Issues Politics & Society

Magdalene Primer: Apa Itu Omnibus Law dan Mengapa Kita Harus Waspada

‘Omnibus Law’ adalah aturan sapu jagat yang berisiko mengabaikan kerentanan pekerja perempuan dan mengancam lingkungan hidup.

Avatar
  • January 27, 2020
  • 7 min read
  • 645 Views
Magdalene Primer: Apa Itu Omnibus Law dan Mengapa Kita Harus Waspada

Sejak akhir tahun lalu pemerintah telah menggemborkan-gemborkan wacana untuk memperkuat  perekonomian Indonesia lewat membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Tujuan dibuatnya Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini adalah untuk menyederhanakan regulasi  yang akan menghambat iklim investasi di Indonesia.

RUU ini menimbulkan reaksi yang keras dari aktivis buruh, perempuan, dan lingkungan hidup karena berisiko menambah kerentanan pekerja perempuan dan membahayakan lingkungan hidup.

 

 

Apa itu Omnibus Law?

Wacana Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini sebenarnya sudah dimulai sejak awal tahun lalu, namun pemerintah tancap gas di akhir tahun. Omnibus law atau omnibus bill adalah sebuah metode reformasi regulasi yang mengamandemen beberapa undang-undang sekaligus. Awal tahun ini, omnibus law berhasil masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2020.

Dari rapat terakhir internal pemerintah, ada 11 kluster yang akan diregulasi  dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja: Penyederhanaan perizinan; persyaratan investasi; ketenagakerjaan; kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM); kemudahan berusaha; dukungan riset dan inovasi; administrasi; pengenaan sanksi; pengadaan lahan; investasi dan proyek pemerintah; dan kawasan ekonomi. Omnibus law ini akan berdampak pada 81 UU.

Banyak pihak menilai pembahasan omnibus law ini tidak transparan karena selalu tertutup untuk publik. Selain itu, aturan ini terlalu berpihak pada kepentingan pengusaha dan investor. Hal ini terlihat satuan tugas omnibus law yang dikepalai oleh Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Rosan Roeslani. Ia dibantu delapan wakil dan 127 anggota, yang sebagian besar adalah  pengusaha, seperti Joko Supriyono dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), dan Adhi Lukman, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI).

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono mengatakan, pembahasan dilakukan tertutup karena pemerintah tidak ingin menimbulkan kegaduhan di publik. Ia meminta agar masyarakat bersabar dan tidak mempercayai draf yang beredar di publik saat ini.

“Rencananya hari Senin (27/1) nanti kami akan memberikan draf dan naskah akademik RUU ini kepada Presiden. Setelah itu targetnya pertengahan minggu depan Presiden sudah mengeluarkan Surat Presiden yang nanti akan diberikan pada pihak DPR beserta dengan draf dan naskah akademiknya,” kata Susiwijono, dalam konferensi pers terkait omnibus law di gedung Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Jumat (24/1).

Siapa saja yang terdampak?

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) telah meminta Parlemen menolak RUU Omnibus Law karena enam alasan: adanya isyarat penghapus sistem upah minimum, menghilangkan pesangon, penggunaan sistem kontrak lepas dan karyawan kontrak, mudahnya masuk tenaga kerja asing, menghilangkan jaminan sosial, dan menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha.

Sementara itu, para aktivis perempuan dan buruh mengkhawatirkan RUU ini akan berdampak buruk pada pekerja perempuan. Sekretaris Nasional Organisasi Perempuan Mahardika, Mutiara Ika Pratiwi mengatakan, semangat fleksibilitas ketenagakerjaan dalam RUU ini sangat mengabaikan aspek-aspek kerentanan pekerja perempuan. Hal ini dilihat dari bagaimana omnibus law ini mempermudah perekrutan tenaga kerja (easy hiring) sekaligus pemutusan hubungan kerja (PHK), ujarnya.

Baca juga: Kesenjangan Upah di Indonesia Lebih Banyak pada Perempuan di Bawah 30

“Semangat fleksibilitas ketenagakerjaan ini membuat hak-hak khusus perempuan diabaikan dalam pembahasan RUU ini,” kata Ika dalam diskusi di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Minggu (19/1).

Menurut Ika, regulasi yang saat ini ada di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, seperti cuti haid, dan cuti hamil masih bersifat normatif. Pada kenyataannya, kondisi pekerja perempuan di Indonesia masih belum mendapatkan hak-hak khusus pekerja perempuan. Riset Perempuan Mahardika tahun 2017 menunjukkan bahwa ada kerentanan terstruktur yang dialami oleh buruh perempuan di pabrik garmen daerah Cakung,

Dari 773 responden buruh perempuan, ada 488 buruh perempuan berstatus kontrak. Dari segi pengupahan, buruh perempuan yang sudah mendapatkan upah sesuai upah yang diberlakukan adalah 62,4 persen; 26,8 persen menerima upah di bawah upah minimum provinsi; dan sisanya sebesar 10,9 persen merupakan buruh perempuan yang tidak mampu mengidentifikasi upahnya dengan seksama karena model upah non-bulanan, status kontrak atau harian, serta tidak ada slip upah.

“Ini baru membicarakan satu sektor saja. Kita bisa melihat banyak juga kekerasan yang diterima oleh teman-teman pekerja perempuan di sektor lain. Fleksibilitas yang ditawarkan di omnibus law malah semakin memberi kerentanan pada perempuan,” kata Ika.

Namun hal ini dibantah oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan, Khairul Anwar, ia mengatakan justru di dalam omnibus law ini kita ingin memberi kesempatan sebesar-besarnya untuk angkatan kerja perempuan. 

“Salah satu contohnya terkait dengan waktu kerja. Ada yang mengikuti  waktu kerja normal, ada juga yang mengikuti waktu kerja tertentu. Di situlah sebenarnya peluang pemerintah untuk mendorong angkatan kerja perempuan,” ujar Khairul dalam konferensi pers terkait omnibus law, di gedung Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Jakarta Pusat,  pada Jumat (24/1).

Khairul menambahkan, semangat dari omnibus law ini bukan hanya membuka kesempatan kerja sebesar-besarnya, tetapi juga memberikan perlindungan formal bagi para  pekerja, salah satunya untuk jenis-jenis pekerjaan baru yang muncul karena perkembangan teknologi.

“Contoh lainnya mengenai pekerja kontrak, atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Pemerintah ingin memberikan perlindungan dan hak yang sama bagi pekerja kontrak seperti pekerja tetap, antara lain dalam perlindungan upah, jaminan sosial, termasuk kompensasi pemutusan hubungan kerjanya,” kata Khairul.  

Ika menambahkan, regulasi yang saat ini berjalan sudah sangat melapangkan jalan pengusaha untuk berinvestasi, salah satunya dalam memberikan kemudahan izin dan birokrasi. Menurut Ika, hal ini sudah bisa terlihat dari banyaknya perusahaan yang bisa dengan mudah meninggalkan pabrik milik mereka karena alasan bangkrut.

“Saat ini sangat mudah bagi pengusaha untuk berpindah daerah yang Upan Minimum Regional (UMR) rendah. Dari survei Perempuan Mahardika 2017, hal ini sering terjadi di pabrik-pabrik garmen yang sebagian besar pekerjanya adalah perempuan,” ujar Ika.

Baca juga: Pekerja Perempuan di Padang Tak Tahu Hak Cuti Saat Haid

Kiamat bagi lingkungan hidup

Selain memengaruhi kerentanan pekerja perempuan, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah mengatakan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja juga dikhawatirkan menambah kerusakan pada lingkungan hidup akibat dari eksploitasi pihak pengusaha. Dalam kaitannya dengan lingkungan hidup, beberapa kluster yang sangat berkaitan dengan isu lingkungan, yaitu kluster penyederhanaan izin, pengenaan sanksi, dan pengadaan lahan.

Merah mengatakan, salah satu perubahan yang terjadi pada kluster pengadaan lahan terkait dengan penggunaan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) yang hanya diterapkan untuk kegiatan-kegiatan perusahaan berisiko besar.  

“Dibuat lagi istilah dan kategori seperti risiko kecil dan sedang. Nah, nanti akan timbul lagi masalah baru terkait dengan siapa yang merumuskan indikator-indikator risiko besar tersebut,” katanya. 

Sekretaris Jendral Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bambang Hendroyono, mengatakan bahwa omnibus law ini adalah momentum untuk memperbaiki birokrasi yang tidak boleh lagi menghambat investasi.

“Kami tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip lingkungan hidup. Amdal itu sama sekali tidak dihapus, tetapi izin lingkungan kami satukan dengan perizinan berusaha. Nah, yang betul memang  seperti ini, jadi diselaraskan. Pemerintah juga tetap memberi pengawasan dalam prosesnya. Jika dilanggar ya tentu diberikan sanksi,” ujar Bambang.

Penyederhanaan izin usaha seperti ini menurut Merah akan sangat berdampak pada kehancuran lingkungan hidup, salah satunya yang paling terdampak adalah kesejahteraan masyarakat adat dan masyarakat yang tinggal di desa. Kita sudah bisa melihat contoh nyatanya di awal tahun 2020 ini, yaitu banjir bandang yang terjadi di Lebak, Banten disinyalir karena tingginya aktivitas penambangan di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

Ketika terjadi bencana alam yang paling terdampak adalah perempuan dan anak. Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menggambarkan bahwa perempuan memiliki risiko 14 kali lebih tinggi menjadi korban bencana alam ketimbang laki-laki.

“Jika omnibus law disahkan, maka akan muncul jenis pengungsi baru yaitu pengungsi ekologis sosial. Dan yang paling terdampak, lagi-lagi adalah pihak perempuan dan anak,” ujar Merah.



#waveforequality


Avatar
About Author

Elma Adisya