Screen Raves

Menonton Luasnya Spektrum Seksualitas lewat Geng ‘Heartstopper’

Terbalik dari judulnya, serial ini justru bikin jantung berdebar lebih kencang dan berpotensi kasih efek senyum-senyum sendiri.

Avatar
  • April 28, 2022
  • 10 min read
  • 1643 Views
Menonton Luasnya Spektrum Seksualitas lewat Geng ‘Heartstopper’

Hati-hati spoiler!

Dari webcomic populer, novel bergambar, lalu diadaptasi Netflix, perjalanan Heartstopper menemui penonton yang lebih luas tampaknya berjalan lancar. Seminggu setelah rilis, ia jadi kata kunci paling banyak dibicarakan di Twitter, merajai Variety Trending TV, dan dapat skor sempurna 100 persen di Rotten Tomatoes.

 

 

Buzzfeed, DigitalSpy, The Guardian, dan banyak media lain merayakannya sebagai tontonan “yang bikin hati hangat”. Para kritikus queer generasi lebih tua dari Charlie (Joe Locke) dan Nick (Kit Connor)—bintang utama serial ini—terharu karena akhirnya punya tontonan menggemaskan yang membingkai percintaan remaja queer dengan bijak, hati-hati, dalam, sekaligus hangat dan lucu. Sebuah tontonan yang sulit didapat di kanal-kanal arus utama buat generasi mereka.

“Kita menonton dua bocah laki-laki, 15 tahunan, pertama kali jatuh cinta. It’s beautiful to watch, tapi di saat bersamaan juga sulit, karena aku enggak pernah punya pengalaman serupa,” tulis Sam Cleal di Buzzfeed, jurnalis 29 tahun yang juga seorang queer.

Tontonan yang mengangkat cerita LGBTQ+ memang tak bisa dibilang barang langka lagi. Setidaknya, dua dekade terakhir produksinya terus meningkat. Ceritanya pun lebih beragam dan tak melulu stereotipikal. Namun, narasi-narasi yang muncul masih sering berputar pada karakter-karakter orang dewasa dan masalah mereka. Persentase paling besar masih diisi cerita-cerita yang mengangkat perjuangan LGBTQ+ di masa lalu:  Entah itu dalam format dokumenter, film biografi, atau yang diangkat dari kisah nyata.

Contohnya? Banyak. Ada Rocketman, Professor Marston and Wonder Woman, The Danish Girl, The Normal Heart, Pride, Pose, dan lainnya.

Di Indonesia sendiri, film-film bertema LGBTQ+ juga berfokus pada plot “betapa menderitanya” hidup sebagai minoritas. Narasi-narasinya ditujukan buat penonton dewasa, dan (amat) jarang sekali dibingkai bukan dengan perspektif heteronormatif.

Sayangnya, di antara semua tontonan dengan tema LGBTQ+ itu, cerita yang berpusat pada semesta remaja-remaja queer adalah yang paling sedikit. 

Baca Juga: Kepanikan Moral dan Persekusi atas Minoritas Seksual di Indonesia

Memang ada Glee, Elite, DeGrassi: Next Class, Skins, Love, Viktor, We Are Who We Are, Generation dan yang teranyar serta terpopuler, Euphoria. Namun, jumlahnya masih kurang. Film-film coming of age yang dibikin dan ditujukan buat remaja-remaja queer—yang sedang menavigasikan hidup menuju dewasa sekaligus mengeksplorasi seksualitasnya—masih minim sekali.

Fakta ini yang bikin Heartstopper disambut hangat. 

Kehadirannya bukan cuma menambah deretan tontonan gemas yang membingkai positif karakter-karakter remaja LGBTQ+, tapi juga membuka diskusi lebih luas tentang spektrum seksualitas. Lebih jauh dari itu, bagi remaja-remaja queer sendiri, serial ini bisa jadi cermin untuk berefleksi. Meminjam cerita karakter-karakternya untuk berdiskusi dengan diri sendiri dan masyarakat.

Tema-tema yang dibungkus dalam musim pertama Heartstopper memang bukan obrolan baru, tapi ia berhasil merekam joys and agonies yang hadir di hidup remaja: Fase ketika tiap teks bisa bikin mood naik-turun, dan jalan dengan gebetan adalah satu-satunya hal paling berharga di hidup kita.

Buat saya sendiri, yang paling menonjol dari Heartstopper adalah karakter-karakternya yang kuat dan relatable. Terutama mereka yang tergabung dalam Paris Squad (nama geng ini memang tidak disebut dalam serial, tapi sudah dikenal lama penggemar webcomic-nya). Secara garis besar, tema coming in dan coming out jadi benang merah pergulatan karakter-karakter ini. Namun, cara mereka mengalami dan menjalaninya amat berbeda. Pengalaman mereka masing-masing unik, tapi dekat sekaligus terkoneksi di saat bersamaan.

Berikut analisis karakter Paris Squad, dan bagaimana plot musim pertama Heartstopper merekam perjalanan mereka. 

Charlie Spring dan Masalah Self-Esteem pada Gay

Charlie adalah tokoh utama kita. Ia tipikal remaja kikuk dan overthinking. Di episode satu, kita langsung diperkenalkan pada Charlie yang trauma karena di-bully, setelah coming out (spoiler: dalam webcomic, Charlie di-outing salah satu sahabatnya).

Trauma itu menempel pada Charlie dan berefek buruk, terutama pada self-esteem-nya. Charlie diperkenalkan dalam serial sedang menjalin hubungan rahasia dengan Ben Hope, seniornya yang masih belum melela. Charlie tak keberatan dengan fakta itu, tapi cara Ben memperlakukannya bikin Charlie makin mempertanyakan nilai dirinya sendiri.

Beberapa kali Charlie sadar kalau ia harus keluar dari hubungan toksiknya dengan Ben. Namun, Ben yang manipulatif selalu bisa bikin Charlie berpikir dua kali tentang keputusannya. Perjalanan melawan self-esteem issue yang dia miliki jadi plot utama karakter Charlie.

Meski di satu titik, ia berhasil ke luar dari hubungan beracun dengan Ben, Charlie akhirnya bertemu masalah self-esteem ini lagi di hubungan berikutnya. Ia terbiasa menutupi perasaan sendiri, dan mementingkan orang lain. Tabiat itu selalu jadi respons otomatisnya ketika berhadapan dengan masalah. Mementingkan perasaan orang lain seolah-olah jadi mekanisme pertahanan Charlie untuk tidak dianggap sebagai “gangguan”. 

Sumber: IMDB

Perasaan selalu tak enak hati itu ada kaitannya dengan identitas Charlie sebagai queer.

Lingkungan sekitarnya yang belum sepenuhnya hadir suportif, bahkan cenderung masih mempertanyakan eksistensinya, bikin mekanisme pertahanan itu tumbuh dalam diri Charlie—sesuatu yang akrab dialami orang queer ketika masih muda. Terutama di lingkungan yang masih homofobik, atau queerfobik.

Seperti kata Tao, He’s always had a tendency to believe him just existing is annoying for other people.” Bahkan, di salah satu adegan saat Tori (Jenny Walser), kakaknya, bertanya tentang tipe cowok yang ia cari, Charlie menjawab: “who is nice, and kind, and likes being with me—standar paling rendah yang bisa dia bikin. Charlie tipikal orang yang tak akan bikin ekspektasi, karena tak mau sakit.

Baca Juga: Film di Asia Tenggara Belum Inklusif, Minim Representasi Lesbian dan Transpuan

Di saat bersamaan, Charlie kehilangan kontrol atas dirinya sendiri. Keputusan-keputusan yang dia buat akhirnya selalu dibikin berdasarkan kepentingan orang lain, terutama orang yang dia sayangi. Charlie jadi karakter utama yang menarik, karena series ini fokus pada pergulatan psikologinya setelah melela, topik yang masing jarang diangkat dalam tontonan dengan karakter utama orang queer.

Biasanya, protagonis dalam film atau serial bertema LBGTQ+ masih bergulat dengan seksualitas mereka. Seperti Viktor dalam Love, Viktor, Alex dalam Alex Strangelove, Elio dalam Call Me By Your Name, atau Jia Han dalam Your Name Engraved Herein. Narasi eksplorasi orientasi seksual malah diberikan pada love interest Charlie, namanya Nick Nelson.

Nick Nelson, Representasi Biseksual, dan Internal Homofobia

Di belantara LGBTQIA, representasi kelompok biseksual, aseksual, dan interseks masih sangat minim. Kalau pun ada, belum tentu digambar dengan sehat atau positif. Karakter Nick dari Heartstopper ternyata menuai pujian di media sosial, terutama Twitter.

Caranya menemukan diri sendiri, mengetahui identitasnya sebagai biseksual, dan coming out sesuai waktunya sendiri adalah perjalanan menarik yang bikin karakter Nick banyak disukai. Di salah satu adegan, Nick mengetikkan “Am I bisexual?” di kotak pencarian Google, lalu tak sadar mengeluarkan air mata setelah menonton video di youtube dan ikut kuis di internet. Kerentanannya mencari tahu identitas sendiri lewat sumber-sumber terbatas adalah pengalaman kolektif orang-orang queer yang bikin Nick jadi relatable.

Buat kelompok biseksual, adegan Nick kebingungan karena tertarik pada Keira Knightley dan Orlando Bloom dalam Pirates of the Caribbean juga jadi tontonan ikonik. Ditambah dengan adegan melelanya yang menggunakan bahasa sendiri, plus respons ibunya yang langsung memeluk dan menangis haru, bikin Nick jadi salah satu representasi karakter biseksual paling sehat yang pernah saya tonton.

Bagaimana Charlie tersenyum saat Nick coming out padanya, dan tidak mempertanyakan identitas biseksual Nick juga pilihan sederhana yang menambah manis serial ini.

Sumber: IMDB

Lewat Nick, penonton juga dibiarkan ikut melihat pergulatan melawan internal homofobia—sesuatu yang dimiliki semua orang yang tumbuh dalam didikan patriarki. Nick untuk waktu cukup lama, masih tak terbiasa menunjukkan perasaan dan afeksinya pada Charlie jika mereka sedang tidak berdua saja. Kadang-kadang perasaan tak nyaman itu justru lebih besar datang dari dalam diri Nick sendiri, ketimbang orang lain yang malah senang melihatnya intim dengan Charlie.

Pergulatan melawan homofobia internal diurai pelan-pelan di serial Heartstopper. Kita bisa melihat bagaimana Nick bertarung dengan moralnya dan anggapan publik yang dibentuk pikirannya sendiri. Di awal berkenalan dengan Charlie, Nick seolah-olah hadir sebagai sekutu yang open-minded dan tak masalah dengan orientasi seksual Charlie. Namun, internal homofobia itu baru muncul ketika dia tak bisa melawan perasaan sukanya pada Charlie.

Di saat bersamaan, perlawanan pada internal homofobia  itu juga membuat penonton sadar bahwa proses coming in dan coming out berbeda-beda pada tiap individu.

Elle dan Pengalaman Transisi Transgender

Elle Argent (Yasmin Finney) adalah sahabat Charlie yang harus pindah sekolah setelah transisi karena di-bully. Ia pindah ke sekolah khusus perempuan, dan harus bergulat dengan masalah “mencari teman baru”. Di episode-episode awal, kita melihat Elle cenderung sengaja memilih untuk tidak bersosialisasi. Dorongan untuk berteman makin besar, ketika gurunya terus-terusan mendesak Elle.

Perasaan terisolasi karena tak ingin distigma atau dapat penolakan adalah pengalaman kolektif lain, yang biasa dirasakan orang-orang queer. Keputusan mengisolasi diri kadang terasa lebih mudah, ketimbang harus beradaptasi dengan risiko ditolak atau tak bisa jadi diri sendiri.

Saat menjauh dari proses sosialisasi, beban mencari kerumunan yang aman juga sering kali dibebankan pada individu queer-nya, dalam hal ini Elle. Gurunya, sebagai pihak otoritas, lebih fokus mendorong Elle ketimbang mempersiapkan ruang aman.

Meski demikian, karakter Elle adalah potret representasi karakter transgender yang masih jarang ada di tontonan kita. Ceritanya bermula setelah pindah ke sekolah baru. Ia tak lagi berkutat dengan bullying, depresi, atau disforia gender—tiga plot yang selalu ada dalam narasi-narasi transgender di budaya populer.

Sumber: IMDB

Yasmin Finney bilang pada Teen Vogue, “Ini benar-benar cerita yang jarang, jarang—jarang sekali kita punya.” Menurutnya, Elle dipotret dengan sangat positif, karena hanya fokus pada perjalanannya bertemu chosen family, dan jadi diri sendiri tanpa didikte society untuk tampil dan berlaku dengan standar tertentu.

She’s just her, and I think that’s what’s so beautiful about the trans story that we have in Heartstopper,” tambahnya.

Tara Jones dan Darcy Olson, Our Lovely Lesbian Couple

Tara dan Darcy (Kizzy Edgel) adalah dua karakter pertama yang muncul sebagai pasangan. Jauh sebelum Charlie dan Nick menetapkan label hubungan mereka (hubungan Charlie dan Ben tidak dihitung, karena Ben tidak menganggap Charlie pacar).

Baca Juga: Representasi LGBTQIA di Film ‘Superhero’

Tara mulanya muncul sebagai teman baru Elle di sekolah baru. Belakangan, ia diperkenalkan sebagai cinta monyet Nick yang masih dijodoh-jodohkan sampai sekarang. Fakta itu sempat bikin Charlie jiper dan minder untuk mendekati Nick. Namun, makin ke belakang, porsi Tara sebagai pemeran pendukung makin besar. Ia jadi orang pertama yang dianggap Nick sebagai safe space untuk bercerita tentang hubungannya dengan Charlie.

Namun, Tara bukan pemeran pembantu yang dibikin cuma untuk menolong pemeran utama. Dia punya ceritanya sendiri, dan bisa bikin kita jatuh hati.

Kisah cinta backstreet-nya dengan Darcy diberi porsi cukup besar dalam Heartstopper. Mereka juga bagian dari plot “rupa-rupa bentuk coming out”. Darcy yang lebih dulu menerima dirinya sendiri jadi jangkar Tara, yang baru belakangan memutuskan melela di Instagram.

Lewat Tara dan Darcy kita melihat bagaimana proses coming out tidak cuma terjadi sekali pada hidup orang queer. Mereka biasanya akan melakukannya berkali-kali, baik secara sadar atau tidak. Tentu saja ini bagian dari pengalaman kolektif orang-orang queer yang bikin karakter Tara dan Darcy jadi begitu relatable.

Buat orang-orang non-queer, pengalaman itu mungkin bisa menunjukkan betapa problematiknya konsep coming out, sebab menumpukan semua beban pada individu queer sendiri.

Tao si Cishetmale yang Posesif

Cishetmale adalah singkatan dari cis-heteroseksual male, alias mereka yang terlahir dengan identitas gender laki-laki dan sampai seumur hidup memakai gender tersebut. Meski di dunia nyata, jenis gender ini adalah mayoritas dan sering menduduki posisi-posisi pembuat keputusan, dalam Paris Squad cuma ada satu: Tao Xu (Will Gao). Setidaknya begitu yang digambarkan dalam 8 episode Heartstopper versi Netflix.

Di webcomic-nya, Tao digambarkan paling pendek, tapi di seriesnya ia jadi yang paling tinggi. Meski tetap jadi yang paling tidak bisa lari dan protektif pada kawan-kawannya.

Baca Juga: Lagu ‘Angel Baby’ Troye Sivan Minta ‘Queerphobic’ buat Kalem

Sikap protektif itu muncul karena Tao merasa dirinya sendiri dan Paris Squad sebagai outcast. Meski tidak memiliki pengalaman lahir queer, Tao sangat menerima dan menyayangi Charlie dan Elle. Sifat over-protektif itu muncul setelah melihat Elle dan Charlie dirisak.

Sumber: IMDB

Menariknya, meski digambarkan sebagai seorang straight, Tao jauh dari stereotipikal cowok-cowok cishetmale. Dia cenderung cerewet, suka berpakaian cerah, tidak olahraga, dan hal-hal lain yang biasanya dilekatkan pada perempuan dan mereka yang feminin. Bahkan, di antara semua Paris Squad, Tao adalah yang paling tidak setuju hubungan Charlie-Nick, karena merasa karakter Nick terlalu maskulin.

Kehadiran Tao sebagai sahabat karib Charlie juga jadi gebrakan. Pasalnya, representasi pertemanan platonik cishetmale-gay yang selama ini cuma dipegang Otis-Eric dari semesta Sex Education kini makin melebar. Potret positif hubungan persahabatan mereka akan jadi hawa segar buat generasi mendatang yang lebih inklusif dan ramah pada semua gender.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aulia Adam

Aulia Adam adalah penulis, editor, produser yang terlibat jurnalisme sejak 2013. Ia menggemari pemikiran Ursula Kroeber Le Guin, Angela Davis, Zoe Baker, dan Intan Paramaditha.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *