Bencana hingga Kematian di Depan Mata, Kenapa Kita Masih Cuek pada Krisis Iklim?
Krisis iklim adalah alarm darurat bagi peradaban manusia. Sayangnya isu ini masih dianggap berjarak dan belum jadi obrolan arus utama.
Pada 4-6 April 2021, serangkaian banjir bandang dan tanah longsor hebat menghantam Nusa Tenggara Timur (NTT). Dilansir dari Kompas , Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan, bencana itu berdampak paling besar dalam 10 tahun terakhir di provinsi tersebut. Tak hanya di NTT saja, pada 2021 sejumlah wilayah Indonesia juga dihantam banjir bandang dan tanah longsor. Aceh misalnya, menderita karena banjir bandang dan tanah longsor karena curah hujan dengan intensitas tinggi. Peristiwa senada juga menimpa enam kecamatan di Luwu, Sulawesi Selatan pada Oktober ini.
Di belahan negara lain, kita menyaksikan 586 kebakaran hutan yang menghanguskan hampir semua sudut negara Yunani pada Agustus lalu. Ada gelombang panas yang menghampiri Amerika pada Juni. Sementara di Beijing, Cina, badai pasir terbesar menimpa mereka pada April.
Rentetan bencana alam yang terjadi di Indonesia dan negara lain adalah bukti nyata bagaimana kita telah mengalami krisis iklim. Dalam artikel Vishwas Satgar berjudul The Climate Crisis and Systemic Alternative (2013), krisis iklim dapat dipahami sebagai kondisi di mana bumi yang kita tinggali terancam pemanasan global dan perubahan iklim yang berakibat langsung pada kondisi iklim yang tidak dapat diprediksi, sehingga perlu ada desakan mitigasi perubahan iklim yang agresif.
Dalam artikel IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) yang diunggah pada Agustus 2021 dinyatakan, tahun ini emisi gas rumah kaca dari aktivitas manusia bertanggung jawab atas sekitar 1,1°C pemanasan sejak 1850-1900, dan menemukan rata-rata selama 20 tahun ke depan, suhu global diperkirakan akan mencapai atau melebihi 1,5°C pemanasan. Naiknya suhu bumi lebih dari 1°C sangat mengkhawatirkan karena akan mempengaruhi banyak hal seperti curah dan intensitas air hujan, tinggi air laut, siklus air, dan gelombag panas yang akan melanda bumi.
Baca Juga: Konferensi Iklim Didominasi Laki-laki, Saatnya Tingkatkan Keterlibatan Perempuan
Kenapa Krisis Iklim Belum Jadi Isu Mainstream?
Walaupun dampak nyata dari krisis iklim sudah ada di depan mata, sayangnya ini masih belum menjadi isu arus utama. Studi Media Matters pada 2020 mencatat, acara berita di jaringan utama di Amerika Serikat hanya menayangkan 238 menit liputan krisis iklim, yang sebenarnya naik dari 2018 secara signifikan, tetapi secara keseluruhan masih berkisar di 0,7% dari siaran korporat secara keseluruhan acara berita malam dan Minggu pagi pada 2019. Minimnya pemberitaan krisis iklim diyakini andil dalam rendahnya kesadaran akan isu genting tersebut.
Dilansir dari The Guardian, direktur eksekutif Friends of the Earth, Miriam Turner mengatakan, alasan mengapa krisis iklim belum bisa menjadi isu mainstream karena masih banyak orang, termasuk para pemangku kebijakan yang menanggapi krisis iklim sebagai isu yang masih jauh terbentang di masa depan. “Mungkin sesuatu yang terasa jauh ketika duduk di sebuah kantor di pusat kota London, tetapi pijakan darurat krisis iklim sudah dirasakan oleh ratusan juta orang,” tuturnya.
Senada dengan Turner, Alfie Stirling dari New Economic Foundation juga mengatakan, krisis iklim masih dianggap belum benar-benar terjadi. Hal ini bisa dilihat dari perbedaan penanganan pemerintah terhadap pandemi COVID-19 dan krisis iklim. Dengan mengambil contoh negaranya sendiri, Stirling mencontohkan bagaimana pandemi COVID-19 datang secara tiba-tiba dan kita tak bersiap apa-apa untuk menangani pandemi. Namun, meski pemerintah Amerika Serikat tidak cukup siap menangani pandemi karena minim dana dan sumber daya, pemerintah pada akhirnya dapat dengan cepat mengumumkan rencana pandemi darurat. Hal inilah yang sangat disayangkan oleh Stirling. Kita telah mengetahui bagaimana sudah krisis iklim akan terjadi selama 30 atau 40 tahun mendatang, tetapi rasa urgensi dalam mitigasi krisis iklim sama sekali tidak dirasakan bahkan bagi para pemangku kebijakan sendiri.
Selain karena masih dilihat sebagai isu masa depan, alasan lain kenapa krisis iklim masih belum menjadi isu mainstream adalah bagaimana harapan dan keraguan memainkan peran penting bagi manusia dalam memengaruhi komunikasi tentangnya. Dalam penelitian How Hope and Doubt Affect Climate Change Mobilization (2019) yang dilakukan dalam skala nasional di Amerika Serikat, harapan dan keraguan dapat menjadi ancaman serius dalam penanganan krisis iklim. Dalam hal ini, harapan dilihat sebagai sebuah harapan palsu atau false hope.
Tiga bentuk harapan palsu yang diidentifikasi dalam penelitian ini mencerminkan semacam angan-angan, atau keyakinan sesuatu selain manusia akan memecahkan masalah iklim (misalnya, teknologi atau Tuhan). Harapan palsu ini jelas berbahaya karena menurut temuan penelitian yang ada, orang-orang dengan harapan palsu cenderung kurang memiliki dukungan kebijakan dan niat yang lebih lemah untuk mengambil tindakan politik dalam mitigasi krisis iklim. Hal ini karena mereka memiliki niat atau kemauan yang minim untuk melakukan perubahan sekecil apapun dalam hidup mereka.
Baca Juga: Ekofeminisme: Perempuan dalam Pelestarian Lingkungan Hidup
Satu hal lain yang membuat isu krisis iklim belum menjadi sebuah isu mainstream adalah ada sebuah keraguan umum yang masih dimiliki banyak orang yang mengarah pada sikap skeptis. Keraguan umum ini, antara lain berkaitan dengan politik, pemikiran bahwa semuanya telah terlambat, dan kekhawatiran publik tidak mengetahui atau disesatkan oleh pihak tertentu. Keraguan ini bisa menjadi berbahaya jika pada akhirnya individu memutuskan untuk berserah diri dengan keadaan yang ada, namun dalam penelitian ini ditemukan bahwa kendati ada keraguan, keraguan dapat menjadi motor penggerak sikap dan niat pro-iklim untuk mengambil tindakan politik.
Perempuan sebagai Kelompok Rentan dan Bagaimana Kita Bisa Melakukan Perubahan
Dalam factsheet yang dipublikasikan UN Women di 2009, dinyatakan perempuan lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim daripada laki-laki. Sebanyak 80% orang yang terlantar akibat perubahan iklim adalah perempuan dan mereka merupakan mayoritas penduduk miskin dunia dan lebih bergantung pada mata pencaharian yang berhubungan langsung dengan sumber daya alam. Pada laporan WHO Gender, Climate Change, and Health (2014) dijelaskan, kerentanan perempuan tidak bersifat tunggal karena ada faktor biologis dan perbedaan peran dan tanggung jawab sosial yang mereka miliki.
Baca Juga: 5 Cara Bantu Selesaikan Masalah Krisis Iklim dari Rumah
Di Indonesia sendiri, krisis iklim meningkatkan angka perdagangan manusia di NTT. Dalam laporan Vice Indonesia yang baru saja terbit 27 September lalu ditemukan, sepanjang 2021 ini sudah ada 83 warga NTT pulang dalam peti mati karena terjebak penyalur TKI ilegal. Kemarau berkepanjangan di NTT membuat lahan yang seharusnya jadi tumpuan hidup, ternyata tidak mampu memberikan penghasilan bagi warga setempat dan akhirnya memaksa banyak perempuan untuk bertaruh nasib apalagi bagi mereka yang hidup dalam garis kemiskinan.
Melihat dampak yang begitu mengerikan dari krisis iklim, lalu apa yang sebenarnya bisa kita lakukan dalam level individu dalam mengurangi dampaknya? Dalam wawancara bersama Magdalene (07/10), Verena Program Director dari Coaction Indonesia ada beberapa langkah kecil yang bisa lakukan untuk mengurangi dampak krisis iklim.
“Satu terkait dengan energi, bisa hemat listrik atau hemat energi, alat elektronik yang tidak terpakai dimatikan, dipastikan mati, jangan sampai kita matiin pake remot tapi masih ada lampu merah untuk indikator hidup karena itu sebenarnya masih menyerap sekitar 3 sampe 5% listrik.”
“Kalau kita ingin lebih self conscious lagi, kita dukung produk yang misalnya berasal dari hutan dikelola dengan baik. Kaya sekarang ada tuh sertifikat Forest Stewardship Council baik dalam bentuk kertas, produk kayu, furniture, pensil, pensil warna sampai minyak goreng pun ada yang sampe pake sertifikat Responsible Sustainable Palm Oil. Bahkan kita pake karton susu uda ada labelnya yang berbasis kertas ada sertifikat Forest Stewardship Council.”
“Pakai transportasi publik karena emisinya dibagi dengan banyak orang kan, kontribusi kita pada emisi jadi rendah. Dari limbah kita bisa bawa tas belanja sendiri dari rumah, kalau kita suka belanja di ecommerce, kita minta opsi ‘plastiknya jangan banyak-banyak, enggak usah pake bubble wrap ya cukup pake koran bekas yang diremas-remas saja, enggak usah pakai sendok garpu ya di rumah udah ada’ kaya gitu.”
Tidak lupa, Verena mengungkapkan, menghabiskan makanan organik kita tanpa sisa juga merupakan langkah kecil dan penting dalam mengurangi dampak krisis iklim. Pasalnya, sampah organik yang menumpuk akan menimbulkan penyakit dan sebenarnya juga menghasilkan gas metana yang tinggi dengan emisi yang lebih besar dari emisi karbon.