Tak bisa dimungkiri, salah satu tantangan terbesar industri media adalah platform digital. Mulai dari Google, Facebook, dan X (sebelumnya Twitter), semuanya andil mendisrupsi cara orang mengakses informasi. Itu kemudian berpengaruh secara dramatis terhadap kondisi finansial berbagai perusahaan media.
Pemerintah di berbagai negara menyadari kondisi tersebut dan merespons dengan mengeluarkan regulasi yang lebih ketat terhadap platform. Indonesia pun melakukannya, dengan mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas. Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan, aturan yang disebut publisher’s rights bertujuan untuk mengatur hubungan bisnis perusahaan media dan platform digital “dengan semangat untuk meningkatkan jurnalisme berkualitas”.
Dalam Perpres tersebut, platform diwajibkan untuk “mendukung jurnalisme berkualitas” di Indonesia. Pasal 7 ayat 2 Perpres tersebut mengatur bentuk kerja antara perusahaan media dan platform digital seperti lisensi berbayar, bagi hasil, berbagi data agregat atau akumulasi pengguna berita yang menunjukkan karakteristik dan perilaku audiens, dan bentuk lain yang disepakati.
Perusahaan-perusahaan platform seperti Google sempat menyebut bahwa Perpres tersebut “berpotensi mengancam masa depan media di Indonesia”. Sementara platform Meta berpendapat bahwa tidak ada kewajiban untuk membayar konten berita kepada perusahaan media.
Masih banyak yang mempertanyakan apakah Perpres publisher’s rights ini akan mampu memenuhi semangat jurnalisme berkualitas tersebut. Sebagai peneliti media, saya melihat setidaknya ada tiga catatan kritis terkait dengan penerapannya.
Baca juga: Bagaimana Nasib Media Kecil Usai ‘Publisher’s Rights’ Sah?
1. Ketidakjelasan tentang Bagi Hasil
Perpres ini menyebutkan kewajiban platform digital untuk mendukung jurnalisme berkualitas dengan cara-cara seperti “melaksanakan pelatihan dan program yang ditujukan untuk mendukung jurnalisme yang berkualitas dan bertanggung jawab”, “memberikan upaya terbaik dalam mendesain algoritma distribusi berita yang mendukung perwujudan jurnalisme berkualitas”, termasuk skema kerja sama bagi hasil. Tetapi tidak ada penjelasan eksplisit yang mewajibkan bagi hasil tersebut.
Di berbagai aturan serupa di negara-negara lain, bagi hasil ini menjadi titik tekan utama. Asumsi dasarnya, platform digital menyerap sebagian besar kue pendapatan dan hanya menyisakan sedikit untuk perusahaan media. Melalui skema bagi hasil ini, media mendapatkan kesempatan yang sama untuk menikmati keuntungan dari konten yang dibuat. Dengan pendapatan yang memadai, media-media bisa memproduksi jurnalisme yang berkualitas.
Skema bagi hasil dari platform digital ke perusahaan media adalah langkah maju yang bisa membantu memastikan keberlanjutan media di tengah disrupsi digital seperti saat ini.
Namun, Perpres tidak menyebutkan skema bagi hasil secara eksplisit apakah merupakan kewajiban atau sukarela. Akibatnya, platform digital bisa mengelak dari tanggung jawab untuk melakukan bagi hasil, sebagaimana yang diindikasikan dari respons awal Meta. Apalagi tidak ada sanksi yang menanti platform digital apabila mereka tidak menjalankan kewajibannya sesuai Perpres.
2. Enggak Semua Media Terverifikasi
Aturan ini mengatur bahwa platform digital hanya bekerja sama dengan perusahaan media yang terverifikasi oleh Dewan Pers. Dari data Dewan Pers, baru 1.700an media, atau hanya 2,8 persen, yang sudah terverifikasi dari lebih dari 60.000-an media di Indonesia. Artinya. jauh lebih banyak media yang dan tidak masuk kategori yang dimaksud dalam Perpres.
Padahal, kemunculan media-media baru di berbagai daerah di Indonesia meningkat drastis beberapa tahun belakangan. Mereka menghasilkan liputan-liputan jurnalistik yang berkualitas yang setara dengan liputan media-media besar meskipun mereka belum terverifikasi oleh Dewan Pers. Idealnya mereka juga mendapatkan kesempatan yang sama untuk bekerja sama dengan platform digital.
Jika dibiarkan, aturan ini justru akan berpotensi menguntungkan media-media besar dan menciptakan ketimpangan dalam industri media.
Baca juga: Apa itu Jurnalisme Konstruktif, Kenapa Kita Membutuhkannya
3. Kepastian Implementasi
Perpres memberi mandat untuk membentuk komite dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya. Anggota komite akan terdiri dari anggota Dewan Pers yang tidak mewakili perusahaan pers; kementerian, dan pakar di bidang platform digital yang tidak terafiliasi perusahaan platform digital atau perusahaan pers.
Mereka bertugas untuk tidak hanya memastikan pembagian bagi hasil yang adil, tetapi juga memastikan platform mendukung ekosistem jurnalisme berkualitas. Mereka juga memastikan bahwa aturan ini mampu mendorong media-media untuk membangun model bisnis media yang lebih baik dan berkelanjutan sehingga dapat berdampak langsung dalam meningkatkan kesejahteraan jurnalis. Dalam implementasi ini, peran komite menjadi penting untuk mengawasi dan memfasilitasi pemenuhan kewajiban platform digital.
Awal Maret lalu, Dewan Pers telah membentuk tim untuk menyeleksi anggota komite. Idealnya, komite yang akan dibentuk untuk mengawasi Perpres ini, jangan sampai hanya terjebak pada aspek teknikalitas dalam hal-hal berkaitan dengan kerja sama antara platform digital dan penerbit.
Artinya, selain memastikan keadilan dana bagi hasil media juga memastikan bahwa dana tersebut benar-benar digunakan untuk mengembangkan jurnalisme berkualitas di Indonesia.
Belajar dari Australia
Berangkat dari beberapa catatan kritis di atas, Indonesia perlu belajar dari implementasi News Media and Digital Platforms Mandatory Bargaining Code di Australia, aturan pertama di dunia yang secara spesifik mengatur tanggung jawab platform digital untuk keberlangsungan jurnalisme.
Setelah dua tahun diimplementasikan, aturan tersebut bisa dibilang berhasil. Ukuran utamanya, jumlah perusahaan media yang menjalin kontrak kerja sama dengan platform digital semakin banyak dengan kontrak bervariasi antara tiga hingga lima tahun.
[Total ada 30 kontrak kerja sama] antara Meta dan Google dengan perusahaan media di Australia baik kecil maupun besar. Perusahaan-perusahaan media ini juga berhasil menambah jumlah pekerja medianya dan melakukan ekspansi pasar. The Australian Broadcasting Corporation (ABC), misalnya, bisa menambah 57 posisi pekerjaan termasuk reporter di 19 lokasi dengan 10 lokasi baru yang sebelumnya tidak mereka miliki.
Baca juga: ‘Quo Vadis Infotainment’: Antara Jurnalisme dan Sensasionalisme
Namun, di balik itu, Australia juga masih menghadapi beberapa masalah.
Meta, misalnya, tidak akan memperbarui kontrak dengan perusahaan media di Australia dengan alasan tidak akan lagi fokus pada konten-konten berita. Artinya, sewaktu-waktu platform bisa melepaskan diri dari tanggung jawab jika memang sudah tidak memiliki perhatian pada jurnalisme atau konten pemberitaan.
Pada akhirnya, kita harus menyambut keberadaan publisher’s rights dengan hati-hati mengingat karakter ekosistem digital industri media yang terus berubah dan serba tidak pasti. Kita perlu meletakkan aturan tersebut sebagai fondasi, bukan satu-satunya solusi dalam krisis jurnalisme di era digital ini. Jangan sampai hadirnya peraturan baru ini justru menghambat kehadiran jurnalisme yang berkualitas.
Wisnu Prasetya Utomo, PhD student at the School of Journalism, Media, and Communication, University of Sheffield.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.