People We Love

Sepotong Sore Dekat Idul Adha Bersama Shinta Ratri

Di pondok pesantren yang dibangunnya, Shinta menerima kawan transgender dan LGBT lain untuk ikut pengajian.

Avatar
  • February 6, 2023
  • 3 min read
  • 946 Views
Sepotong Sore Dekat Idul Adha Bersama Shinta Ratri

Siang itu panas betul, tapi Shinta Ratri dan beberapa santri di Pesantren Al Fatah tampak tak terganggu. Mereka sedang membersihkan halaman pesantren itu. Ada yang menyapu, mengecat gazebo, mencangkul tanah di belakang gazebo, dan membersihkan kamar mandi.

Baca juga: Prof Azyumardi Azra, Intelektual Islam Jadi ‘Sir’ Pertama dari Indonesia

 

 

“Sebentar ya, Mas. Kita lagi bersih-bersih dulu,” kata Bu Shinta pada saya. Di tangannya ada sapu lidi. “Udah mau dekat Iduladha, jadi kita beres-beres. Tradisinya di sini begitu,” tambahnya.

Saya cuma senyum sambil manut-manut, sungkan mengganggu jadwal beliau. Tapi, sebetulnya kami—saya dan Emily Johnson, seorang rekan jurnalis dari New York—datang lebih cepat setengah jam dari janji temu yang sudah disepakati dengan Bu Shinta. Pertemuan itu tidak terjadi tiba-tiba, dia memang sedang menunggu kami.

Saya dan Emily sedang bikin liputan tentang tantangan menjadi religius buat orang-orang LGBTQ di Indonesia. Untuk tema ini, nama Shinta Ratri tak mungkin luput dari daftar narasumber kami. Ia dan pesantren yang dibikinnya, di titik itu, bukan cuma sudah jadi kepala berita nasional, tapi juga internasional. Sebulan sebelum kami bertemu, Shinta bahkan dianugerahi penghargaan dari Front Line Defenders dan Kedutaan Besar Irlandia karena dianggap tokoh pejuang pembela HAM dunia.

Baca juga: Sepotong Sore Dekat Iduladha Bersama Shinta Ratri

“Mereka pilih satu orang tiap benua, kebetulan nama saya masuk,” katanya, rendah hati.

Ia menyadari ketimpangan nasib yang diterima kelompok LGBT sejak remaja. Shinta yang diterima baik oleh ibu dan keluarganya merasa lebih beruntung daripada kebanyakan kawan transgender yang ia lihat di jalan. “Kalau tidak ngamen, nyalon, ya mereka biasanya pekerja seks. Dulu saya pikir kenapa bisa gitu? Kuncinya, menurut saya, di keluarga.” “Keluarga itu enggak mungkin tidak sadar ada yang beda pada anaknya sejak kecil. Cuma yang diajarkan ke mereka (orangtua) sering kali untuk menyembuhkan. Karena enggak ada yang ngasih tahu kalau itu bukan penyakit,” jelas Shinta.

Pertama ialah pendidikan tentang gender yang masih minim dan tabu di Indonesia sehingga menyebabkan yang kedua, yaitu angka persekusi terhadap kelompok rentan ini terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. “Kan masih banyak yang belum paham bahwa (menjadi LGBT) ini given, bukan penyakit. Buat mereka ini tuh penyakit, maka kita harus lebih sabar untuk menjelaskannya,” kata Shinta.

Di pondok pesantren yang dibangunnya, Shinta menerima kawan transgender dan LGBT lain untuk ikut pengajian. Ada wadah untuk lebih dekat dengan agama. “Beragama itu bukan cuma haknya yang heteroseksual tapi haknya semua orang,” kata Shinta.

Baca juga: Obrolan Candid dengan Gina S. Noer, Sutradara ‘Like & Share’: “I Walk the Talk”

waria paruh baya kelahiran Jawa Barat, yang sudah lama pindah dan tinggal di Yogyakarta. Sejak kecil, Erny diusir keluarga dan bertahan hidup di jalanan sebagai pengamen dan pekerja seks komersial. Memilih jadi diri sendiri rupanya bikin hidup Erny penuh risiko. Sekolahnya tak tamat. Ini membuat ia tak punya pilihan soal pekerjaan, persis seperti yang diceritakan Shinta. Bergabung di pondok pesantren Shinta bikin Erny punya tenaga demi menjalani hidup serba sulit. “Saya merasa lebih diterima di sini. Bisa belajar agama juga,” katanya.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aulia Adam

Aulia Adam adalah penulis, editor, produser yang terlibat jurnalisme sejak 2013. Ia menggemari pemikiran Ursula Kroeber Le Guin, Angela Davis, Zoe Baker, dan Intan Paramaditha.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *