Culture

‘The Big 4’ dan Kesukaan Kita pada Film ‘Gore’

Potongan tubuh manusia, darah bercucuran di mana-mana. Aku ngobrol dengan mereka yang suka menonton adegan kekerasan eksplisit dalam film. Ini jawaban mereka.

Avatar
  • January 5, 2023
  • 8 min read
  • 1298 Views
‘The Big 4’ dan Kesukaan Kita pada Film ‘Gore’

Satu hari setelah film The Big 4 tayang perdana di Netflix pada (15/12), media sosial cukup riuh dibanjiri komentar netizen. Film besutan Timo Tjahjanto itu digandrungi karena penuh aksi laga ciamik, guyonan kasar mengocok perut, dan kekerasan grafis yang brutal. Sehingga, penonton tak disarankan menontonnya saat makan.

Tanpa mengindahkan saran tersebut, aku menonton The Big 4 saat jam makan siang. Seraya menyuap Nasi Padang dari tangan, aku melihat berbagai adegan dengan darah bercucuran dan potongan tubuh melayang. Semuanya aku lihat tanpa berkedip, dan sama sekali tak membuat nafsu makanku hilang.

 

 

Mungkin reaksiku buat sebagian orang terdengar aneh. Kok bisa-bisanya aku menonton adegan kekerasan grafis seperti itu tapi tak merasakan apa-apa? Sambil menikmati Nasi Padang dengan lahap pula.

Jawabannya sederhana. Aku memang selalu suka dengan gore, subgenre film horor yang memuat gambaran grafis kekerasan, khususnya luka fisik serius seperti cucuran darah, daging, dan organ manusia.

Ternyata aku tak sendiri. Buktinya, tontonan The Big 4 sempat menduduki posisi satu film Netflix berbahasa asing terlaris pada paruh Desember tahun lalu. Begitu pula dengan franchise film Saw, Battle Royale yang jadi sensasi pada 2000-an awal, hingga Midsommar yang pada 2019 sempat jadi buah bibir. Film yang terakhir disebut ditayangkan tengah malam untuk mengantisipasi tidak ada penonton anak-anak.

Baca Juga:Kenapa Perempuan Selalu Menjerit dalam Film Horor?

Adrenaline Junkie dan Dark Copper: Alasan Orang Suka Gore

Melihat minat akan gore, aku jadi tertarik mencari orang-orang yang punya kecintaan yang sama denganku. Aku ingin tahu, selain diriku, apa, sih yang membuat banyak orang mencintai gore. Aku mengobrol dengan lima orang pecinta genre tersebut. Alasannya beragam, tapi ada satu yang paling menonjol. Kelima orang yang aku wawancarai ternyata adalah adrenaline junkie.

Dilansir dari Psychology Today, adrenaline junkie adalah salah satu tipe penggemar genre horor yang sengaja menonton untuk mendapatkan pengalaman baru, kompleks, dan intens. Mereka mendapatkan kepuasan atau kesenangan ketika melihat adegan kekerasan brutal dan grafis yang tak jarang menimbulkan adiksi.

Inilah yang dirasakan oleh semua orang yang aku wawancarai: Andrew (19), Wikan (28), Nana (20), Faqihah (27), dan Chika (25). Kecintaan mereka terhadap gore didorong oleh kebutuhan mencari ketegangan atau ketakutan, yang hanya bisa diberikan lewat adegan-adegan kekerasan brutal.

Faqihah, fans berat Battle Royale dan Mirai Nikki bahkan secara spesifik mengungkapkan, dibandingkan genre horor hantu yang penuh dengan jumpscare, gore lebih memberikan kepuasan dan kesenangan. Adrenalinnya serasa dipacu ke titik maksimal layaknya menaiki roller coaster pada tanjakan tertingginya.

Faqihah paling senang melihat kekerasan grafis dengan darah bercucuran. Begitu pula dengan adegan-adegan yang menampilkan tubuh terpotong-potong atau tersayat.

“Seru aja gitu lihat darah muncrat-muncrat. Ngerasa ‘waw’ aja tiap abis nonton. Rasanya pengen nonton terus, apalagi kalau ada adegan yang antagonisnya kesiksa gitu. Udah berdarah-darah tapi belum end juga, puas banget lihatnya,” jelas dia.  

Baca Juga: Trilogi ‘Fear Street’: Amarah Perempuan dari Alam Kubur

Kepuasan menonton adegan berdarah penuh kekerasan dan ketagihan juga dialami Chika, reporter Magdalene. Sama seperti Faqihah, Chika lebih menyukai gore dibandingkan horor hantu. Menurutnya, film atau serial horor hantu tidak memberikan rasa kaget yang memuaskan karena banyak jumpscare yang dianggapnya berlebihan atau tidak perlu.

Sementara, rasa kaget yang diberikan dalam gore cenderung lebih memuaskan. Sebab, adegan-adegannya ditampilkan sangat nyata dan memang diperlukan untuk keberlangsungan cerita. Hal ini pula yang akhirnya menimbulkan perasaan lega bahkan menyenangkan pasca menonton film atau serial gore. Perasaan yang berbanding terbalik jika ia menonton film horor hantu.

“Adrenalin yang terpacu selama nonton gore ini yang aku suka. Rasa deg-degan selama adegan bunuh-bunuhan ini yang aku suka dan setelahnya ada perasaan lega dan senang,” ungkap Chika.

Menariknya, rasa puas ini tak hanya hadir dalam satu dimensi saja. Bagi sebagian orang yang aku wawancara, rasa puas akan lebih besar ketika mereka melihat tokoh antagonis atau the bad guys mati perlahan dan secara mengenaskan.

Wikan suka sekali melihat film atau serial gore yang mampu memberikan hukuman atau ganjaran kejam bagi karakter antagonis. Buat dia, karakter antagonis patut dihukum dengan cara yang kejam nan sadis apalagi di dunia yang tak punya batasan moral dan hukum yang ketat. Dengan melihat setiap detail penyiksaan yang dialami karakter antagonis inilah, Wikan merasa sangat puas.

“Ibaratnya kalau penjahatnya tersiksa banget, gue jadi seneng banget. Lu mati aja enggak cukup, itu bagusnya digituin (disiksa). Itu kejadian di Games of Throne, Theon Greyjoy. Dia disalib, dikulitin. Treatment gore yang dilakukan ke dia itu bikin gue puas banget,” jelasnya.

Hal yang sama juga dialami Andrew. Sebagai pecinta gore, rasa puas terhadap adegan-adegan kekerasan grafis lebih nampol ketika ia melihat the bad guys being tortured. Inilah yang jadi alasan kenapa ia sangat menyukai franchise film Saw besutan James Wan dan Leigh Whannell. Kata Andrew, korban-korban dalam film itu adalah orang yang pernah membuat kesalahan atau tidak menghargai hidup. Mereka ini yang nantinya masuk dalam perangkap jigsaw dan mengalami penyiksaan sadis.

Baca Juga: Film Horor Simbol Ketakutan Atas Kekuatan Perempuan

Namun, tak selamanya seseorang menyukai gore hanya karena ingin memacu adrenalin. Buat sebagian orang, gore adalah cara mereka untuk mengatasi perasaan cemas yang mereka alami. Tipe penggemar ini dalam genre horror disebut dark copper.

Dilansir dari artikel Psychology Today yang sama, para dark copper memang mencari adrenaline rush dalam genre ini, tetapi di saat bersamaan, juga jadi cara guna melatih keterampilan pengaturan emosi atau mengatasi perasaan cemas. Dark copper adalah orang yang di kehidupan nyata memang cenderung mudah panik atau cemas.

Dalam wawancara bersama lima orang narasumber, ada dua orang yang bisa dikategorikan sebagai dark copper, yakni Wikan dan Nana. Keduanya mengaku mudah panik dan cemas. Apalagi jika mereka harus menghadapi hal-hal di luar prediksi atau ekspektasi yang mereka miliki.

Nana mengungkapkan, film yang rata-rata ia tonton memang ditunjukkan untuk coping mechanism dari luapan emosi yang ia rasakan. Wikan pun sama. Ia mengatakan gore jadi salah satu caranya mengatasi kecemasan berlebihan yang ia miliki.

“Daripada overthinking, gore itu jadi hiburan sekaligus pelarian biar enggak sempet ngerasa anxious,” kata Wikan.

Wajarkah Kita Menyukai Gore?

Baik aku maupun kelima orang yang aku wawancarai, kami semua mencintai gore karena mampu memberikan kepuasan tersendiri. Buat banyak orang mungkin kecintaan kami terhadap gore relatif aneh.

Apakah dengan demikian, kecintaan kami ini salah? Apakah benar kami adalah orang abnormal calon psikopat?

Jawaban atas pertanyaan ini mungkin bisa dijawab bertahap. Pertama, genre ini secara khusus dibuat untuk menimbulkan rasa jijik. Dilansir dari The Conversation, riset psikologis menunjukkan, rangsangan yang menjijikkan bisa menangkap dan mempertahankan fokus kita terhadap sesuatu. Bahkan lebih efektif daripada rangsangan yang netral secara emosional.

Peneliti media Bridget Rubenking dan Annie Lang menjelaskan, meskipun rasa jijik bisa menjadi perasaan yang tidak menyenangkan dan memberikan sinyal pada hal berbahaya, emosi ini telah berevolusi untuk menarik perhatian manusia, dan manusia cenderung menikmatinya.

Psikolog Nina Strohminger lebih lanjut menjelaskan fitur yang menyenangkan dari rasa jijik adalah contoh “masokisme jinak”. Suatu kecenderungan manusia untuk mencari pengalaman yang tampaknya “negatif” untuk tujuan rekreasi dan menikmatinya dengan resiko terbatas atau seminim mungkin. Contohnya memakan makanan sangat pedas atau menonton film tertentu yang bisa menimbulkan emosi negatif.

Sementara itu, psikolog berkebangsaan Inggris Dr. Lee Chambers kepada Salon mengungkapkan, kecenderungan menonton gore juga didasari kemampuan manusia dalam mengidentifikasi mana realitas dan fiksi.

Adegan berdarah-darah penuh potongan tubuh dalam gore yang kita konsumsi adalah sesuatu yang kita jarang atau bahkan belum sama sekali kita lihat di dunia nyata yang aman dan terkendala Dengan demikian, selama menonton gore kita dapat mengontrol jarak yang kita rasakan dari aktor dan orang yang sebenarnya. Inilah yang kemudian membuat menonton gore jadi medium bagi sebagian orang untuk menguji batas respons emosi mereka dengan nyaman tanpa harus berhadapan langsung dengan bahaya dan rasa jijik.

“Dalam kehidupan yang semakin aman dan terkendali, kesempatan untuk mengalami rasa takut dan rasa sakit secara emosional bisa menjadi sesuatu yang menarik dan baru,” jelas Chambers.

Tak hanya karena secara esensial manusia bisa membedakan fiksi dan kehidupan nyata, kecintaan seseorang pada gore juga didasari teori Dr. Dolf Zillmann, “Excitation transfer”. Simon McCarthy-Jones, Associate Professor Psikologi Klinis dan Neuropsikologi di Trinity College Dublin menjelaskan dalam teori ini Zillman menunjukkan, menonton kekerasan membuat kita terangsang.

Dalam artian, tontonan ini menstimulasi tingkat gairah psikologis manusia lewat pelepasan endorfin dan dopamin. Hal itu berarti kita sebagai penikmat konten horor dapat merasakan senang dan tegang yang berujung pada sensasi euforia.

Sensasi euphoria yang tinggi ini pun semakin terasa ketika dalam gore, hukuman atau ganjaran untuk para karakter antagonis atau the bad guys ditegaskan. Lewat hukuman sebenarnya penonton gore tidak secara spesifik menikmati adegan kekerasan.

Mereka lebih cenderung menikmati pada konsekuensi tindakan yang dialami karakter antagonis. Puas kata Wikan sebelumnya dan inilah yang juga diungkapkan secara blak-blakan oleh filsuf seni Noël Carroll, “Kita suka melihat orang terluka ketika mereka pantas untuk disakiti.” Jadi walaupun terkesan aneh, nyeleneh, atau mengerikan, sebenarnya ada sejumlah alasan kenapa banyak orang mencintai gore. We’re not sick in the head, so just relax. It’s just a show.


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *