Menunggu Uni Pulang
Uni, kakakku tersayang itu mungkin takkan pernah pulang, tapi aku akan tetap menunggu sampai kapan pun.
Aku harus jujur. Kata Bundo, kejujuran membawa kebaikan. Aku harus jujur kalau bingung mesti menulis apa kala Bu Rani memberi tugas menceritakan pengalaman berkesan selama Ramadan. Aku bahkan bingung, apakah pengalaman pahit bisa disebut berkesan.
Akhirnya aku memutuskan menulis tentang hari-hariku di rumah nenek. Semua tampak tipikal awalnya: Kami menghabiskan waktu bersama keluarga besar. Abang dan uni yang kuliah di luar kota akan selalu pulang ke rumah. Uni Lili kuliah di Lampung. Uda Andre kuliah di Jakarta. Uni Egi kuliah di Medan.
Uni Egi adalah sosok yang paling dekat denganku. Setiap akhir Ramadan, ia rutin mengajakku dan sepupu ke pasar untuk makan martabak Mesir. Setelah itu kami menyewa CD film bajakan untuk ditonton di rumah nenek.
Baca juga: Kita yang Hidup dari Kata-kata
Rumah nenek sangat asri, meski itu cuma gonjong yang sudah tua. Karena nenek pintar merawat, rumah gonjong masih terlihat bagus dan rapi. Di halaman belakang ada bendi (delman) punya mendiang angguik (kakek. Red). Angguik memang dulunya adalah tukang bendi.
Sementara, di halaman depan rumah ada pohon pepaya, rambutan, belimbing, dan markisa. Mak Dang (panggilan untuk saudara lelaki tertua dari pihak ibu. Red) biasanya akan memetik buah siang-siang lalu dipotong untuk dibikin sup buah. Sebagai pelengkap, aku dan sepupu-sepupu bakal menambahkan potongan cincau. Setelah buka puasa, kami pergi ke surau dengan membawa lampu minyak untuk menerangi jalan. Abang dan uni biasanya ikut mengawasi dari belakang sambil cerita kisah horor.
Masalahnya, rutinitas itu berubah sejak kepulangan terakhir Uni Egi. Mak Dang tak tertarik memetik buah lagi. Sepupu-sepupu yang lain pun lebih banyak diam dan membiarkan cincau utuh. Aku kelimpungan mencari aktivitas lain. Tanpa sengaja, ada komik siksa kubur bersampul kuning merah, yang tergeletak di surau. Gambarnya menyeramkan, teksnya pun sarat ancaman.
Ada gambar perempuan yang disetrika punggungnya. Ada perempuan-perempuan berjejer dengan susunya yang dikaitkan pakai rantai. Ada juga perempuan yang dipotong lidahnya. Buku itu aku letakkan di ruang tengah. Mak Dang mengambil buku tersebut dan melemparnya ke Uni Egi.
Baca juga: Menjadi Aku
Perempuan itu diam saja. Mak Dang bilang, “Baco lah tu!”
Setelah itu Mak Dang pergi ke kedai dekat surau, merokok dan menghabiskan malam main kartu koa. Aku sebetulnya tidak begitu senang dengan Mak Dang. Dia cuma di rumah, tidak punya pekerjaan. Namun, dia tetaplah mamak yang harus dihormati walau tidak berguna.
Uni Egi menangis untuk kali pertama. Untuk perempuan sekuat dia, yang pernah jatuh ke sawah saat naik motor, kecelakaan saat diminta angkut galon, sungguh aku tak percaya dia bisa menangis seperti itu.
Apakah memang komik siksa neraka seseram itu? Kenapa Mak Dang marah-marah? Kenapa tidak ada lagi buah manis untuk dipetik? Kenapa tidak ada cincau dan tidak ada lagi lari-larian ke surau sambil tertawa? Kenapa semua sepupu mengucilkan Uni Egi?
Saat malam takbiran, Mak Dang menyuruh aku dan sepupu berangkat ke surau lebih awal dari biasanya. Sebenarnya aku tidak mau ke surau cepat-cepat. Biasanya banyak anak nakal main petasan. Baru mendekati waktu salat Isya, mereka berhenti main. Lagipula, Uni Egi belum mengajakku ke pasar membeli martabak Mesir dan rental kaset film keluarga di Ultra Disc.
Aku kesal sebenarnya, tapi siapa yang bisa membantah perintah Mak Dang? Aku dan sepupu-sepupuku bergegas ke surau. Aku mengambil kain sarung, peci, dan Alquran. Tidak lupa minta uang sedekah ke Bundo. Tapi kali itu Bundo bilang, “Doakan Uni Egi, niekkan sadakah ko untuak uni wak yo, Nak”. Aku bingung. Memang ada apa dengan Uni Egi? Kenapa dia perlu didoakan, ya?
Sepulang malam takbiran, Uni Lili mengajak kami d rumah Inyiak Angah. Kata Uni Lili, kami akan menginap di sana karena kasihan anak-anak Inyiak Angah yang di Jakarta masih belum pulang kampung. Besok pagi, datanglah waktu melaksanakan salat Idulfitri.
Aku dan sepupu-sepupuku bergegas mengantri mandi di pancuran. Airnya dingin sekali dan membuat bibirku membeku. Tapi karena hari itu hari raya, pasti cuaca akan cerah terik. Aku bahagia sekali. Setelah mandi, aku dan sepupu yang lain berlari ke rumah nenek. Sampai di rumah, aku heran karena Uni Egi sudah tidak ada. Mak Dang bilang, “Uni ang mens, inyo sadang bali Softex.” Sedang beli pembalut katanya. Itu berarti aku tidak perlu menunggu Uni Egi untuk berangkat salat raya.
Baca juga: Perempuan yang Melahirkan Matahari
Sepulang salat, kami pulang ke rumah untuk menyantap lontong gulai. Aku masih belum melihat Uni Egi. Aku tidak mencarinya karena keasyikan makan. Setelah kenyang, aku dan sepupu pergi manambang ke rumah-rumah saudara yang lain. Yang paling aku suka dari manambang adalah makan kue raya. Ada kue mentega, kue bawang, kacang tojin, dan jeli warna-warni yang dilapisi gula tepung. Jeli warna-warni ini tidak selalu ada di rumah-rumah. Mungkin karena harganya cukup mahal. Aku dan Uni Egi suka diam-diam menghabiskan jeli ini.
Sepulang dari menambang, aku masih belum melihat Uni Egi. Akhirnya aku bertanya kemana Uni Egi pergi. Bundo bilang kalau Uni Egi terpaksa kembali ke Medan karena ada urusan kuliah. Saat masuk ke kamar tidur Uni Egi, aku tidak melihat koper dan tas punggungnya lagi. Namun, ada satu baju kaosnya yang tertinggal. Di bagian lengannya seperti dirobek.
Mendadak, tapal kuda yang biasanya menggantung di pintu kamar nenek jatuh. Di lantai dekat kolong kasur, ada pecut bendi punya angguik.
Aku tidak percaya Uni Egi pergi ke Medan. Aku tidak tahu apa yang terjadi tapi aku takut tidak bertemu Uni Egi lagi. Aku akan menunggu Uni sampai kapan pun.