People We Love

Linda Adoe: ASN dari Rote yang Perankan Orpa dalam ‘Women from Rote Island’

Linda Adoe berharap ‘Women from Rote Island’ bisa menyadarkan penonton untuk merangkul korban kekerasan seksual. Ini obrolan lengkap saya dengannya.

Avatar
  • March 14, 2024
  • 4 min read
  • 8458 Views
Linda Adoe: ASN dari Rote yang Perankan Orpa dalam ‘Women from Rote Island’

Ada satu hal yang jadi ciri khas film tentang kekerasan seksual Women from Rote Island (2023). Adalah latar belakang pemain yang bukan dari kalangan aktor profesional. Mereka berasal dari Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang sengaja dipilih Jeremias Nyangoen—sutradara film ini—untuk mempertahankan dialek dan nyawa cerita.

Salah satunya Linda Adoe, pemeran Orpa. Di kehidupan nyata, ia bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), mengepalai Seksi Pemberdayaan Masyarakat di Kecamatan Rote Barat, Kabupaten Rote Ndao.

 

 

Awalnya, Linda enggak tertarik ikut audisi Women from Rote Island, yang diadakan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Rote Ndao. Menurutnya, enggak mungkin ada pembuat film mau syuting di Rote, karena pulau itu begitu kecil. Apalagi Linda juga belum paham soal pembuatan film.

Baca Juga: Film Sebagai Katarsis Bagi Penyintas Kekerasan Seksual

Namun, ia tetap mencoba kesempatan tersebut, demi menghargai kru yang datang ke kediamannya—kebetulan proses casting dilakukan door-to-door selama tiga bulan. Dari rangkaian casting, Linda terpilih untuk memerankan karakter Orpa, ibu dari dua anak yang mengalami kekerasan seksual dan femisida.

Sebagai ibu yang juga memiliki dua anak, Linda melihat kesamaan antara hidup pribadinya dengan karakter Orpa. Hal itu menjadi pendekatan Linda dalam memerankan Orpa, yakni membayangkan kekerasan seksual terjadi pada anak-anaknya.

“Saya menganggap, Martha dan Bertha (anak-anak Orpa di film) adalah anak-anak yang saya lahirkan. Itu membuat saya lebih gampang menyampaikan cerita,” cerita Linda saat berkunjung ke kantor Magdalene.

Proses pendalaman karakter itu dibantu oleh acting coach, Jeremias, dan pemeran Women from Rote Island lainnya. Linda merasa beruntung, memiliki lingkungan yang suportif untuk pengalaman akting perdananya.

“(Pengalaman) itu berkah luar biasa untuk saya,” ujar Linda. “Apalagi sebelumnya enggak pernah terpikirkan terlibat dalam dunia perfilman.”

“Saya menganggap, Martha dan Bertha (anak-anak Orpa di film) adalah anak-anak yang saya lahirkan. Itu membuat saya lebih gampang menyampaikan cerita,” cerita Linda saat berkunjung ke kantor Magdalene.

Baca Juga: Nasib Masyarakat Adat di Indonesia: Terabaikan, Termarginalisasi, Tak Dilindungi

Realitas Kehidupan Masyarakat di Rote

Sebagai warga Kupang, Linda akrab dengan kasus kekerasan seksual yang diselesaikan secara kekeluargaan—sebagaimana dipotret dalam Women from Rote Island. Menurut Linda, penyebabnya adalah budaya dan adat istiadat yang masih menjadi tolok ukur di masyarakat.

Karena itu, masyarakat cenderung menyelesaikan kasus secara adat. Misalnya membayar denda adat dengan binatang. Setelahnya, baru dilaporkan ke polisi agar diproses lewat hukum nasional.

“Tapi ada juga, kasus (kekerasan seksual) yang cuma diselesaikan lewat hukum adat. Mereka berpikir, pelakunya masih keluarga. Soalnya, orang Rote itu menikah antarkampung atau desa,” tutur Linda.

Ia sendiri menilai, sebagian adat istiadat tak lagi relevan jika dipraktikkan di era kini. Contohnya to’ok. Tradisi ini dilakukan oleh keluarga yang punya anak laki-laki, dan akan menikah. Mereka mengundang kerabat, tetangga—bahkan orang-orang yang enggak dikenal—untuk makan dan membawa sejumlah uang atau binatang. Hadiah itu kemudian dicatat, supaya anak yang akan menikah bisa membalasnya, saat anak si pemberi akan menikah.

Masyarakat Rote memandang tradisi to’ok sebagai gotong royong. Namun, Linda justru menganggapnya perlu ditinggalkan. Sebab, to’ok cukup menghabiskan penghasilan, karena standar pemberiannya adalah Rp250 ribu. Sementara jika tidak hadir, warga akan membicarakan di belakang dan enggan datang, saat gilirannya mengundang pernikahan.

Baca Juga: ‘Surviving R. Kelly’ Sadarkan Saya Akan Kekerasan Seksual yang Saya Alami

“Menurut saya, tradisi itu harus ditinggalkan karena meninggalkan utang untuk anak cucu,” kata Linda.

Selain menyorot realitas perempuan di Indonesia Timur yang memperjuangkan haknya, perihal tradisi dan penyelesaian konflik secara kekeluargaan inilah yang dikritisi Women from Rote Island. Terutama dalam menangani kasus kekerasan seksual. Sebab, masyarakat di beberapa tempat masih menganggap, kekerasan seksual adalah topik yang tabu dibicarakan. Akibatnya, korban di Rote pun dikucilkan, dirundung, dan dipasung, dengan anggapan menyelesaikan persoalan.

Karena itu, Linda menegaskan, Women from Rote Island ingin membangun kesadaran penonton, untuk merangkul korban kekerasan seksual.

“Film ini ingin menyampaikan, korban kekerasan seksual itu berharga dan perlu didukung, karena mereka berhak melanjutkan hidup,” tutup Linda.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *