March 22, 2023
People We Love

Sepotong Sore Dekat Iduladha Bersama Shinta Ratri

Dari Bu Shinta, saya belajar banyak tentang kasih dan pekerjaan perawatan.

Aulia Adam
  • February 10, 2023
  • 4 min read
  • 363 Views
Sepotong Sore Dekat Iduladha Bersama Shinta Ratri

Siang itu panas betul, tapi Shinta Ratri dan beberapa santri di Pesantren Al Fatah tampak tak terganggu. Mereka sedang membersihkan halaman pesantren itu. Ada yang menyapu, mengecat gazebo, mencangkul tanah di belakang gazebo, dan membersihkan kamar mandi.

“Sebentar ya, Mas. Kita lagi bersih-bersih dulu,” kata Bu Shinta pada saya. Di tangannya ada sapu lidi. “Udah mau dekat Iduladha, jadi kita beres-beres. Tradisinya di sini begitu,” tambahnya.

Saya cuma senyum sambil manut-manut, sungkan mengganggu jadwal beliau. Tapi, sebetulnya kami—saya dan Emily Johnson, seorang rekan jurnalis dari New York—datang lebih cepat setengah jam dari janji temu yang sudah disepakati dengan Bu Shinta. Pertemuan itu tidak terjadi tiba-tiba, dia memang sedang menunggu kami.

Saya dan Emily sedang bikin liputan tentang tantangan menjadi religius buat orang-orang LGBTQ di Indonesia. Untuk tema ini, nama Shinta Ratri tak mungkin luput dari daftar narasumber kami. Ia dan pesantren yang dibikinnya, di titik itu, bukan cuma sudah jadi kepala berita nasional, tapi juga internasional. Sebulan sebelum kami bertemu, Shinta bahkan dianugerahi penghargaan dari Front Line Defenders dan Kedutaan Besar Irlandia karena dianggap tokoh pejuang pembela HAM dunia.

Baca juga: Ruang Iman buat Transgender: Bisa Picu Diskriminasi, Sekaligus Sumber Kekuatan

“Mereka pilih satu orang tiap benua, kebetulan nama saya masuk,” katanya, rendah hati.

Perjuangan Shinta bukan cerita satu malam. Ia mulai memulai Pondok Pesantren Al Fatah pada 2008. Bersama dua rekannya, ia sudah lama bercita-cita ingin bikin tempat aman buat rekan-rekan transgender. “Kalau bukan dari kita sendiri, rasanya memang susah sekali,” kata Shinta.

Ia menyadari ketimpangan nasib yang diterima kelompok LGBT sejak remaja. Shinta yang diterima baik oleh ibu dan keluarganya merasa lebih beruntung daripada kebanyakan kawan transgender yang ia lihat di jalan. “Kalau tidak ngamen, nyalon, ya mereka biasanya pekerja seks. Dulu saya pikir kenapa bisa gitu? Kuncinya, menurut saya, di keluarga.

“Keluarga itu enggak mungkin tidak sadar ada yang beda pada anaknya sejak kecil. Cuma yang diajarkan ke mereka (orangtua) sering kali untuk menyembuhkan. Karena enggak ada yang ngasih tahu kalau itu bukan penyakit,” jelas Shinta.

Baca juga: Amar Alfikar Bicara Hak Beragama Transgender: ‘Islam Tak Lihat Fisikmu’

Tantangan itu makin besar dirasakannya, karena konsep menjadi religius dan LGBTQ bukan sesuatu yang akrab buat kebanyakan orang Indonesia. Penyebabnya ada dua, kata Shinta. Pertama ialah pendidikan tentang gender yang masih minim dan tabu di Indonesia sehingga menyebabkan yang kedua, yaitu angka persekusi terhadap kelompok rentan ini terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. “Kan masih banyak yang belum paham bahwa (menjadi LGBT) ini given, bukan penyakit. Buat mereka ini tuh penyakit, maka kita harus lebih sabar untuk menjelaskannya,” tambahnya.

Di pondok pesantren yang dibangunnya, Shinta menerima kawan transgender dan LGBT lain untuk ikut pengajian. Ada wadah untuk lebih dekat dengan agama. “Beragama itu bukan cuma haknya yang heteroseksual tapi haknya semua orang,” kata Shinta.

Merawat Komunitas, Menjaga Kasih

Hari itu saya juga bertemu Erny, waria paruh baya kelahiran Jawa Barat, yang sudah lama pindah dan tinggal di Yogyakarta. Sejak kecil, Erny diusir keluarga dan bertahan hidup di jalanan sebagai pengamen dan pekerja seks komersial. Memilih jadi diri sendiri rupanya bikin hidup Erny penuh risiko.

Sekolahnya tak tamat. Ini membuat ia tak punya pilihan soal pekerjaan, persis seperti yang diceritakan Shinta. Bergabung di pondok pesantren Shinta bikin Erny punya tenaga demi menjalani hidup serba sulit. “Saya merasa lebih diterima di sini. Bisa belajar agama juga,” katanya.

Pendirian pesantren ini juga adalah salah satu upayanya untuk menghilangkan stigma dan diskriminasi pada transgender di masyarakat. Shinta juga menyadari bahwa kebutuhan teman-teman transgender untuk hidup layak dan dianggap manusia jarang diperhatikan. Baginya, jika bukan diri sendiri yang bersolidaritas pada komunitas, perjuangan itu akan terasa lebih sulit.

Meski Shinta dan para santrinya hanya ingin belajar agama dengan tenang di pesantrennya, ia tetap harus menghadapi persekusi dari ormas keagamaan yang tak terima kehadiran mereka pada 2016 lalu. Orang-orang anti-inklusivitas itu ingin pesantrennya ditutup penuh.

Namun, hal itu tak membuat Shinta berhenti. Setelah beberapa bulan mengumpulkan kembali para santri, akhirnya mereka memberanikan diri untuk membuka kembali pesantren Al Fatah.


Editor:  Aulia Adam
Aulia Adam
About Author

Aulia Adam

Aulia Adam adalah penulis, editor, produser yang terlibat jurnalisme sejak 2013. Ia menggemari pemikiran Ursula Kroeber Le Guin, Angela Davis, Zoe Baker, dan Intan Paramadhita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *