Culture Screen Raves

‘Women from Rote Island’: Kekerasan Seksual Eksplisit, ‘Trigger Warning’, dan Homoerotik yang Homofobik

Film Terbaik Festival Film Indonesia tahun lalu ini menuai kontroversi karena adegan perkosaannya yang eksplisit.

Avatar
  • February 28, 2024
  • 8 min read
  • 1282 Views
‘Women from Rote Island’: Kekerasan Seksual Eksplisit, ‘Trigger Warning’, dan Homoerotik yang Homofobik

Peringatan: Artikel ini mengandung spoiler dan penggambaran kekerasan seksual.

Martha (Irma Novita Rihi) pulang ke Pulau Rote untuk menghadiri pemakaman ayah. Kondisinya terlihat tidak baik-baik saja: tatapan Martha kosong, tubuhnya lemah, dan lebih suka menyendiri.

 

 

Awalnya, keluarga Martha tak menyadari perubahan itu. Begitu melihat Martha ketakutan saat bertemu seorang lelaki, mereka tahu. Ada sesuatu yang terjadi selama Martha bekerja sebagai pekerja migran ilegal di Malaysia.

Idealnya, kepulangan ke Tanah Air menyelamatkan Martha, dari kebengisan orang-orang yang merebut otonomi tubuhnya. Namun, Martha justru kembali terjerat dalam rantai kekerasan seksual—perkosaan dan berakhir pada kehamilan tak diinginkan.

Dampak psikologis yang dialami Martha pun ditampilkan sepanjang film. Ia kesulitan berkomunikasi, berfungsi dalam keseharian, dan menghindari interaksi dengan laki-laki. Meski menyorot trauma lewat sejumlah perilaku di atas, Women from Rote Island (2023) tak mereduksi trauma, dengan memotret Martha sebagai perempuan berdaya di akhir film.

Sebab, trauma kekerasan seksual yang dimiliki perempuan, sering kali dimanfaatkan untuk pengembangan karakter. Daenerys Targaryen (Emilia Clarke) dalam Game of Thrones (2011-2019), misalnya. Ia beberapa kali mengalami pemerkosaan, lalu diceritakan menjadi sosok yang tangguh.

Kylie Cheung dalam tulisannya Has the ‘Game of Thrones’ Franchise Learned Anything About Portraying Rape? menyebut, plot seperti itu digunakan agar perempuan terlihat kuat atau “menarik”—sehingga kekerasan seksual perlu disyukuri.

Ulasan Film Women from Rote Island
Sumber: IMDB

Sebaliknya, Women from Rote Island menyatakan, kekerasan seksual berdampak begitu besar. Bukan hanya terhadap korban, melainkan kerabat yang berperan sebagai pendamping. Sebagai ibu Martha, Orpa (Linda Adoe) merasa gagal melindungi anak sulungnya. Ia terguncang dan terus menyalahkan diri, atas rangkaian peristiwa yang menimpa Martha.

Satu-satunya cara yang bisa Orpa tempuh adalah membawa kasus ke ranah hukum untuk mendapatkan keadilan—suatu langkah yang tak mudah dilakukan, di tengah kondisi masyarakat yang ingin menyelesaikan perkara secara kekeluargaan.

Baca Juga: Film Sebagai Katarsis Bagi Penyintas Kekerasan Seksual

Mengkritisi Masyarakat yang Menyelesaikan Konflik Secara Kekeluargaan

Berpusat pada kehidupan masyarakat adat, merupakan ciri khas utama yang membedakan Women from Rote Island, dengan film tentang kekerasan seksual di Indonesia lainnya. Selaku sutradara dan penulis skenario, Jeremias Nyangoen mengangkat kultur masyarakat di Pulau Rote, yang menyelesaikan permasalahan secara kekeluargaan. Termasuk kekerasan seksual.

Ketika diwawancara Magdalene, Linda menjelaskan penyebabnya. Adalah kecilnya populasi penduduk di Pulau Rote, dan mereka yang masih memegang budaya serta adat istiadat. Pernikahan pun terjadi antar kampung dan desa. Apabila dikaitkan, masih ada hubungan keluarga dengan satu sama lain. Maka itu, untuk menutupi aib keluarga, kasus kekerasan seksual kerap diselesaikan dengan hukum adat—seperti membayar denda adat dengan hewan.

Dikarenakan penduduk Pulau Rote dikenal patuh terhadap hukum adat, masyarakat menilai mereka mengesampingkan hukum nasional. Situasi inilah yang dikritisi oleh Women from Rote Island.

Review Film Women from Rote Island
Sumber: IMDB

Mengetahui pemerkosa Martha adalah Habel, keluarganya, Orpa meminta untuk memenuhi sanksi adat. Yakni menggali kuburan ibu Habel, untuk mengambil tulang belulang—simbol merebut kembali kehormatan atas perlakuan terhadap Martha. Setelahnya, Orpa bersikeras melapor pada polisi. Meski Habel dan istrinya berulang kali memohon, agar perkara tidak dibawa ke ranah hukum.

Sementara di adegan lain, film ini mempertimbangkan adat yang tak realistis di era kini. Yaitu larangan istri untuk keluar rumah saat suaminya meninggal, selama jenazah belum dimakamkan.

Orpa sempat ditegur ibunya lantaran melanggar aturan tersebut. Padahal, ceritanya sudah hari kedelapan sejak suami Orpa meninggal. Sulit jika Orpa mengandalkan bantuan tetangga, untuk memenuhi kebutuhan dan melakukan pekerjaan domestik. Mau tak mau, ia tetap menjalankan tanggung jawab, sambil menunggu pemakaman suami setelah kepulangan Martha.

Women from Rote Island patut diapresiasi dalam mengkritisi hukum adat dan penyelesaian konflik secara kekeluargaan. Namun, ada catatan lain terkait adegan kekerasan seksual yang perlu dikritisi.

Baca Juga: 3 Catatan Penting dari Film Kekerasan Seksual ‘Cyber Hell’

Male Gaze dan Adegan Kekerasan Seksual yang Eksplisit Tanpa Trigger Warning

Saat film ini memperoleh empat kategori penghargaan di Piala Citra 2023—dua di antaranya Film Cerita Panjang Terbaik dan Sutradara Terbaik, tak dimungkiri sebuah pertanyaan muncul di benak saya: seperti apa potret kekerasan seksual, jika diceritakan dari sudut pandang laki-laki?

Pakar teori film Laura Mulvey pernah menjelaskan tentang male gaze, dalam Visual Pleasure and Narrative Cinema (1975). Ia mendefinisikan male gaze sebagai penggambaran perempuan dalam literatur dan seni visual, melalui perspektif laki-laki heteroseksual. Dari sudut pandang itu, karakter perempuan diobjektifikasi demi kepuasan seksual laki-laki. Mereka bukan dilihat sebagai individu utuh, melainkan fisik, kecantikan, dan daya tarik seksual.

Contohnya dalam Selesai (2021). Lewat karakter Bambang, film garapan Tompi itu memperlakukan perempuan sebagai objek seksual. Misalnya saat istri Bambang menolak ajakannya berhubungan seks. Demi memuaskan hasrat seksual, Bambang malah masturbasi sambil membayangkan sosok perempuan lain.

Sementara dalam Women from Rote Island, male gaze muncul lewat pengambilan gambar. Seperti perempuan telanjang, dan shot kamera ke arah payudara saat adegan kekerasan seksual. Shot ini menempatkan perempuan sebagai objek, yang ditujukan untuk audiens laki-laki.

Agar penonton memahami cerita, sebenarnya film enggak harus menampilkan kekerasan seksual secara eksplisit. Apalagi menunjukkan ketidakberdayaan korban—seperti pemotretan karakter Martha yang rentan karena mengalami masalah kesehatan mental. Kerentanan Martha kemudian menjadi celah bagi pelaku perkosaan.

Giliran Martha melawan, ia dianggap membahayakan warga sekitar sampai harus dipasung. Bahkan dalam kondisi ini pun, Martha kembali menjadi korban pemerkosaan.

Alih-alih memperlihatkan adegan kekerasan seksual dengan eksplisit, pembuat film dapat memperlihatkan metafora untuk menyatakan hal buruk telah terjadi—seperti dalam The Woman King (2022). Atau dampak bagi korban setelah peristiwa, seperti menangis dan kesulitan berfungsi dalam beraktivitas.

Women from Rote Island
Sumber: IMDB

Saat diwawancara Variety, sinematografer Natasha Braier mengatakan, sewaktu memproduksi She Said (2022), yang perlu ditunjukkan adalah konsekuensi dari kejadian tanpa mengobjektifikasi siapa pun. Karena itu, She Said fokus menunjukkan sosok korban, sebelum dan sesudah peristiwa.

Contohnya adegan Harvey Weinstein melecehkan Ambra Gutierrez di kamar hotel. Alih-alih mereka ulang adegan, Braier menyorot lorong hotel untuk menampilkan kejadian di baliknya, sambil memutar audio percakapan Weinstein yang meminta Gutierrez datang ke kamar.

Penggambaran tersebut cukup memberikan ruang bagi penonton untuk berimajinasi, atau mengingat pengalaman pribadi saat diperlakukan serupa.

Sebenarnya, pendekatan dalam menampilkan kekerasan seksual menunjukkan, bahwa pembuat film punya kesadaran tentang isu tersebut. Dan bagaimana mereka memandang perempuan sebagai korban: memanusiakan atau merendahkan?

Masalahnya tak berhenti di situ. Women from Rote Island enggak menyertakan trigger warning (peringatan pemicu) di awal film. Padahal, penting untuk mempertimbangkan trauma sekunder yang bisa dialami penonton. Tujuannya adalah mencegah penonton kembali terpicu, oleh penggambaran kekerasan seksual yang traumatis.

Sebab, film tentang kekerasan seksual bertanggung jawab untuk membangun kesadaran penonton terhadap pengalaman korban—bukan mengeksploitasi komoditas demi mendatangkan emosi negatif dari penonton.

Tampaknya, male gaze membuat filmmaker laki-laki sulit menggambarkan kekerasan seksual tanpa mengobjektifikasi, dan memiliki kepekaan terhadap emosi penonton. Berbeda ketika isu ini disampaikan dari sudut pandang perempuan, sosok yang lebih rentan terhadap kekerasan seksual, dan perlu waspada dalam keseharian karena kejadian itu bisa terjadi kapan pun.

Baca Juga: ‘The Woman King’: Angkat Kekerasan Seksual, tapi juga Kaburkan Sejarah

Homoerotik yang Homofobik

Selain menyorot kekerasan seksual, ada unsur homoerotik—ketertarikan seksual antara karakter berjenis kelamin sama—dalam Women from Rote Island. Yakni saat Ezra (Willyam Wolfgang), berhubungan seksual dengan Ruben (Aldy Djara) di rumah kosong.

Kalau melihat plot secara menyeluruh, adegan tersebut hanya tempelan yang tak berdampak pada alur cerita. Toh hubungan seks yang dilakukan Ezra dan Ruben enggak diikuti identifikasi karakter sebagai homoseksual, sehingga tak menghilangkan poin penting dalam film jika adegan ditiadakan.

Penulis Patrick Schuckmann pernah membahas adegan homoerotik sebagai penindasan, hukuman, dan tindakan mendominasi. Dalam Masculinity, the Male Spectator and the Homoerotic Gaze (1998), ia menilai adegan homoerotik justru menyangkal hasrat homoseksual. 

Penyangkalan itu yang ditampilkan Women from Rote Island. Sebagai sosok yang punya kuasa, Ezra memainkan peran dominan atas Ruben. Ia melampiaskan hasrat seks pada Ruben, dengan iming-iming akan membelikan pulsa. Merasa tak punya pilihan, Ruben mengiyakan ajakan Ezra—mengingat faktor usia Ezra juga lebih tua, membuat Ruben memanggil dengan sebutan “om”.

Sayangnya, adegan homoerotik yang tak bermakna mempertebal ketakutan terhadap homoseksual sebagai atipikal gender, atau disebut homohisteria. Konsep ini muncul karena budaya masyarakat heteronormatif, yang meliyankan homoseksual. Akibatnya, laki-laki berusaha membuktikan maskulinitas, dengan menutupi identitas sebagai minoritas seksual. Salah satunya dengan memosisikan karakter perempuan sebagai tameng, untuk mengafirmasi heteroseksualitas.

Film ini merepresentasikan homohisteria lewat pemerkosaan, yang dilakukan Ezra terhadap Martha. Adegan yang lebih dulu ditampilkan ini mengesankan, Ezra berusaha membuktikan diri sebagai laki-laki seutuhnya, sebagaimana cara pandang masyarakat heteronormatif yang mempersekusi laki-laki homoseksual. Karenanya, ia menempatkan diri sebagai laki-laki heteroseksual.

Sumber: IMDB

Adegan homoerotik yang berlindung di balik karakter perempuan juga pernah muncul di Autobiography (2022). Purnawinata (Arswendy Bening Swara), mengeklaim heteroseksualitasnya dengan menghubungi istri lewat video call. Namun, panggilan tersebut tidak menampilkan wajah istri Purna. Dengan kata lain, peran istri di film ini bersifat sekunder, tanpa identitas. Purna pun menelepon istri setelah dua scene homoerotik: memaksa memandikan, dan mengajarkan Rakib (Kevin Ardilova) menggunakan senapan.

Yang tak disadari, homohisteria merugikan perempuan dan semakin merentankan keberadaan homoseksual, yang didiskriminasi oleh masyarakat. Di samping itu, homohisteria juga “memenjarakan” laki-laki gay untuk berperilaku sesuai norma gender, agar masyarakat tidak mempermasalahkan seksualitasnya.

Adegan homoerotik dalam Women from Rote Island yang berasa tempelan, malah memperlihatkan sikap homofobia. Hal itu tercermin lewat reaksi Bertha. Ia muntah, begitu melihat Ezra dan Ruben sedang berhubungan seksual di rumah kosong—seolah rasa penasarannya mengikuti kedua laki-laki tersebut berubah jadi jijik. Bahkan, Bertha buru-buru menelepon teman, untuk memberi tahu peristiwa yang dilihat.

Dengan menggambarkan hubungan minoritas seksual, mungkin Jeremias ingin menunjukkan orang-orang queer sebagai bagian dari masyarakat heteronormatif.  Bahwa, internalisasi homofobia bisa terjadi juga pada orang queer sendiri karena tekanan norma heteronormativitas.

Namun, kemunculannya lewat karakter Ezra—pelaku kekerasan seksual dan grooming—semakin memperpanjang diskriminasi yang diterima laki-laki gay. Tak ada adegan atau dialog eksplisit yang membela orang homoseksual dan mengarahkan semua kesalahan itu pada internalisasi homofobia atau masyarakat yang queerfobik. Akibatnya, pesan tentang homoseksual adalah sosok mengerikan yang pantas dikucilkan lebih kuat. Inilah mengapa sensitivitas pada isu dan kelompok rentan penting untuk dimiliki pembuat film, terutama jika mereka datang dari kelompok mayoritas yang selalu diuntungkan sistem heteronormatif.

Misalnya, kelompok laki-laki heteroseksual.


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *