Culture Screen Raves Uncategorized

Yang Hangat dan yang Jauh dari ‘Heartstopper Season 2’

Seperti pelukan di sepertiga malam, musim kedua masih hangat dan penuh cinta.

Avatar
  • August 24, 2023
  • 4 min read
  • 1015 Views
Yang Hangat dan yang Jauh dari ‘Heartstopper Season 2’

Heartstopper tuh serial sci-fi,” kata salah satu kawan. Itu responnya setelah menonton musim pertama Heartstopper. Buat yang sudah menonton serial menggemaskan ini, komentar teman saya pasti terdengar aneh. Tak ada alien atau piring terbang dalam serial yang sukses besar itu. Ia adalah drama romcom yang bercerita tentang pertemuan Charlie Spring (Joe Locke) dan cowok paling green flag sedunia, Nick (Kit Connor).

Komentar kawan saya itu muncul karena menurutnya Heartstopper menggambarkan ksiah cinta remaja LGBTQ+ dengan terlalu lembut, hampir tanpa drama. Semua masalah mereka terselesaikan dengan baik. Hampir semua respons keluarga karakter LGBTQ+ ditampilkan penuh cinta—sesuatu yang hampir jarang hadir di kebanyakan tontonan bertema serupa. Penggambaran karakter LGBTQ+ yang menderita terlalu banyak, sampai-sampai kebahagiaan mereka terasa asing seperti melihat alien makan siang di warteg Bahari.

 

 

Buat saya, musim kedua Heartstopper masih terasa demikian. Bahkan, mungkin lebih “alien” dari musim sebelumnya. Bisa jadi karena situasi di sekitar saya—kita?—masih belum banyak berubah. Tapi, satu yang pasti, musim kedua ini masih terasa hangat, seperti sebuah pelukan yang bikin tidurmu nyenyak.

Tema seksualitas, identitas gender, dan eksplorasi identitas masih mendominasi plot cerita. Urusan-urusan ini menjadi semakin serius dan asyik untuk ditonton karena karakter-karakter utamanya yang masih remaja.

Baca Juga: Menonton Luasnya Spektrum Seksualitas lewat Geng ‘Heartstopper’

Bagaimana rasanya mengaku jatuh cinta kepada teman sendiri? Apa yang terjadi kalau ternyata ekspektasi kita tidak sesuai dengan realitas? Bagaimana caranya menghadapi trauma? Bagaimana kalau kita tidak merasakan apa-apa saat orang yang kita suka mencium kita? Semua masalah ini dibahas dalam musim kedua Heartstopper dengan baik.

Mengambil setting satu bulan setelah Charlie dan Nick jadian, Heartstopper mengingatkan kita betapa magisnya masa-masa awal pacaran. Bersiaplah menyiapkan camilan (atau tisu, tergantung state of mind atau perasaan hati kamu saat menyaksikan ini) untuk melihat bagaimana Charlie dan Nick tenggelam dalam cinta mereka. Bagaimana rasanya berciuman sembunyi-sembunyi, mencuri lihat saat berduaan atau bersentuhan.

Masalah Nick yang ragu-ragu untuk coming out sebagai biseksual menjadi highlight momen-momen awal ini.

Saat Nick dan Charlie menggunakan semua waktu mereka untuk pacaran,Tao Xu (William Gao) memutuskan untuk menyatakan perasaannya pada sang sahabat, Elle (Yasmin Finney). Kalau musim pertama adalah pondasi tentang perasaan Tao ke Elle yang susah dibilang tidak kentara, musim kedua adalah tentang Tao menunjukkan perasaannya. Maju-mundur hubungan mereka jadi menarik, apalagi setelah penonton dibawa ke Paris untuk melihat progres langsung hubungan mereka berdua.

Heartstopper sebenarnya tidak butuh konflik yang menghebohkan karena bagian yang paling radikal dari serial ini ada di sekujur tontonan: kisah cinta LGBTQ+ yang hangat dan menenangkan hati.

Topik coming out tentu saja sudah menjadi bahan eksploitasi hampir semua film bertemakan LGBTQ+ yang pernah ada. Dalam Heartstopper musim pertama, kita dikejutkan dengan respons Sarah (Olivia Colman), ibu Nick yang begitu santuy. Respons Sarah adalah salah satu sajian utama Heartstopper musim pertama.

Di musim keduanya, kita diajak untuk melihat respons bapak dan kakak Nick, David (Jack Barton). Heartstopper mungkin bukan The Bear yang sanggup menghadirkan acara makan malam setegang film Michael Bay. Tapi bahkan dengan kelembutan dan treatment adegan yang “sederhana”, Heartstopper berhasil mencabik-cabik perasaan saya.

Baca Juga: ‘Heartstopper Season 2’, Isu ‘Coming Out’, dan Pelajaran dari Isaac

Adegan Seksual yang Jauh dari Hidup Remaja Heartstopper

Satu hal yang bikin pernyataan teman saya tentang Heartstopper yang “alien”, adalah penggambarannya soal intimasi.

Heartstopper memang bukan Gossip Girl, Riverdale, Euphoria, atau Elite yang tak sungkan menunjukkan kedekatan para karakter remajanya dengan seks. Heartstopper mungkin tidak malu-malu untuk menggambarkan karakternya yang sedang jatuh cinta dengan kontak bibir, alias ciuman. Tapi serial ini memang tidak menayangkan aktivitas seksual, selain ciuman, sebanyak film atau serial satu genrenya. Perbandingan itu bahkan jauh sekali jika kamu menonton Sex Education. Seolah-olah, para pembuatnya ingin tegas membicarakan banyak hal tentang seksualitas tanpa melibatkan seks sebagai tontonan.

Dalam musim kedua ini, subplot tentang Issac yang adalah aseksual aromantis memang jadi salah satu tema penting. Banyak orang di luar komunitas LGBTQ+ (dan sebagian LGBTQ+ sendiri) akan belajar banyak tentang aseksualitas sebagai salah satu spektrum seksualitas.

Baca juga: Tak Ada Tempat Aman Perempuan di Dunia Ini Kecuali Kuburnya

Tema itu seolah terjalin dalam jalan cerita karakter-karakter lain. Termasuk Nick dan Charlie, yang di salah satu episode sempat berkompromi untuk tidak melakukan seks dulu, sampai nanti mereka siap. Saya sempat berpikir plot ini tidak masuk akal. Remaja macam apa yang tidak memikirkan seks setiap saat? Apalagi ketika mereka sekamar dengan pacar?

Namun, bias sebagai non-aseksual itu mungkin muncul dari tontonan-tontonan yang kita konsumsi tentang penggambaran remaja dan seks. Buat saya, Heartstopper tetap tontonan yang hangat. Para aktor berhasil bermain dengan sangat baik. Saya percaya 100 persen dengan apa yang mereka rasakan.

It is nice to feel loved, meskipun rasanya seperti angan-angan.

Heartstopper dapat disaksikan di Netflix



#waveforequality


Avatar
About Author

Candra Aditya

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *