Kenapa Perempuan Selalu Menjerit dalam Film Horor?
Terlalu familiar dengan adegan perempuan yang selalu berteriak dalam film horor? Hati-hati, akar pola itu muncul dalam film adalah sikap misoginis yang tersembunyi.
“AAARRRGGGHHH!!!”
Untuk kesekian kalinya, saya mengernyit menonton adegan yang sama. Dari tahun ke tahun sejak kecil, mayoritas film horor hampir selalu begitu. Karakter perempuan, apalagi pemeran utama, selalu digambarkan mudah menjerit histeris setiap kali melihat atau mengalami sesuatu yang menakutkan. Mungkin memang cukup banyak yang begitu, tapi apa iya semua perempuan reaksinya sama? Bagaimana dengan perempuan di dunia nyata?
Kenapa perempuan selalu digambarkan mudah menjerit dalam film horor?
Baca juga: Film Horor Simbol Ketakutan Atas Kekuatan Perempuan
Di Balik Jeritan Perempuan
Menjerit dalam film horor, entah karena ekspresi ketakutan atau kemarahan, bukan perkara mudah. Pada kenyataannya, butuh tenaga dan cenderung berisiko menumbalkan pita suara aktornya. Contoh: Shelley Duvall pernah sampai kehabisan suara saat dipaksa menjerit berkali-kali dalam film horor The Shining pada 1980-an.
Film yang berasal dari novel horor karya Stephen King dan disutradarai Stanley Kubrick ini sempat bikin Duvall absen cukup lama dari dunia peran pasca-syuting. Dalam salah satu wawancara, Duvall mengakui perannya sebagai Wendy Torrance, istri teraniaya, praktis menguras habis energi dan kesehatan mentalnya.
Saat syuting film I Still Know What You Did Last Summer pada 1998, Jennifer Love-Hewitt, pemeran Julie James, juga sampai kehilangan suara karena terus-terusan menjerit. (Ini cukup riskan, mengingat Love-Hewitt juga seorang penyanyi.) Untuk mengakalinya, selama sisa syuting, kru menggunakan stok rekaman suara jeritan Love-Hewitt yang sudah ada.
Dulu saya sempat kesal, karena banyaknya perempuan yang menjerit dalam film horor kemudian jadi bahan ledekan banyak kenalan laki-laki dalam hidup saya. Mereka gemar mengejek: “Cewek kan, lemah dan penakut. Dikit-dikit jerit, bentar-bentar histeris.”
Tak jarang, mereka menirukan suara jeritan perempuan dengan nada tinggi yang sungguh dibuat-buat. Mengganggu sekali. Pertanyaan ini sempat mengusik benak saya selama bertahun-tahun.
Benarkah demikian? Masalahnya, saya sendiri bukan perempuan seperti itu. Boro-boro langsung menjerit lepas, reaksi panik atau takut saya justru diam membeku. Bahkan, saat punggung tangan pernah kena tumpahan kopi panas atau tak sengaja tersundut rokok, reaksi saya juga begitu. Sekalinya menjerit, biasanya karena rasa sakit yang sudah tidak tertahankan lagi, seperti saat cedera lutut Juli 2022 lalu. Itu pun terhitung jarang sekali.
Kalau pun menjerit marah, saya tidak pernah bisa terdengar melengking. Suara saya cenderung agak berat dan dalam. Selain itu, banyak perempuan yang belum tentu bereaksi dengan cara menjerit bila melihat atau mengalami sesuatu yang menakutkan. Masih ingat dengan istilah ‘tonic mobility’, yaitu respon terdiam karena shock? Banyak korban pelecehan dan kekerasan seksual yang mengalami hal ini. Sialnya, respon begitu sering disalahartikan sebagai “diam-diam menikmati”.
Ada yang beranggapan bahwa jeritan perempuan biasanya cenderung lebih melengking, memilukan dan mengerikan. Makanya ini jadi salah satu spekulasi di balik alasan karakter perempuan banyak menjerit dalam film horor.
Ada juga perempuan yang malah jatuh pingsan atau muntah-muntah karena asam lambung yang mendadak naik akibat respon terhadap stres. Jadi ya, tidak akurat juga kalau sampai ada anggapan bahwa SEMUA perempuan pasti akan menjerit bila melihat atau mengalami sesuatu yang mengerikan. Serangan panik bagi setiap orang tidak sama.
Baca juga: ‘Ginger Snaps’ dan ‘Jennifer’s Body’, Monster Perempuan yang Feminis
Meskipun belum begitu banyak, ada juga kok, karakter utama perempuan yang tidak mudah menjerit meskipun berulang kali mengalami kejadian mengerikan. Contohnya, karakter Sydney Prescott (Neve Campbell) dalam film Scream. Hingga seri kelima di awal 2022 ini, Sydney digambarkan sebagai perempuan tangguh, meskipun berulang kali diteror oleh pembunuh bertopeng Ghost Face. Hanya di seri pertama dia lebih banyak menjerit ketakutan.
Sekalinya ada karakter perempuan yang tidak menjerit, kita malah disuguhi lebih banyak hantu perempuan yang diam dan melotot dalam kegelapan macam Sundel Bolong-nya mendiang Suzzana.
Apakah ada karakter laki-laki yang menjerit ketakutan dalam film horor? Pastinya ada. Namun, entah kenapa, yang digambarkan sebagai “tukang mudah menjerit” kebanyakan perempuan. Penonton yang misoginis pasti akan langsung mengejek si laki-laki penjerit“mirip perempuan”, seolah kebiasaan yang lazim dilakukan perempuan itu sungguh hina. Selain itu, fakta ini juga menambah stigma buruk perempuan, yang makin dicap sebagai mahluk histeris dan berisik, alih-alih berusaha bertindak sesuatu saat krisis.
Sayangnya, saya belum menemukan hasil riset mengenai penyebab perempuan dalam film horor lebih sering digambarkan sebagai tukang jerit dari peneliti Indonesia. Namun, saya menemukan tulisan karya Elizabeth Erwin, mantan blogger Entertainment Weekly yang kini menjadi salah satu co-creator Horror Homeroom, sebuah website dan podcast yang didedikasikan khusus untuk membahas film genre horor dari segi akademis.
Pada tahun 1986, sebuah esai berjudul When A Woman Looks karya Linda Williams berisi kritik mengenai female gaze dalam film horor yang mencerminkan status budaya subordinat perempuan dan relasinya dengan sesuatu yang mengerikan (monstrosity). Penelitian Erwin juga terkait dengan jeritan perempuan dalam film horor.
Sudah jelas bahwa masih banyak yang berasumsi bahwa semua karakter perempuan menjerit dalam film horor karena mereka diteror. Ada pemahaman umum bahwa genre ini sangat misoginis. Kalian pasti ingat dengan adegan-adegan lazim macam ini: perempuan yang histeris saat menemukan jenazah korban pembunuhan, melihat seseorang disiksa, hingga saat dikejar penjahat atau monster.
Sayangnya, esai karya Williams ini gagal menyorot kerumitan emosi maupun pengalaman perempuan. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, perempuan—seperti manusia pada umumnya—menjerit bukan selalu karena takut. Ada yang menjerit karena marah, kesakitan, hingga berusaha untuk didengar. Disertasi Erwin memposisikan jeritan perempuan dalam film horor Amerika sebagai tindakan perlawanan performatif penyintas saat melawan monster atau penjahat.
Baca juga: Peran ‘Perempuan Korban’ di Film: Basi dan Harus Ditinggalkan
Ironi Film Horor: Perempuan Juga Banyak Jadi Karakter Utama
Meskipun banyak film horor kerap menampilkan tokoh perempuan secara sempit (kalau bukan korban, ya penjahat atau hantunya sekalian), ternyata ada banyak juga karakter utama perempuan sebagai jagoan. Menariknya, karakter utama perempuan baru digambarkan “lebih manusiawi”, kompleks, dan punya kegigihan untuk bertahan hidup dari situasi mengerikan.
Mungkin sesekali mereka masih menjerit, namun pada akhirnya berani mati-matian melawan soosk jahat demi mempertahankan hidup mereka. Sydney Prescott dalam film Scream hanyalah salah satunya.
Menjerit Adalah Respon Alamiah Siapa Pun terhadap Teror
Seharusnya hal ini tidak menambah stigma buruk perempuan. Di dunia nyata, menjerit adalah respon alamiah siapa pun terhadap teror. Tidak hanya dilakukan oleh perempuan. Mereka yang hobi mengejek karakter perempuan dalam film horor (meski dengan alasan bercanda sekalipun) sebaiknya tidak sesumbar. Bila belum pernah mengalami hal serupa, dari mana kamu tahu kamu pun tidak akan menjerit ketakutan—atau malah jatuh pingsan?
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.