People We Love

Kak Lily, Warisan Ruang Aman, dan Perjuangan Melawan Dominasi: Sebuah Obituari

Kepergian Lily Yulianti Farid membawa duka besar buat dunia literasi dan kebudayaan kita.

Avatar
  • March 10, 2023
  • 4 min read
  • 1384 Views
Kak Lily, Warisan Ruang Aman, dan Perjuangan Melawan Dominasi: Sebuah Obituari

“Lily sudah tiada. Innalillahi wainnailaihi rajiun. Dia berangkat dengan tenang. Didampingi saya dan Fawwaz. Pukul 1 pagi hari Jumat 10 Maret 2023. Di Rumah Sakit Peter MacCallum Cancer Centre di Melbourne,” tulis Farid Ma’ruf Ibrahim, mengabarkan kepergian istrinya, Lily Yulianti Ibrahim, seorang penulis, peneliti, aktivis literasi, dan pendiri Makassar International Writers Festival.

Baca juga: Prof Azyumardi Azra, Intelektual Islam Jadi ‘Sir’ Pertama dari Indonesia

 

 

Kabar itu mengejutkan banyak orang. Lily Yulianti Farid memang tengah sakit, melawan kanker ovarium. Namun, dari postingan terakhirnya di Instagram hampir sebulan sebelum kepergiannya, Lily masih tampak semangat dan bahagia menyambut proyek penelitian terbarunya, sebuah film dokumenter tentang hubungan suku Aborigin di Australia dan Makassar.

“Dia pergi, meninggalkan saya dan sahabatnya yang lain. Begitu Cepat,” tulis Aan Mansyur, penulis kenamaan asal Makassar yang adalah sahabat Lily.

Di Instagramnya, Aan mengenang Lily sebagai sahabat baik dengan mimpi yang sama. Mereka telah berkawan sejak Lily masih tinggal di Tokyo, delapan belas tahun lalu. “Kami memiliki sejumlah mimpi yang sama. Namun, baginya, harapan adalah sesuatu yang harus terus secara aktif dikerjakan,” tulis Aan, mengenang Lilly.

Baca juga: Sepotong Sore Dekat Iduladha Bersama Shinta Ratri

Di Makassar, nama Lily memang besar dan harum karena kontribusinya di dunia literasi. Terutama setelah pada 2011 lalu, ia mendirikan Makassar International Writers Festival (MIWF). Di sana, ia merawat literasi dan komunitas penulis Timur. Mereka sering mengangkat dan mengkritisi ketimpangan di dunia literasi Indonesia yang masih bias Jawa-sentris.

Dedikasi dan Kecintaan pada Dunia Literasi

Tak cuma MIWF, bersama sutradara Riri Riza, Lily juga mendirikan Rumata Artspace, sebuah rumah budaya yang dikelola dengan sebagian besar pendanaan publik. Di sana mereka juga punya South East Asian Screen Academy (SEAscreen), yang jadi tempat pelatihan dan pengembangan pembuat film di Makassar, merawat bahasa ibu Sulawesi Selatan lewat BASAsulsel, dan merawat narasi lokal yang terpinggirkan di konteks nasional lewat Bacarita Digital.

Lily—yang akrab dipanggil Kak Lily oleh kawan-kawan terdekatnya—memulai karier sebagai jurnalis di Kompas pada 1995. Ia lalu melanjutkan karier di Australian Broadcasting Corporation (Radio Australia dan Online News, Indonesian Service), Japan Broadcasting Corporation, dan Morning Daily Kompas.

Ketertarikan pada isu-isu gender, membuat Lily meneruskan pendidikan S2 di Gender and Development Studies. Dan meneruskan pendidikan doktoralnya di bidang Gender dan Media di Melbourne, Australia.

Lily juga dikenal sebagai penulis karya fiksi yang mengangkat kisah hidup perempuan-perempuan di Makassar. Makkunrai dan 10 Kisah Perempuan Lainnya (2008) jadi kumpulan cerpen pertama Lily yang diterbitkan. Setelah itu, ia menulis Family Room (2010) dan Ayahmu Bulan, Engkau Matahari: Sebuah Kumpulan Cerpen (2012).

Penulis dan akademisi Intan Paramaditha mengenang Lily sebagai “Partner in crime” dalam mendobrak patriarki di dunia literasi Indonesia. Mereka pertama kali bertemu pada 2016, saat Intan baru pindah dari Amerika ke Australia. Bersama-sama, keduanya menginisiasi PERIOD, sebuah kelas menulis dan diskusi. Tujuannya untuk mempromosikan pikiran kritis dan kerja-kerja perempuan, penulis dari Timur Indonesia, dan suara-suara non-dominan.

“Mimpi kami sama: membuat lebih banyak lagi ruang seni dan budaya buat feminis, keragaman, dan non-Jawasentris,” tulis Intan di Instagramnya, mengenang sang sahabat.

Baca juga: Obrolan Candid dengan Gina S. Noer, Sutradara ‘Like & Share’: “I Walk the Talk”

Beberapa program PERIOD dibawakan Lily dan Intan di MIWF. Lily juga beberapa kali diajak Intan menyumbangkan pikirannya di Sekolah Pemikiran Perempuan, sebuah ruang aman kritis lain yang digagas Intan dan sejumlah perempuan penulis serta akademisi.

Saat mendapat kabar kepergian Lily, Intan tengah bersiap untuk mengajar. Hari itu, kelasnya akan membahas gender, road movies, dan Thelma and Louise (1991), sebuah film feminis tentang pertemanan perempuan. Intan tak bisa menahan tangis di tengah kelas.

“Kak Ly, terima kasih atas campur tangan feminismu dan MIWF sebagai warisanmu. Seperti Thelma dan Louise, kau akan “terus ada”. Perempuan-perempuan yang menyediakan ruang buat yang lain, seperti Toeti Heraty, sedang menunggu untuk merayakan hidupmu yang begitu berarti,” tutup Intan.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aulia Adam

Aulia Adam adalah penulis, editor, produser yang terlibat jurnalisme sejak 2013. Ia menggemari pemikiran Ursula Kroeber Le Guin, Angela Davis, Zoe Baker, dan Intan Paramaditha.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *