Gender & Sexuality Issues

Yang Tak Dibicarakan dari ‘Gender Disappointment’ atau Kecewa dengan Kelamin Bayi

Sebagian orang kerap kecewa dengan jenis kelamin anak, bahkan menyalahkan perempuan. Padahal secara sains, hal ini sudah cukup jelas.

Avatar
  • August 29, 2023
  • 8 min read
  • 1515 Views
Yang Tak Dibicarakan dari ‘Gender Disappointment’ atau Kecewa dengan Kelamin Bayi

Akhir pekan lalu, perkara jenis kelamin bayi menjadi obrolan warga Twitter, usai pengguna menceritakan kehamilannya di akun menfess—mention dan confess. Si sender bercerita sedang mengandung anak perempuan, dengan usia kehamilan tujuh bulan. Namun, suami beserta keluarga justru menyalahkannya, lantaran dinilai enggak bisa memberikan anak laki-laki.

Respons tersebut merupakan contoh gender disappointment, yakni perasaan sedih dan kecewa yang dialami orang tua, ketika jenis kelamin calon bayinya enggak sesuai yang diharapkan. Umumnya harapan itu diikuti imajinasi, seperti apa hidup mereka nanti bersama sang anak. Akibatnya, orang tua mengungkapkan emosi negatif, begitu realitasnya berlawanan.

 

 

Pada 2021, YouTuber Sarah Brithinee menceritakan gender disappointment yang dialami lewat YouTube channel-nya. Alasannya ingin melahirkan anak perempuan bukan sekadar mendandani dengan pakaian lucu, atau punya ketertarikan yang sama. Brithinee ingin punya hubungan yang erat dengan anak perempuan, sebagaimana relasinya dengan sang ibu. Begitu tahu anak yang dikandung laki-laki, Brithinee sadar enggak akan bisa mereplikasi hubungan dengan ibunya—terlebih jika ibu Brithinee meninggal suatu saat nanti. Enggak dimungkiri, perasaan itu sempat membuat Brithinee merasa bersalah.

Melansir Verywell Family, Dr. Danielle Forshee, dokter spesialis psikologi sekaligus pekerja klinis berlisensi menerangkan, perasaan bersalah ketika mengalami gender disappointment muncul saat emosi negatif bertentangan, dengan perasaan positif yang sebelumnya dimiliki.

“Perasaan itu langsung berlawanan dengan keyakinan dan ekspektasi, yang diri sendiri dan orang lain punya. Bahwa kita seharusnya bahagia dan bersyukur bisa hamil, bahkan menjalani kehamilan yang sehat,” terang Dr. Forshee.

Berdasarkan pengalamannya, dr. Dyana Safitri Velies, Sp.OG (K) mengatakan, lingkungan masyarakat turut memengaruhi ekspektasi orang tua selama proses kehamilan.

Misalnya logo Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang menggambarkan keluarga ideal, sebagai orang tua heteroseksual dengan dua anak, laki-laki dan perempuan. Begitu pula dengan ungkapan orang-orang di sekitar, yang menilai sebuah keluarga lengkap apabila anaknya sepasang: Laki-laki dan perempuan.

Masalahnya, ketika orang tua mengalami gender disappointment, ada kemungkinan berdampak pada relasi antara mereka dengan anak. Dalam liputannya, ABC News Australia menceritakan hubungan Alice dan ayahnya yang renggang.

Lantaran menginginkan anak laki-laki, sang ayah sangat kecewa begitu tahu jenis kelamin Alice. Bahkan sampai mengadopsi dua anak laki-laki, menghabiskan waktu bersama, dan menunjukkan betapa bangganya dengan mereka. Namun, tidak dengan Alice.

Sayangnya, dalam sejumlah kasus—seperti cuitan akun menfess, suami menyalahkan istri yang dianggap enggak bisa memenuhi keinginannya, untuk memiliki anak berjenis kelamin tertentu. Lalu, bagaimana sebenarnya jenis kelamin calon bayi terbentuk dalam proses fertilisasi?

Baca Juga: Mengapa Orang Tua Perlu Berhenti Tentukan Gender Anak Sejak Awal?

Pembentukan Jenis Kelamin Bayi Ketika Fertilisasi

Secara sains, perempuan memiliki kromosom XX, dan laki-laki XY. Ketika proses pembuahan, perempuan membawa kromosom X tersebut, sedangkan laki-laki antara kromosom X atau Y. Maka itu, kromosom dari laki-laki yang menentukan jenis kelamin bayi dalam proses pembuahan.

Contohnya saat sperma yang membawa kromosom X membuahi sel telur. Maka, calon bayi berjenis kelamin perempuan. Sementara jika sel telur dibuahi oleh sperma yang membawa kromosom Y, calon bayinya adalah laki-laki.

“Memang yang menentukan jenis kelamin itu (kromosom) sperma yang membuahi ovum,” jelas dr. Dyan.

Agar pembuahan berhasil, hubungan seks perlu dilakukan selama masa subur, yaitu pertengahan siklus menstruasi. Siklus menstruasi yang normal antara 21-35 hari, dan ovulasi biasanya terjadi saat 14 hari menjelang menstruasi berikutnya. Secara teori, pasangan dapat mengontrol hubungan seks berdasarkan proses ovulasi untuk menentukan jenis kelamin bayi.

Menurut dr. Dyan, jika menginginkan anak laki-laki, sebaiknya hubungan seks dilakukan mendekati ovulasi. Tujuannya agar ovum sudah berada di tuba falopi, diikuti pembuahan. Sementara jika ingin anak perempuan, hubungan seks dapat dilakukan sebelum ovulasi, agar sperma lebih dulu berada di tuba falopi, menunggu munculnya ovum.

“(Pergerakan) sperma dengan kromosom Y itu cepat, tapi umurnya sebentar, cuma 24 jam,” ucap dr. Dyan. “Kalau sperma dengan kromosom X bergerak lebih lambat, dengan masa aktif selama 24 jam.”

Meski demikian, peneliti Allen Wilcox, Clarice Weinberg, dan Donna Baird menyatakan sebaliknya. Dalam Timing of Sexual Intercourse in Relation to Ovulation—Effects on the Probability of Conception, Survival of the Pregnancy, and Sex of the Baby (1995), ketiganya mengungkapkan, jenis kelamin bayi tidak berhubungan dengan waktu hubungan seks dilakukan—yang berkaitan dengan ovulasi.

Jika merujuk pada riset Wilcox, Weinberg, dan Baird, artinya kromosom dari ayah menjadi satu-satunya penentu jenis kelamin bayi. Namun, apa yang begitu memperkuat keinginan orang tua, mencari tahu dan memiliki anak berdasarkan jenis kelamin tertentu? 

Baca Juga: Ekspektasi Gender Bebani Anak Sejak Lahir

Rasa Ingin Tahu Orang Tua tentang Jenis Kelamin Bayi

Sebagai dokter obstetri dan ginekologi (obgyn), dr. Dyan menceritakan sejumlah pasiennya yang mengalami gender disappointment. Butuh beberapa waktu, hingga orang tua dapat mengerti dan menerima kondisi—bahwa jenis kelamin calon bayinya berbeda dengan harapan mereka. Untuk membantu pasien, dr. Dyan turut mendampingi proses tersebut.

“Pembahasannya enggak cukup sekali, jadi beberapa kali saya ajak ngobrol. Misalnya masih kecewa enggak, hal positif yang bisa diambil, dan udah sampai mana pengelolaan emosinya?” tutur dr. Dyan. “Soalnya (mereka) butuh validasi bahwa perasaan itu wajar. Nah gimana biar enggak berlarut, lalu move on?”

Di balik keinginan mengetahui jenis kelamin calon bayi ini, mungkin kamu familier dengan gender reveal—yang lebih tepat disebut sex reveal karena merujuk pada anatomi, sementara identitas gender seseorang dapat berubah. Umumnya, orang tua dan kerabat mengonsepkan acara ini dengan warna pink dan biru, merujuk pada jenis kelamin bayi laki-laki atau perempuan. Kemudian mendekorasi ruangan dan belanja perlengkapan bayi, sesuai jenis kelaminnya.

Dari pengalaman menangani pasien, dr. Dyan menyatakan, alasan itu juga yang melatarbelakangi keingintahuan orang tua terhadap jenis kelamin calon bayinya. Karenanya, para orang tua mencari tahu lewat ultrasonografi (USG).

“Biasanya karena pengen belanja (jadi ingin tahu jenis kelamin bayi). Padahal, kami obgyn menganggap USG itu banyak manfaatnya,” terang dr. Dyan.

Baca Juga: Andai Jadi Ibu, Ini yang Takkan Saya Lakukan pada Anak

Ia kemudian menjelaskan beberapa manfaat USG dalam memantau perkembangan bayi. Contohnya di trimester pertama, untuk mengetahui apakah kehamilan di dalam atau luar rahim, mengetahui jika janinnya kembar, serta apakah kehamilannya berkembang sempurna. Lalu di trimester kedua mulai melihat pertumbuhan organ, dan tumbuh kembang bayi.

Selain itu, USG hanya salah satu aspek dalam pemeriksaan kehamilan. Sangat penting untuk rutin melakukan pemeriksaan kehamilan, agar mengetahui kondisi ibu: Pertambahan berat badan yang sesuai, dan apakah terdapat penyakit medis serta anemia. Bahkan, puskesmas punya pelayanan terpadu dalam pemeriksaan kehamilan, yang disebut 10 T.

Di antaranya adalah timbang berat dan tinggi badan, tekanan darah, penentuan status gizi, dan tinggi fundus uteri—atau seberapa besar ukuran rahim yang diukur berdasarkan jarak dari tulang kemaluan ke bagian atas rahim. Lalu menentukan presentasi janin, vaksin tetanus toksoid, tablet Fe untuk menambah darah, tes laboratorium, tatalaksana kasus, dan temu wicara untuk konseling dengan dokter atau bidan terkait kehamilan.

Karena itu, dr. Dyan menyatakan, melakukan USG untuk mengetahui jenis kelamin bayi bukan hal penting bagi obgyn. “ Itu bagian dari hiburan bagi keluarga,” ujarnya. 

Sayangnya, sebagian orang masih merencanakan jumlah anak berdasarkan jenis kelamin. Salah satunya Aurel Hermansyah, yang sedang hamil anak kedua. Ketika diwawancara oleh Trans TV, ia mengaku pernah bilang pada Atta Halilintar, suaminya, enggak mau hamil lagi setelah punya anak laki-laki.

“Sebenarnya kita enggak boleh juga bilang ingin anak laki-laki,” kata Aurel. “Aku sempat ngomong, kalau udah dapat anak cowok, udah sepasang, mau tutup pabrik (enggak mau hamil lagi). Maksudnya hamilnya nanti lagi, lima atau enam tahun setelahnya.”

Melihat orang-orang yang masih menentukan kehamilan seperti itu, dr. Dyan menekankan, seharusnya orang tua melakukannya berdasarkan kemampuan dan persiapan. Yang perlu digarisbawahi lagi, anak perempuan dan laki-laki punya nilai yang sama, enggak ada yang lebih unggul.

Namun, tak dimungkiri budaya patriarki yang mengakar di masyarakat, memosisikan perempuan di kelas dua. Bahkan, suku dan ras tertentu yang masih mengutamakan anak laki-laki. Seperti suku Batak, yang membanggakan anak laki-laki, sebagai pembawa marga sekaligus penerus keturunan keluarga. Alhasil, tuntutan untuk punya anak laki-laki juga datang dari keluarga.

Akibat dinomorduakan, gender disappointment juga lebih dialami perempuan. Contohnya di India. Para ibu memilih aborsi jika mengandung janin perempuan. Sebab, anak perempuan dianggap membebankan finansial bagi orang tua, yang perlu membayar mahal untuk mahar pernikahan. Hal tersebut menjadi alasan terbesar orang tua lebih memilih anak laki-laki. Belum lagi siksaan yang akan diterima keluarga perempuan, jika tidak mampu membayar mahar.

Dikarenakan pemilihan jenis kelamin itu, ribuan bayi perempuan ditelantarkan setiap tahunnya. Bahkan, riset oleh Prabhat Jha, dkk. pada 2011 melaporkan, setiap tahun terdapat setengah juta aborsi di India. Ada juga yang ditelantarkan setelah dilahirkan, tetapi berhasil diselamatkan. Namun, kebanyakan meninggal.

Berbeda situasinya ketika ibu mengandung janin laki-laki. Saat dilahirkan, anak laki-laki disambut dan dirayakan, salah satunya karena akan membawa keuntungan finansial. Tepatnya saat menikah dengan perempuan, yang akan membayar mahal pernikahan.

Terlepas dari yang terjadi di India, sebagian keluarga yang semua anaknya laki-laki, mengharapkan anak perempuan, demi membantu peran ibu. Artinya, kehadiran perempuan diharapkan untuk memenuhi ekspektasi domestik.


Berkaca dari realitas ini, dr. Dyan menekankan, setidaknya kelas pranikah diperlukan untuk mengedukasi calon pengantin. Dengan salah satu pembahasan tentang pengaturan kelahiran, di mana pasangan belajar mengambil keputusan dan merencanakan untuk punya anak, serta bertanggung jawab dalam merawatnya. Hal ini juga tercatat dalam buku saku calon pengantin, yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Di samping itu, Gereja Katolik juga mengajarkannya dalam Kursus Persiapan Perkawinan (KPP)—suatu kewajiban bagi umat yang akan menerima Sakramen Perkawinan. Dalam Humanae Vitae—ensiklik yang ditulis Paus Paulus VI—terdapat konsep keluarga yang bertanggung jawab. Artinya, pasangan yang ingin memiliki keturunan harus mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Karena itu, suami dan istri ditekankan untuk menentukan jumlah anak dengan baik.

Lewat kelas pranikah, harapannya pasangan lebih menyadari untuk menyesuaikan perencanaan kehamilan sesuai kemampuannya—meski sebagian masyarakat kerap menentukan jumlah anak berdasarkan jenis kelamin. Setidaknya, pasangan yang memilih untuk menjadi orang tua, bertanggung jawab untuk menerapkannya.

Artikel ini telah dikoreksi pada 1 September 2023 pada penjelasan mengenai siklus menstruasi, manfaat USG, dan gender disappointment yang lebih dialami perempuan akibat budaya patriarki.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.