Issues

Apa itu Jurnalisme Konstruktif, Kenapa Kita Membutuhkannya

Magdalene menggelar pelatihan tentang genre baru jurnalisme konstruktif. Sebuah pendekatan jurnalistik yang berorientasi pada solusi.

Avatar
  • September 6, 2022
  • 6 min read
  • 1059 Views
Apa itu Jurnalisme Konstruktif, Kenapa Kita Membutuhkannya

Adagium bahwa bad news is a good news atau if it bleeds, it leads tampaknya tak lagi “menjual” belakangan. Buktinya, sejumlah media seperti DW, The Guardian, The New York Times, hingga BBC mulai ramai-ramai menggunakan pendekatan reportase yang lebih konstruktif. Alih-alih menonjolkan nestapa bencana kelaparan atau perang, DW mengangkat sisi positif dalam seri 10 video bertajuk “The Bright Side” (2018). Sementara, BBC (2020) memilih menceritakan bagaimana orang saling bantu selama pandemi COVID-19.

Di Indonesia, genre jurnalisme konstruktif relatif belum familier digunakan. Magdalene dalam hal ini, menjadi salah satu media yang mengaplikasikannya di ruang redaksi. Bahkan tak hanya berhenti di ruang redaksi internal, media yang fokus pada isu gender dan minoritas tersebut juga menularkan genre jurnalisme konstruktif pada 25 jurnalis di Jawa Barat dan DKI Jakarta, 6-7 Agustus 2022. 

 

 

Dikemas dalam pelatihan interaktif bertajuk “Mengubah Narasi Gender di Media melalui Jurnalisme Konstruktif”, ada sederet narasumber yang dihadirkan. Devi Asmarani, Pemimpin Redaksi cum Founder Magdalene memaparkan pentingnya jurnalisme konstruktif dalam mengubah narasi gender yang bias jadi lebih berdaya. Ada juga Sri Agustine, advokat gender dari Ardhanary Institute yang menguraikan tentang prinsip-prinsip Sexual Orientation, Gender Identity and Expression, and Sex Characteristic (SOGIESC). Selain itu, pelatihan juga diisi oleh Ahmad “Alex” Junaidi, Direktur Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), yang secara khusus bicara soal inklusivitas di media. Pun, Daniel Awigra dari Human Rights Working Group yang lebih banyak menyinggung aspek hak asasi manusia dalam peliputan.

Magdalene yang menggandeng SEJUK serta didukung Australian Government dan Investing in Women, menindaklanjuti pelatihan dengan diskusi bareng pejabat manajerial redaksi, awal September lalu. Kendati pelatihan itu masih belum optimal, mengingat contoh pemberitaan berbahasa Indonesia juga berita audiovisual masih minim, tapi sejumlah peserta mengaku antusias menjalani pelatihan tersebut.

Baca juga: ‘Quo Vadis Infotainment’: Antara Jurnalisme dan Sensasionalisme

Fitri Nuraeni, jurnalis Radar Garut merasa sangat beruntung dapat mengikuti pelatihan ini. “Ini sangat bermanfaat untuk meliput kasus-kasus kekerasan seksual dan pelecehan terhadap perempuan yang kian marak di Garut. Lebih dari 100 jurnalis yang ada di Garut, hanya lima jurnalis yang perempuan,” ungkap Fitri kepada SEJUK.

Ia berharap, kerja-kerja jurnalistik mampu mengungkap kasus kekerasan seksual di wilayah liputannya secara lebih sensitif dan lebih berperspektif korban.

Definisi Jurnalisme Konstruktif dan Kenapa Penting

Jurnalisme konstruktif sendiri merupakan metode baru untuk meliput berita. Ini berangkat dari gagasan bahwa terlalu banyak bias negatif, sensasionalisme, dan pemberitaan yang berorientasi pada konflik melulu. Alih-alih menekankan dunia sedang tak baik-baik saja, jurnalisme konstruktif hadir untuk memberikan gambaran yang lebih adil, akurat, dan kontekstual kepada khalayak.

Salah satu alasan kuat kenapa jurnalisme konstruktif harus ada adalah, karena mayoritas berita kini hanya membuat khalayak putus asa dan cenderung pasif. “Jika kamu bertanya kepada orang-orang bagaimana kabar dunia hari ini, banyak dari mereka berpikir dunia cuma tempat yang buruk dan kejam,” ujar pendiri Constructive Institute Ulrik Haagrup pada 2016, dilansir dari DW.

Tak cuma jadi pasif dan putus asa, kata dia, khalayak pun semakin hilang kepercayaan pada media. Sebab, dalam hemat mereka, berita yang layak diberitakan cuma yang mengundang klik. Sementara, berita yang mengundang klik tak jauh-jauh dari unsur sensasionalisme atau punya tone negatif.

Devi Asmarani menuturkan dalam pelatihan itu, “Ini genre jurnalisme yang menjadi bagian dari solusi, berorientasi pada solusi, bukan hanya mengetengahkan masalah, sehingga relevan sekali mengangkat isu-isu keberagaman dengan metode ini.”

Ada tiga komponen dalam jurnalisme konstruktif menurut modul yang disusun oleh Kristina Lund Jørgensen & Jakob Risbro dari Constructive Institute di Denmark (2021).

Pertama, jurnalisme harus bisa menawarkan solusi. Ketika kita memilih untuk fokus kepada suatu solusi, kita akan mendekati isu dengan sikap tajam dan kritis yang kita gunakan saat mengeksplorasi permasalahan publik. Meski begitu, bukan berarti media bertanggung jawab secara penuh terkait solusi ini. Sebab, setelah menemukan alternatif solusi, maka jurnalis wajib menyerahkan temuannya kepada mereka yang bertanggung jawab untuk mengatasi permasalahan ini.

Contoh, daripada mengutuk soal dampak krisis iklim berkepanjangan, media bisa menawarkan solusi yang paling mungkin dilakukan. Semisal, mempopulerkan gaya hidup yang lebih ramah lingkungan dengan pemanfaatan energi terbarukan, mendorong perusahaan untuk lebih konsisten dengan komitmen zero carbon, atau mendesak pemerintah untuk membangun infrastruktur terkait.

Kedua, jurnalisme fokus pada gambaran besar dan memberikan nuansa-nuansa cerita. Di dalam modul itu dijelaskan, pengembangan ide wartawan mesti didasarkan atas permasalahan spesifik yang memiliki konsekuensi. Kita bisa memulai dengan mengamati perkembangan isu selama beberapa waktu, menganalisis data yang komprehensif, atau dengan mengadopsi berbagai perspektif dalam isu atau kasus.

Ketiga, jurnalisme harus mampu jadi ruang aman di mana orang-orang bisa terlibat di dalamnya. Komponen ini berhubungan dengan penciptaan dan pengembangan ide dengan peran serta dari warga, pemangku kepentingan, dan pengambil keputusan. Sebagai jurnalis, tujuan kita adalah untuk keluar dari peran tradisional sebagai pengamat yang deskriptif dan pasif, dan memainkan peran lebih aktif dalam menarik pihak-pihak yang terlibat untuk saling mendekati satu sama lain dan mendiskusikan isu-isu yang sulit, atau mempertemukan semua pemangku kepentingan untuk mengembangkan solusi.

Dari tiga komponen di atas, ujar Devi, tampak jelas jurnalisme konstruktif berbeda dengan jurnalisme positif yang melulu memproduksi berita dengan tone positif. Jurnalisme konstruktif adalah genre jurnalisme yang tidak menyamarkan sudut pandang kritis, tapi justru membangun percakapan publik.

Komitmen Magdalene Agar Jurnalisme Konstruktif Lebih Populer

Mempertimbangkan pentingnya genre jurnalisme konstruktif, Magdalene bersama SEJUK berkomitmen agar pelatihan ini juga diselenggarakan di kota-kota lainnya di Indonesia. Tak hanya itu, interaktivitas dengan peserta juga dibangun lewat pemberian grant atau beasiswa liputan kepada enam jurnalis yang beruntung.

Baca juga: Ramai-ramai Media Hijrah ke ‘Blockchain’, Mungkinkah Indonesia Menyusul?

Nantinya enam jurnalis itu akan mendapatkan coaching intensif dari para mentor, yakni Purnama Ayu Rizky sebagai perwakilan Magdalene dan Alex Junaidi sebagai representasi SEJUK. Lalu hasilnya berupa produk jurnalistik, baik audiovisual atau tulisan yang dimuat di Magdalene atau media mereka masing-masing.

Adapun enam proposal liputan yang meraih story grant masing-masing Rp7.000.000 adalah:

  1. Karin, Prohealth.idDiskriminasi Pekerja Perempuan Autoimun
  2. Adit, Tirto.id: Kekerasan Pekerja Seks Perempuan dan Transpuan
  3. Hasanudin, Radar CirebonKBGO di Cirebon, Eksperimen Membuat Akun Facebook Perempuan
  4. Zainur, Republika: Pekerjaan yang Genderless
  5. Dion, Kutub.idQueer di UIN Gunung Jati
  6. Bambang, Pikiran Rakyat: Janda Berdaya Menepis Stigma. 

Selamat ya buat peraih story grant. Semoga ikhtiar untuk membangun sudut pandang yang konstruktif bisa tumbuh subur hingga ke level petinggi media dan pemilik modal. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Purnama Ayu Rizky

Jadi wartawan dari 2010, tertarik dengan isu media dan ekofeminisme. Kadang-kadang bisa ditemui di kampus kalau sedang tak sibuk binge watching Netflix.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *