INFID: Lebih 70 Persen Responden Setuju RUU PKS Disahkan
Hasil penelitian dari lembaga INFID menunjukkan bahwa lebih dari 70,5 persen responden setuju RUU PKS disahkan.
Lebih dari 70,5 persen responden penelitian yang dilakukan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bersama Indonesia Judicial Research Society (IJRS) menyatakan setuju dengan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Sementara sisa responden lainnya menyatakan menolak dengan mayoritas alasan mereka merasa RUU tersebut bertentangan dengan nilai moral atau agama.
Poin penolakan lain dari responden adalah argumen dimasukkannya pelecehan seksual sebagai salah satu tindak pidana kekerasan seksual dalam RUU PKS.
“Pelecehan seksual, terutama yang nonfisik, masih mengundang perdebatan. Alasan orang yang menolak hal ini masuk di RUU PKS karena pelecehan nonfisik sulit diukur dan kesadaran masyarakat terhadap hal tersebut, seperti catcalling, masih rendah,” ujar Anita Dhewy yang mewakili INFID, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Badan Legislasi (Baleg) Dewat Perwakilan Rakyat (DPR), Selasa (2/2).
INFID dan IJRS juga menemukan bahwa 5 dari 7 orang pernah mengalami kekerasan seksual selama hidupnya dan mayoritas enggan melapor serta menyelesaikan perkaranya. Para penyintas, terutama perempuan, enggan melapor akibat kuatnya stereotip negatif terhadap perempuan, seperti soal pakaian yang terbuka dan perempuan sebagai sosok lemah.
“Perempuan juga sering dianggap lebih wajar mengalami kekerasan seksual dibanding laki-laki. Padahal, hasil penelitian menunjukkan, 33,3 persen laki-laki pernah menjadi korban kekerasan seksual,” ujar Anita.
Selain INFID dan IJRS, audiensi tersebut juga dihadiri oleh perwakilan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), The Body Shop Indonesia, Makassar Writers Festival, dan Magdalene. Masing-masing pihak menyatakan dukungannya untuk pihak DPR agar segera mengesahkan RUU PKS.
“Kami meneruskan perjuangan yang sudah ada sejak awal RUU PKS ini dibuat, dengan menggunakan semua platform kami untuk menyuarakan tentang isu ini dan mengedukasi publik,” ujar Aryo Widiwardhono selaku CEO The Body Shop Indonesia.
Kritik terhadap RUU PKS
Anggota DPR dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Al-Muzzamil Yusuf mengatakan, ada hal-hal yang harus dicermati sebelum mengesahkan RUU PKS, salah satunya adalah terminologi yang lebih sesuai, yakni kejahatan seksual, bukan kekerasan seksual.
“Kekerasan seksual itu mengacu pada paradigma Barat, sementara di Indonesia sebenarnya kata kejahatan seksual sudah dipakai dalam hukum,” ujarnya dalam RDPU.
Ia juga mengkhawatirkan soal penekanan consent dalam relasi seksual dalam RUU PKS, yang menurutnya akan menjadi masalah karena bertentangan dengan norma yang ada.
“Konsep ini [sexual consent] tidak memandang hubungan nikah atau tidak nikah menjadi persoalan dalam agama dan kearifan lokal kita. Sexual consent di Barat sudah meluas pada hubungan seks sesama jenis. Selagi tidak ada kekerasan, boleh berhubungan seks di luar nikah, atau sesama pria atau wanita. Ini bertentangan dengan norma agama kita, budaya, dan undang-undang kita,” kata Muzzamil.
Baca juga: 5 Hal yang Harus Kamu Ketahui tentang RUU PKS
Menurutnya, pembahasan RUU PKS mandek bukan lantaran sikap menentang pidana terhadap tindak kekerasan seksual itu sendiri, melainkan pada dampak mengganggu nilai agama dan budaya masyarakat Indonesia.
“Di sini bahayanya yang kami garis bawahi. Kami setuju [pada pengesahan RUU PKS] tetapi dengan mengakomodir semangat Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa, UUD 1945, dan UU Perkawinan yang mengatur perkawinan antara perempuan dan laki-laki,” kata Muzzamil.
Dalam diskusi itu, ia juga mengusulkan untuk memasukkan perluasan zina—yang diinisiasi kelompok Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) dalam uji materi pasal kesusilaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidaha (KUHP) di Mahkamah Konstitusi tahun 2017—ke dalam RUU PKS.
Paradigma Barat dan Moral Bangsa
Sementara itu, Santoso dari fraksi Partai Demokrat mengatakan bahwa kebijakan di Indonesia belum bisa dibandingkan dengan kebijakan di Eropa atau Amerika Serikat karena di negara-negara Barat tersebut, hukum mereka berorientasi pada humanisme sedangkan di Indonesia ada nilai moral dan etika sebagai salah satu landasan hukum. Ia juga mengomentari soal isu kesetaraan gender yang jangan-jangan salah dipersepsikan oleh orang-orang Indonesia.
“Isu kesetaraan gender masih tertinggal dibanding negara lain. Ini harus dikoreksi karena dengan adanya produk perundangan yang dilahirkan sejak Reformasi, justru perempuan Indonesia dalam posisi diuntungkan dan bisa mengalahkan negara lain. Jangan ada persepsi perempuan Indonesia belum setara dengan wanita lain di berbagai belahan dunia,” kata Santoso.
Seperti halnya Muzzamil, ia juga menegaskan agar RUU PKS tidak bertentangan dengan ajaran agama umat di seluruh Indonesia.
Arteria Dahlan dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mempertanyakan apakah KUHP belum cukup untuk mengatur tindakan yang disebutkan dalam RUU PKS sehingga harus melahirkan UU baru. DPR saat ini sedang menggarap RKUHP sehingga poin-poin dalam RUU PKS, menurutnya, bisa saja dimasukkan di sana sebagai pengayaan.
“Mengenai pekerja seks, apa iya dilindungi dari kekerasan seksual? Apakah pekerja seks adalah pekerja legal? Pekerja ilegal enggak ada perlindungan hukumnya,” ujarnya.
Soroti Masalah Kekerasannya, Bukan Seksualitasnya
Diah Pitaloka dari fraksi PDI Perjuangan mengatakan bahwa seharusnya perikemanusiaan adalah bagian dari moralitas.
“UU ini tidak hanya menyangkut paradigma, cara pandang masalah kultural, tetapi juga bagaimana soal rehabilitasi dan hal-hal teknis. Bagaimana membawa kejahatan atau kekerasan seksual ke ranah hukum acara,” kata Diah.
Ia menyarankan agar pihak DPR maupun masyarakat tidak terburu-buru untuk menarik perdebatan soal RUU PKS dari kutub ke kutub. Semua pihak, ujarnya, harus berusaha mencari kearifan untuk menjawab persoalan kekerasan seksual yang disepakati bersama, bahwa itu bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan agama yang diyakini masyarakat Indonesia.
“Butuh kita explore, berdialog sehingga kita bisa cari jalan untuk menjaga martabat bangsa. Kita tidak ingin wajah Indonesia penuh kekerasan seksual,” ujar Diah.
Baca juga: Kawal RUU PKS: Kekerasan Seksual Bukan Hanya Urusan Perempuan
Sependapat dengan Diah, Taufik Basari dari fraksi Partai Nasdem juga meminta agar pembahasan RUU PKS mengakomodasi pemikiran-pemikiran dan merumuskannya untuk kepentingan bersama.
“Ini besarannya kekerasan, konteksnya hak asasi manusia, bukan seksualitasnya. Kekerasan dalam segala hal dilarang. Ketika bicara soal kekerasan seksual, ternyata ada temuan bahwa terdapat hal-hal spesifik yang butuh pengaturan khusus. Misalnya, menimbulkan trauma bagi korban yang butuh treatment khusus dalam penanganan hukum,” kata Taufik.
“Saya tidak melihat ada pertentangan yang perlu dibesar-besarkan. Warga negara Indonesia harus dijamin rasa amannya dari berbagai hal termasuk kemungkinan terjadinya kekerasan seksual.”
Dukungan Partai untuk Pengesahan RUU PKS
Marwan Dasopang, Wakil Ketua Komisi VIII yang membawahi bidang agama, sosial dan kebencanaan, mengatakan bahwa pembahasan RUU PKS penting dilakukan sekarang karena ada kekosongan hukum yang komprehensif mulai dari hulu sampai hilir.
“Kekerasan seksual ini tidak bisa hanya didefinisikan menyerang perempuan, tetapi juga laki-laki. Maka itu, UU yang ada sekarang, UU Perlindungan Anak, UU Penghapusan KDRT, tidak memadai lagi untuk menjangkau kasus-kasus yang ada,” kata Marwan dalam audiensi terpisah di hari yang sama dengan The Body Shop Indonesia dan Pemimpin Redaksi Magdalene, Devi Asmarani.
Ia berharap agar pembahasan RUU PKS di periode ini tidak menemukan hambatan yang membuatnya mandek seperti di periode lalu karena RUU tersebut sangat dibutuhkan sekarang.
“Periode lalu kami [fraksi PKB] kurang mampu meyakinkan fraksi-fraksi lain yang khawatir bahwa UU ini terlalu liberal. Ini masalah cara pandang. Kita harap di periode ini hambatan tersebut terselesaikan dengan baik,” ujar Marwan.
Isu lain dalam pembahasan RUU PKS adalah perkara definisi dan frasa yang dipakai, tambahnya. Marwan mengatakan, persoalan judul, ketentuan umum, definisi, dan bentuk pidana yang disebutkan di RUU PKS menemui jalan buntu karena tiap pihak di DPR punya keresahan masing-masing.
“Jika belum ada frasa baru untuk memperjelas definisi RUU PKS ini, maka dapat dibayangkan bahwa posisi RUU PKS di Baleg masih akan tetap memiliki pertentangan dari beberapa fraksi di pembahasan selanjutnya,” ujar Marwan.
Ia mengungkapkan, rencananya PKB akan mengadakan Focus Group Discussion dengan mengundang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA-RI), Komnas Perempuan, para pakar dari universitas, serta pihak-pihak yang kontra dengan RUU PKS.
“Sebagian besar kasus kekerasan seksual tidak masuk ranah hukum, kalaupun masuk hanya sedikit sekali yang diproses. Korban tidak pernah mendapat keadilan karena ada hambatan berupa budaya permisif terhadap kekerasan seksual, tekanan, dan lain-lain. Karena itu kita butuh segera RUU PKS disahkan untuk mengejar [pelaku] dan melindungi anak-anak kita,” kata Marwan.
Dukung kampanye “Semua Peduli, Semua Terlindungi #TBSFightForSisterhood” untuk mendesak pengesahan RUU PKS, dengan menandatangani petisi di sini.