Pemerintah bersama lembaga penelitian, pendidikan, serta sektor industri produsen vaksin dalam negeri Bio Farma, tengah mengembangkan Vaksin Merah Putih untuk memutus mata rantai penyebaran virus SARS-Cov-2. Vaksin tersebut merupakan strategi jangka panjang penanganan pandemi COVID-19 yang memanfaatkan isolat virus yang bersirkulasi di Indonesia dalam proses pengujiannya.
Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi penanganan COVID-19 dari Kementerian Riset dan Teknologi, Prof. Ali Ghufron Mukti, mengatakan bahwa Vaksin Merah Putih ditujukan sebagai bentuk kemajuan serta kemandirian bangsa dari hasil kerja sama peneliti terbaik Indonesia. Urgensi lain dari pengembangan vaksin tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan vaksin masyarakat serta percepatan pemulihan ekonomi yang terpukul berat akibat pandemi, ujarnya.
Secara global sampai saat ini tercatat 51 juta kasus positif COVID-19, lebih 33 juta sembuh, dan lebih dari satu juga telah meninggal. Untuk Indonesia, terdapat lebih dari 400.000 kasus, dengan lebih dari 300.000 dinyatakan sembuh, dan 14.000 meninggal dunia.
Ghufron berharap vaksin merah putih dapat menurunkan jumlah kasus dan mencegah penyebaran virus. Dari vaksin tersebut pula diinginkan lahir herd immunity atau kekebalan kelompok agar masyarakat terlindungi, produktivitas terjaga, kembalinya perekonomian masyarakat, dan terjadi eradikasi penyakit.
“Kita harapkan vaksin yang dikembangkan memiliki efikasi tinggi, juga halal, harga terjangkau, dan aman,” ujar Ghufron dalam seminar virtual “Pengembangan Vaksin Merah Putih Melindungi Negeri” yang diselenggarakan Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) (11/11).
Baca juga: 4 Peran Penting Puskesmas Hadapi New Normal
Vaksin untuk orang sehat
Vaksin sendiri merupakan patogen atau kuman yang sudah mati atau dilemahkan dan jika diberikan pada orang yang sehat akan merangsang kekebalan spesifik dari sistem imun. Dengan demikian, vaksin digunakan sebagai upaya mencegah penyakit, sedangkan obat diberikan untuk menyembuhkan orang sakit.
“Vaksin harus diberi pada orang yang benar-benar sehat, tidak terkena penyakit meskipun penyakit kecil seperti flu dan batuk. Jika tidak, antibodi tidak akan terbentuk,” kata Novilia Sjafri Bachtiar, Kepala Surveilans dan Uji Klinik Bio Farma dalam seminar yang sama.
“Vaksin dibutuhkan ketika terdapat penyakit yang memberikan efek fatal, seperti kematian.
COVID-19 masuk ke dalam penyakit yang fatal, cepat menular, dan beban penyakitnya tinggi karena sudah berjuta orang yang positif,” ia menambahkan.
Ia memberikan contoh proses imunisasi vaksin yang sukses dalam kasus cacar bopeng atau variola pada 1967, dengan total kasus 10 hingga 15 juta dan dua juta kasus kematian. Sebelas tahun kemudian, tahun 1976, terdapat dua kasus dan kasus terakhir pada 1977. Cacar bopeng kemudian dinyatakan telah dihapus pada 1979.
Baca juga: Kisah Perawat COVID-19: Terpisah dari Keluarga, Jadi Teman Curhat Pasien
Novilia menambahkan, proses pembuatan vaksin bukan hal yang mudah karena membutuhkan teknologi yang memadai. Karenanya, dalam proses pengembangan vaksin, Bio Farma dan pemerintah bekerja sama dengan berbagai institusi dengan teknologi yang berbeda, seperti lembaga biologi molekuler Eijkman, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Airlangga.
“Jadi kalau dilihat saat ini ada tahap riset yang dilakukan Eijkman dan universitas lain. Jika hasil dari riset ini sudah baik maka dilakukan uji pra-klinis mencakup uji keamanan dan kemampuan untuk membentuk antibodi pada hewan,” jelas Novilia.
Ketika hasil dari riset dan uji keamanan itu bagus, maka langkah selanjutnya adalah uji klinis manusia yang dilakukan secara bertahap dalam tiga fase. Namun, dalam situasi genting, seperti pandemi proses ini bisa overlapping, kata Novilia.
“Jika hasilnya baik kemudian akan diregistrasi ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta World Health Organization (WHO). Fase empat berupa post marketing surveillance,” ujarnya.
Baca juga: Pandemi Hambat Program Penapisan Kanker Serviks di Indonesia
Lini masa pengembangan vaksin yang ditunjukkan Ghufron menunjukkan bahwa Maret 2021 adalah jadwal penyerahan bibit vaksin ke Bio Farma untuk uji klinis dan produksi pada Desember 2021.
“Targetnya clinical trial pada 2021 dan ditargetkan produksi dan berfungsi Desember 2021,” kata Ghufron.
Kerja sama juga dilakukan dengan industri swasta dengan koordinasi Bio Farma. Industri yang terlibat adalah Kalbe, Sanbe, Daewoong Infion, Biotis, dan Tempo Scan Pacific. Kerja sama dengan industri berkaitan dengan tingkat kebutuhan vaksin yang harus dipenuhi Indonesia. Meksipun Biotis memproduksi vaksin untuk hewan, dalam pengembangan vaksin Biotis didampingi oleh Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (BPOM).
“Kita melihat kebutuhan ratusan juta. Jumlah penduduk 270 juta dikali dua, berarti minimal 540 juta unit vaksin. Sedangkan kapasitas Bio Farma sekitar 250 juta kalau sudah direnovasi. Jadi pemerintah berkolaborasi dengan perusahaan nasional maupun swasta,” jelas Ghufron.
Untuk uji klinis vaksin dilakukan kepada orang dewasa karena kasus COVID-19 paling banyak menimpa masyarakat dewasa, ujar Novilia.
“Uji klinisnya pada orang dewasa dulu. Bila dirasa perlu imunisasi pada anak akan dilakukan juga uji klinis untuk kelompok usia di bawah 18 tahun,” ia menambahkan.