: Bencana hingga Kematian di Depan Mata, Kenapa Kita Masih Cuek pada Krisis Iklim?

Padahal dalam QS Albaqarah ayat (30) disebutkan: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Manusia, apalagi umat Muslim perlu menjaga alam, karena menjaga alam berarti menjaga kelangsungan hidup manusia. Dalam hal ini, ternyata perempuan Muslim lah yang relatif lebih peduli terhadap krisis iklim. Kita mengenal banyak aktivis lingkungan dan mayoritas adalah perempuan. Sebut saja Emmy Hafild hingga Greta Thunberg. Kiprah mereka ini sekaligus menjadi penanda bahwa perempuan bisa saja punya agensi dalam kasus krisis iklim.

Dalam “Women, Gender Equality, and Climate Change” (2009), United Nation Women (UN Women) menyebutkan, perempuan lebih punya pengetahuan dan keterampilan kuat dalam memitigasi perubahan iklim. Mereka juga bisa memiliki agensi dalam pengurangan bencana dan jauh lebih adaptif. Tak heran jika perempuan dalam rumah tangga maupun masyarakat berperan lebih baik dalam upaya mengatasi krisis iklim ini.

Pertanyaannya, bagaimana dengan lelaki? Apa peran mereka dalam upaya mengatasi krisis iklim ini?

Baca juga: Gara-gara Krisis Iklim, Haruskah Kita Ucapkan Selamat Tinggal pada Piala Dunia?

Sudah Saatnya Lelaki Berkontribusi

Usman Kansong, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo sepakat, perempuan jauh lebih baik menjaga alam. Sementara, lelaki cenderung lebih pasif jika bicara krisis alam. Tak heran jika dalam banyak ceramah keagamaan, para ulama lelaki cuma sibuk bicara surga dan neraka, halal dan haram.

Padahal Islam sendiri sudah tegas menyebutkan bahwa tugas merawat lingkungan adalah tugas manusia, yang notabene jadi khalifah atau pemimpin Bumi. Pun, Islam mengajarkan tentang perilaku mencintai alam. Dalam urusan paling sederhana misalnya, Islam membenci perilaku mubazir atau boros karena itu bisa merusak lingkungan, dan mubazir juga merupkan teman setan. Misalnya, menggunakan botol dan makanan dengan kemasan plastik, alih-alih botol ramah lingkungan.

“Sudah saatnya para ulama, baik perempuan dan lelaki memasukkan anjuran untuk menjaga lingkungan dalam materi ceramah mereka. Sebab, biasanya umat Muslim cenderung lebih mudah tersentuh jika disangkutpautkan dengan agama,” ungkapnya.

Jika umat Muslim sudah tersentuh lewat jalur agama, maka bukan tak mungkin akan ada kesadaran kolektif bahwa tugas menjaga Bumi memang tak cuma perempuan saja, tapi lelaki juga bisa andil.

“Lelaki bisa mendukung kiprah perempuan. Contoh, di rumah istri kita sudah menyediakan dua kantong sampah. Satu sampah yang bisa jadi kompos, satu sampah untuk daur ulang. Saya di rumah akan mendukung dengan memasukkan sampah sesuai pemilahan yang ditentukan oleh istri,” ujar Usman.

Terakhir, sekaligus sebagai kunci, pemerintah juga perlu ambil peranan. “Pemerintah harus mulai memikirkan untuk membuat kebijakan yang bisa mengantisipasi peran dan kerentanan gender dalam isu lingkungan,” pungkasnya.



#waveforequality


Avatar
About Author

Purnama Ayu Rizky

Jadi wartawan dari 2010, tertarik dengan isu media dan ekofeminisme. Kadang-kadang bisa ditemui di kampus kalau sedang tak sibuk binge watching Netflix.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *