Cerpen/Puisi Prose & Poem

Menjadi Aku

Menjadi aku artinya mengeja cinta yang seribu satu bentuknya. Tak mesti mencintai lelaki atau perempuan saja.

Avatar
  • June 22, 2023
  • 5 min read
  • 1951 Views
Menjadi Aku

Orang sering bertanya bagaimana rasanya menjadi aku. Sebagian lainnya minta tips bagaimana cara menjadi aku. Aku memiringkan kepala, heran.

Mari aku ceritakan kepadamu tentang cara menjadi aku. Menjadi aku adalah menjadi cinta yang banyak bentuknya. Menjadi petang di antara siang dan malam, menjadi abu-abu di antara putih dan hitam, menjadi ungu di antara merah muda dan biru.

 

 

Dor! 

Hatiku sangat kacau. Ingatanku meletus.

Ingatanku melambung ke masa ketika cinta adalah sesuatu yang sederhana: Manusia. Mataku bersemayam dalam paras rupawan laki-laki dan perempuan yang lewat. Mereka singgah di hatiku, mendarat di bibirku, selamanya di pikiranku. Menjadi aku adalah menjadi pintu yang dibuka lebar-lebar untuk cinta yang tak punya penawar.

“Kamu pilih yang mana?” tanya mereka.

“Aku pilih yang aku cinta,” jawabku tegas seperti biasa.

Jari jemari tidak lagi bisa mengerti. Mereka sibuk memberikanku nama, mendorongku masuk pada kotak-kotak yang sempit.

“Sepertinya kamu hanya suka dengan lelaki,” kata mereka. Aku menggeleng. 

“Sudah, kamu dengan perempuan sepenuhnya saja,” ajak mereka lagi. Aku kembali menggeleng.

“Cintaku punya namanya sendiri,” jawabku.

Baca juga: Membunuh Kekasih

Menjadi aku adalah menjadi warna yang begitu melimpah. Menjadi aku artinya mengeja cinta yang seribu satu bentuknya. Menjadi aku berarti menjadi cinta yang ruah, yang ingat mengeja nama, tanpa bertanya apa yang ada di balik celana. Menjadi aku bukan menjadi candu nafsu, melainkan pemuja dalam sempurna ciptaan-Nya. Sesempurna napas yang kuhela saat nama-nama yang lekat diucap. Sesempurna rasa terima kasih yang buncah karena bersedia singgah.

Menjadi aku bukan menjadi dua, melainkan jamak, menjadi semua. Menjadi aku berarti menjadi pagar yang didobrak, jarak yang terhentak, batas yang kabur, peluk hangat bagi setiap jiwa yang harap.

Aku jatuh cinta pada nama yang lewat di telinga, juga cerita yang dituturkan dalam malam jelaga, mata yang sibuk membaca, tangan yang asyik menulis, bibir yang banyak  tersenyum, dan mata yang tiba-tiba mengaliri air.

“Aku bukan salah satu di antara keduanya, namun justru aku keduanya,” kataku.

Orang-orang sibuk bertanya, karena aku tak juga memberi nama. Padahal sudah kubisikkan pada mereka nama-nama yang pernah aku cinta, dan tengah aku suka. Tapi mereka selalu bertanya setengah mendesak, “Mana yang lebih kamu suka, laki-laki atau perempuan?”

“Mengapa atau, bukan dan?” jawabku sembari tersenyum. Tatap mereka menjadi asing, isi kepala dipenuhi keliaran yang bahkan tidak aku bayangkan. Cinta tidak pernah harus menjadi setengah-setengah, 50:50, bukan kalkulasi Matematika, namun selalu sempurna. 

“Mana yang lebih menyenangkan, bersama laki-laki atau perempuan?” tanya mereka dalam keingintahuan. 

Aku tertawa dan berkata, “Tergantung siapa yang tengah aku cinta.”

Baca juga: (Bukan) Rumah untuk Semua (1)

Misuh-misuh terdengar dari jauh. Mengatakan bahwa aku ingin menelan seisi dunia dengan bibirku. Mengapa aku masih harus memilih, saat degupku saja tidak sekali pun mencari celah untuk bertanya, “Kamu laki-laki atau perempuan? Kamu heteroseksual atau lesbian?”

“Kamu jadi laki-laki atau perempuan?” cecar mereka tak habis. Aku mulai jengah.

“Aku hanya menjadi aku, seperti yang lain hanya menjadi dirinya sendiri. Aku mencintai orang yang menjadi dirinya sendiri,” jawabku

“Sejak kapan?” tanya mereka dalam raut wajah yang serius.

“Sejak sebelum aku lahir,” candaku.

Mereka marah karena tak kunjung mendapatkan jawaban. Wajah-wajah lembut kini berubah dalam taring yang mencabik, “Kamu seperti tidak berpendirian.”

Aku terdiam. Kutatap lagi gambar wajah-wajah yang pernah mengisi hati. Aku mencintai kumis tipis yang menghiasi wajah, juga kerut di ujung mata yang sipit, tawa renyah dari gigi yang rapi, halusnya rambut yang tergerai panjang, bibir yang tengah bersenandung, peluk hangat dari tubuh yang berdiri tegak, tatap dari balik mata yang lentik, dan tepukan ringan dari tubuh yang kekar.

Aku menarik napas. Menjadi aku adalah merupa matahari yang tidak bertanya siapa yang disinari. Hanya menjadi. Menjadi aku adalah menjadi bias warna pelangi. Menjadi aku seharusnya cukup. Hatiku penuh dengan cinta yang bisa aku bagi. Petak-petak yang kujalin dalam kasih yang terpaut. Cerita yang tidak perlu kututupi. 

“Mungkin kamu bingung, atau mungkin itu hanya sementara,” cela mereka. 

Suara-suara mulai bising. Mata-mata mereka seperti kawat yang menggores dan kata-kata berubah menjadi setajam pisau.

Baca juga: Parasit di Inang Muda

Kamu mau semuanya, rakus! Apakah artinya kamu menyukai lebah? Kamu tidak bisa setia, kamu pasti akan meninggalkanku dan menikah dengan laki-laki. Sainganku terlalu banyak, aku harus selalu waspada. Kamu ingin keduanya kan, apakah artinya kamu bisa bercinta dengan aku dan dia sekaligus? Kalau begini terus, kita tidak bisa terus bersama, kamu harus memilih menjadi apa. Aku tidak mungkin mengatakan bahwa kamu bisa menyukai siapa saja kepada teman-temanku, itu membuatku bingung dan malu. 

Dasar plin-plan, kamu cuma ingin bersenang-senang saja, kan? Bukannya kemarin itu, pacarmu laki-laki ya? Hanya fase, nanti juga kembali lagi. Bagaimana rasanya bercinta dengannya, jika kamu denganku, pasti kamu bisa selamanya menyukai laki-laki saja! Siapa lagi pacarmu kali ini? Mana yang lebih kamu sukai, jujur saja! Kamu lebih banyak berkencan dengan laki-laki atau perempuan? Aku takut kamu mengambil kekasihku, kita tidak usah berteman lagi. Lelaki itu temanmu, atau kamu juga menyukainya? Perempuan itu, apakah kekasihmu juga? Apakah cintaku kurang, sehingga kamu masih mungkin untuk mencintai orang lain lagi? Aku tidak bisa mengetahui kepada siapa aku harus cemburu, rasanya aku mencemburui seluruh dunia.

Aku menelan tanya yang tak habis setiap harinya. Aku hampir kehabisan napas menjawab tanya yang melaju seperti kereta cepat. Aku menatap diriku dalam bola-bola mata yang berjajar mencoba menenggelamkan. Namun, aku justru menemukan diriku, yang selalu utuh, selalu penuh. Aku tidak perlu menjadi orang lain, hanya perlu menjadi aku, sepertiku.

Aku mengambil napas yang panjang, mengisi penuh paru-paru dengan udara. Aku keluarkan kecup yang kuselipkan di balik saku kemeja. Aku lemparkan ke udara dan berkata, “Aku keduanya. Aku menjadi ungu di antara merah muda dan biru.”

Dor!!!

Hati mereka kacau. Kini pikiran mereka yang meletus.


Avatar
About Author

Ferena Debineva

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *