Culture Opini Screen Raves

Makin Lembek Saat Nonton Gore, Apakah Ini Tanda Saya Sudah Dewasa?

Dulu suka gore, sekarang agak melembek. Ada yang punya pengalaman serupa?

Avatar
  • November 27, 2023
  • 6 min read
  • 1283 Views
Makin Lembek Saat Nonton Gore, Apakah Ini Tanda Saya Sudah Dewasa?

(Mengandung sedikit spoiler tentang film Thanksgiving)

Sebenarnya saya sudah menyadari soal ini sejak tahun lalu tapi baru kemarin asumsi saya ini akhirnya terkonfirmasi.

 

 

Semuanya dimulai bulan April–Mei lalu ketika saya menonton Evil Dead Rise di bioskop. Tidak ada yang bisa mengalahkan sensasi menonton film horor di bioskop. Itu sebabnya saya memutuskan untuk pergi ke salah satu mal dengan layar terbesar di Jakarta di hari pertama, jam perdana pemutaran film karya Lee Cronin tersebut. Saya tidak melakukan ini sebelumnya: menutup telinga dan memicingkan mata saat menonton film. Bahkan ketika saya menonton Evil Dead versi 2013 yang jauh lebih gory. Tapi, belum 15 menit film berjalan, saya menemukan jantung saya berdebar lebih kencang.

Telapak tangan saya mendadak berkeringat.

Ada keinginan untuk keluar bioskop tapi saya tahan karena saya tahu Evil Dead Rise adalah film yang bagus (dan saya terbukti benar). Akhirnya untuk memanipulasi rasa tegang saya, saya memutuskan untuk mengeluarkan ponsel dan membaca ringkasan plotnya di Wikipedia untuk mempersiapkan diri akan hal terburuk.

Saya kira hal itu hanya akan terjadi di film itu saja. Tapi, ternyata ketika saya menonton Talk To Me di bioskop, saya juga merasakan hal yang sama. Walaupun secara film Evil Dead Rise jauh lebih gory daripada Talk To Me, tapi film karya Danny dan Michael Philippou itu ternyata lebih intens. Secara emosional, Talk To Me jauh lebih dalam dan kompleks daripada Evil Dead Rise. Rasa cemas karakternya dengan cepat nular ke saya yang akhirnya membuat saya lagi-lagi membuka Wikipedia untuk membaca plotnya agar saya bisa mempersiapkan diri kapan saya bisa tutup telinga.

Kemarin saya ke bioskop untuk menonton Thanksgiving, film slasher karya Eli Roth. Saya sudah pernah menonton Grindhouse yang otomatis membuat saya menonton trailer bohongannya. Saya sudah tahu apa yang akan saya lihat.

Dan melihat film-film horor Eli Roth sebelumnya, saya sudah membayangkan seperti apa Thanksgiving ini. Tapi lagi-lagi saya menemukan diri saya cemas dan akhirnya saya menyerah. Setelah kemunculan opening title saya membaca Wikipedia dan akhirnya saya bisa menonton film dengan tenang.

Baca juga: ‘The Big 4’ dan Kesukaan Kita pada Film ‘Gore’

Saya Dulu Tidak Begini

Bisa dibilang saya mempunyai toleransi yang kuat terhadap film-film yang menampilkan graphic violence atau gore yang kebangetan. Tapi ternyata itu dulu. Dulu saya bisa menonton film-film seperti Saw, Hostel, atau bahkan The Human Centipede. Waktu saya kuliah, ketika saya membaca premis film horor tentang dokter gila yang mengoperasi manusia seperti kaki seribu, yang ada di kepala saya adalah, “Wow, sepertinya akan menjadi pengalaman sinematik yang menakjubkan!” Ternyata saya tidak bisa begitu.

Dulu, saya bisa menyaksikan film seperti High Tension (kepala orang digebuk dengan tongkat bisbol berduri, kalau tidak salah), Martyrs (orang dikuliti demi mencari makna hidup setelah mati), Inside (orang gila yang tiba-tiba meneror perempuan hamil dan melakukan segala cara untuk mengeluarkan bayi itu dari perut si ibu) atau bahkan Suicide Club (teman saya bernama Henna Mulani menangis saat menonton pembukaannya).

Saya biasanya menonton film-film ini dalam sekali duduk. Satu-satunya film yang saya cicil nontonnya hanyalah A Serbian Film (jangan google, jangan cari tahu, pokoknya jangan). Itu pun karena saya merasa pembuatnya sedang melakukan tes diam-diam untuk melihat penonton macam apa yang bisa tahan menonton film ini tanpa merasa jijik.

Sekarang ternyata saya tidak bisa. Menonton D.P. (salah satu serial Korea terbaik yang ada di Netflix) saja saya sering memicingkan mata karena tidak tahan dengan penggambaran kekerasannya yang sangat lugas. Saya sebenarnya lowkey sadar bahwa toleransi saya terhadap gore sangat menurun tapi saya denial. Beberapa waktu lalu saya pernah mengetes diri saya dengan menonton ulang Funny Games (versi Naomi Watts) dan ternyata saya tidak kuat. Saya sekarang menjadi lembek.

Baca juga: ‘Squid Game’ Sampai ‘The Hunger Games’, Alasan Suka Tema ‘Deadly Games’

Mengapa Oh Mengapa

Kalau ditanya apa yang membuat saya menjadi begini, saya sebenarnya tidak bisa menjawab dengan jelas. Tapi mungkin ini semua ada hubungannya dengan fakta bahwa saya memiliki kucing. Sejak tinggal bersama Rico dan Abi, saya menemukan diri saya semakin hari semakin sensitif, in a best way possible. Saya gampang bahagia. Ralat, gampang bahagia mungkin bukan deskripsi yang tepat. Mungkin lebih tepatnya, saya lebih mudah untuk menemukan kebahagiaan.

Siapapun yang bilang “kalau sedih, adopsi saja kucing” itu memang benar adanya. Saya bisa menghilangkan kepenatan yang ada di kepala saya hanya dengan mengelus kucing-kucing saya, yang kemudian diikuti dengan momen ngobrol dengan dua makhluk bulu itu.

Melihat makhluk tak berdaya tapi begitu menggemaskan itu tidur bisa membuat saya tenang. Saya tidak tahu ini magis macam apa, tapi itu yang terjadi. Semenjak saya punya kucing, saya jadi lebih mudah mengapresiasi keindahan-keindahan kecil dalam hidup saya. Saya selalu tertawa saat melihat meme atau video kucing. Saya lebih mudah senang dan neriman. Dulu, saya bisa uring-uringan kalau ada satu hal yang tidak berjalan seperti rencana saya. Sekarang saya lebih legowo. It’s easier to say, “Ya udah sih,” daripada menghabiskan seharian dengan energi negatif.

Mungkin karena ini juga saya jadi tidak tahan menyaksikan konten-konten yang terlalu gore. Kalau melihat video orang adopsi kucing (yang biasanya ditemukan di jalanan) sudah membuat saya berkaca-kaca, bayangkan saya ketika menonton drama korea. Start-Up, salah satu drama korea yang menghebohkan warga pada saat pandemi, mungkin tidak sesedih itu. Tapi tidak ada satu pun dari 16 episode yang ada saya tonton dengan pipi kering. Saya selalu bisa menemukan momen haru yang bisa saya tangisi.

Teori saya yang kedua, tentang kenapa saya niat membuka Wikipedia untuk membaca plot film yang saya sedang tonton di dalam bioskop, adalah kenyataan bahwa saya sudah di fase dimana saya tidak ingin dikejutkan oleh hal-hal yang tidak perlu.

Baca Juga: Kenapa Perempuan Selalu Menjerit dalam Film Horor?

Mungkin ini sebabnya kita mempunyai kecenderungan untuk menonton ulang serial yang sudah kita pernah tonton sebelumnya saat menemani makan. Hampir semua teman saya memiliki serial kuncian mereka. Entah itu Friends, How I Met Your Mother, New Girl atau bahkan mungkin Fleabag. Semua orang memiliki tontonan yang terus mereka kunjungi lagi dan lagi. Menonton konten yang kita sudah hapal ceritanya seperti apa ternyata comforting. Dan itu mungkin yang saya lakukan saat saya membaca plot Thanksgiving di dalam bioskop. Saya ingin mempersiapkan diri saya atas skenario terburuk (seperti misalnya salah satu karakter yang dibunuh dengan cara dimasak hidup-hidup).

Membaca ini semua membuat saya kembali bertanya-tanya: apakah ini tanda bahwa saya sudah dewasa?



#waveforequality


Avatar
About Author

Candra Aditya

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *