Anak kecil itu setiap hari bertanya tentang ayahnya. “Kemana ayah pergi, Ibu?”
Namun, jawaban sang ibu tak memuaskannya. Ayah jarang di rumah, keberadaannya bahkan bisa dihitung dengan jari. Padahal ayah bukan karyawan yang setiap hari berangkat pagi dan pulang sore atau malam. Ayah bekerja serabutan.
Jika ayah di rumah, ia lebih sering sibuk dengan dirinya sendiri. Interaksi dengan anak kecil ini pun lebih singkat ketimbang durasi ayah di kamar mandi. Interaksi yang sedikit ini berbanding terbalik dengan kawan si anak yang setiap hari bertemu ayah, ngobrol, jalan-jalan bersama, diantar jemput sekolah.
Satu-satunya percakapan yang agak panjang terjadi saat ambil rapor. Si ayah berkata, “Lihat si A, kok dia peringkatnya bisa jauh di atasmu. Padahal dia hanya anak dari seorang penarik becak lho.”
Ingin sekali anak itu menjelaskan, si A hampir tiap hari bersama ayahnya. Saban pagi, ayahnya mengantar A ke sekolah. Setelah berpamitan dan mencium tangan, ayahnya akan mencium dan mengusap kepala A. Sambil tersenyum, ia bilang pada A, “Belajar yang baik ya, Nak.”
Ah, mengingat itu saja sudah bikin iri setengah mati.
Anak kecil itu adalah aku. Aku yang sampai sekarang masih mencari jawaban tentang keberadaan ayah yang jarang di rumah. Aku sendiri akhirnya jadi lebih dekat dengan ibu. Sosok yang membesarkan empat anak sekaligus, mengurus semua keperluan rumah termasuk ayah dari pagi hingga malam. Karena perannya yang besar, ibu jadi lebih sering sakit-sakitan.
Sementara ayah? Ayah bukan orang jahat. Ada hal baik juga, kok yang dilakukan selain berperan menyumbang sperma untuk membuahi sel telur ibu, yakni memberikan uang. Ketika aku sakit dan ingin memakan makanan yang sedikit mahal, ayah memberikannya tanpa mengeluh. Satu hal lagi, aku juga belajar keramahan dari ayah
Baca juga: 5 Cara Dobrak Stereotip Peran Gender dalam Keluarga
Pola Asuh Keliru, Salah Satu Penyebab Fatherless
Beberapa waktu lalu dalam seminar bertajuk “Peran Ayah dalam Proses Menurunkan Tingkat Fatherless Country Nomor 3 Terbanyak Di Dunia” di Universitas Sebelas Maret (UNS) disebutkan, Indonesia menempati posisi ketiga fatherless country.
Istilah ini dimaknai psikolog Amerika Edward Elmer Smith (2011) sebagai negara yang masyarakatnya cenderung tak merasakan keberadaan dan keterlibatan figur ayah dalam kehidupan anak, baik fisik maupun psikologis.
Artinya, ini tak mesti dialami oleh anak yatim, tapi juga mereka yang punya ayah tapi tidak atau kurang terlibat dalam pengasuhan–entah karena perceraian, atau ayah sibuk bekerja dan tak peduli urusan domestik. Peranan ini juga tak harus dilakukan oleh ayah biologis tapi bisa juga paman atau kakek sepanjang mereka hadir dan terlibat dalam pengasuhan.
Kisahku sendiri adalah contoh tepat yang mewakili fenomena fatherless. Sebagai keluarga nuklir, ada ayah, ibu dan saudara-saudara kandungku dalam satu rumah. Namun, beban ibu sangat timpang dengan ayah karena ibu tak cuma menyuapkan nasi tapi juga pengetahuan, sopan-santun, nasihat, dan pengajar hidup. Semua hal yang hampir-hampir tidak diberikan oleh ayah.
Ayah memang kerap menyuruhku salat, mengaji, dan beberapa perintah serupa lainnya. Akan tetapi, ayah tidak mendampingiku dalam mempelajari dan melakukan berbagai hal yang ia perintahkan. Ayah lebih memilih membiarkanku diajar oleh orang lain dari pada ia yang langsung mengajarkan itu.
Lalu belakangan kusadari, ini semua bukan sepenuhnya kesalahan ayah. Toh, ia juga dibesarkan dengan pola asuh yang sama denganku. Boleh jadi ia merupakan korban dari pola asuh yang tidak setara. Kakekku sendiri sebenarnya punya banyak waktu luang, tapi ia tersandera konstruksi patriarkal bahwa semua peran pengasuhan adalah tanggung jawab perempuan.
Celakanya, semua saudaraku menerapkan hal yang sama. Kami ditanamkan ajaran ayah adalah pencari nafkah utama. Sementara, perihal mengobrol, menemani, menyeka air mata, dan memeluk anak itu adalah sepenuhnya tugas ibu.
Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti yang dikutip dari Antara. Ia bilang, ada reduksi peran gender tradisional yang memosisikan ibu sebagai penanggung jawab urusan domestik dan ayah sebagai penanggung jawab urusan nafkah. Pemahaman ini sudah melekat dan menjadi bagian dari konstruksi sosial yang susah diubah. Padahal, bukankah tumbuh kembang anak sangat dipengaruhi oleh kehadiran kedua orang tuanya dalam pengasuhan?
Gara-gara pengalaman ini, setiap dengar kalimat populer yang mengatakan, cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya, aku cuma tersenyum kecut. Sebab, itu tidak berlaku kepadaku. Cinta pertamaku adalah ibu.
Baca juga: Berbagi Peran Domestik: Lebih Banyak Dibahas Daripada Dilakukan
Apa yang Bisa Dilakukan Anak?
Dalam buku “Humankind: A Hopeful History” karya Rutger Bregman (2019) dijelaskan, sebagian besar sejarah manusia menempatkan laki-laki dan perempuan setara. Hal ini jauh berbeda dengan stereotip manusia gua yang digambarkan sebagai gorila yang hobi memukul dada untuk menunjukkan maskulinitas, membawa pentungan, dan cepat marah. Sebaliknya, leluhur laki-laki justru lebih feminis.
Sebab, laki-laki di masyarakat baheula menghabiskan lebih banyak waktu bersama anak dibanding banyak ayah sekarang. Itu juga dibenarkan profesor Fisiologi dan Geografi Amerika Jared Diamond dalam bukunya berjudul “Collapse. How Societies Choose to Fail or Succeed” (2005).
Dari sini dapat ditarik kesimpulan, laki-laki sebenarnya tidak lahir sebagai makhluk yang super maskulin. Entah dari mana asal usul penggambaran laki-laki yang over-maskulin itu dihadirkan, dan untuk kepentingan siapa.
Dari buku-buku itu aku belajar, sebagai anak tanpa kehadiran “sosok” ayah, ada hal-hal yang harus aku lakukan. Pertama, menyadari pola asuh yang selama ini diterima merupakan sesuatu yang keliru. Jangan sampai ikut menormalisasi hal itu.
Baca juga: Peran Laki-laki dalam Isu Kesetaraan Gender
Terkait ini, anak perlu tahu, pembagian peran berbasis gender adalah hasil bentukan masyarakat. Baik laki-laki dan perempuan mesti terlibat dalam pengasuhan. Ayah bukan mesin pencari uang, dan ibu bukan sosok sempurna yang bisa mengurus semua sekaligus tanpa cela. Perempuan juga bisa bekerja di luar, sebaliknya ayah bisa bekerja di dalam rumah tangga. Nilai-nilai empati dan kasih sayang bukan tugas ibu yang menanamkannya, pun kemandirian, logika, dan keberanian bukanlah tugas ayah. Dua-duanya perlu bekerja sama menanamkan itu.
Kedua, konstruksi yang keliru tentang peran gender itu harus berhenti di kita. Berapa banyak orang tua yang karena tidak menyadari kekeliruan itu, akhirnya meneruskan pemahamannya kepada anak. Mata rantai ini perlu diputus, dan untuk memutusnya perlu kesadaran.
Sebagai anak yang menjadi korban dari fatherless, efek yang aku rasakan luar biasa. Aku bisa merasa kesepian, dunia tak adil, dan kekurangan kasih sayang. Dalam banyak kasus lain yang lebih fatal, fatherless juga bisa bikin anak susah konsentrasi, terhambat belajar di sekolah, kepercayaan diri yang rendah, hingga depresi yang parah.
Pada akhirnya, semoga tak ada lagi anak kecil seperti aku dulu yang selalu bertanya, “Kemana Ayah, kenapa jarang di rumah?” Sebab, ia merasa utuh, lengkap, dan disayangi secara penuh.
Ainun Jamilah adalah Founder Cadar Garis Lucu. Pegiat isu kebebasan berkeyakinan dan beragama (KBB), dan keadilan gender Islam ini merupakan alumni Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Alauddin Makassar. Ainun kerap membagikan agitasi-agitasi liarnya seputar agama dan hak-hak perempuan di akun Instagram pribadinya dengan nama @_haiininuun.