‘Tumbuh dan Menjadi’: Yang Dirayakan Bukan Cuma ‘Comeback’ Banda Neira tapi juga Kemanusiaan Kita
Setelah delapan tahun hiatus, Banda Neira kembali menawarkan perjalanan baru soal bagaimana diri kita bertumbuh sebagai manusia.
Hampir satu bulan sejak Banda Neira merilis album anyar, tapi saya masih belum bosan mendengarnya setiap pergi dan pulang bekerja. Saya memang bukan pendengar lama Banda Neira, cuma cukup familier dengan sedikit lagunya yang terasa relate. Karena itulah kabar comeback-nya Banda Neira dengan album “Tumbuh dan Menjadi” bikin saya excited sekali.
Saya ingat, pengalaman pertama mendengar Banda Neira versi Ananda Badudu dan Rara Sekar saat dua folk akustik itu sudah bubar. Satu lagu yang terngiang-ngiang saat itu adalah Sampai Jadi Debu, yang enggak cuma puitis, melankolis, tapi juga mengiris-iris hati. Bonusnya, pendengar lagu Banda Neira bakal dicap “anak indie”–zaman sekarang anak skena. Ini lantaran saat-saat itu, 2016-an ke atas, bertebaran musisi indie yang punya formula musik serupa. Dari Fourtwnty, Stars and Rabbit, atau Danilla Riyadi.
Ternyata mendengarkan Banda Neira di 2024 punya vibe yang jauh berbeda. Saat Ananda Badudu memutuskan untuk menghidupkan kembali Banda Neira dengan mitra duet baru, Sasha Iguana—ingat ya meneruskan bukan mengganti figur Rara Sekar—saya merasa albumnya lebih dewasa. Mungkin karena saya juga juga bertumbuh semakin matang hari ini.
Baca juga: ‘Gala Bunga Matahari’ dan Cerita-cerita Lain di Album Baru Sal Priadi
Tentang Lelah, Keberanian, dan Mimpi-mimpi
Saya enggak akan komentar banyak soal proses produksi di balik album yang saya yakini digarap oleh tangan-tangan ajaib. Sekarang saya lebih tertarik membahas substansi albumnya. “Tumbuh dan Menjadi” berisi sembilan lagu yang salah satu lagunya dirilis sebagai single pembuka pada (27/10). Tak Apa Akui Lelah menjadi pilihan yang tepat untuk merayakan comeback Banda Neira. Musiknya megah, lagunya istimewa. Enggak cuma lekat dengan suara gitar, Sasha juga memainkan biola di dalamnya dalam beberapa sesi live.
Bisa dibilang lagu ini datang di waktu yang tepat. Di kondisi kehidupan yang sedang tidak baik-baik saja–dunia yang riuh, kesulitan ekonomi, kepenatan rutinitas sehari-hari, rezim yang cuma bisa merepotkan warga, dan segala tetek bengek duniawi–kadang kita hanya membutuhkan validasi tentang lelah yang dihadapi. Saya sering merasa dunia berjalan begitu cepat, tak ada toleransi untuk kita yang mungkin sedang mengalami hari berat. Lagu ini seolah menguatkan dan memang benar adanya “Tak apa akui lelah, pun ini bukan perkara menang dan kalah”.
Pesan semangat lain juga hadir lewat lagu Kan Terus Ku Tulis, sampai Nafas Ini Habis yang menjadi track pertama di album ini. Sama seperti lagu sebelumnya, di sini mereka juga menempatkan diri sebagai teman yang siap menemani setiap proses dan mimpi yang panjang.
Kan ku buat hidupku seperti
Berlembar puisi yang indah sekali
Yang menyemangati,
dan buatmu berani bermimpi
Retas segala tak mungkin
Beberapa orang mungkin pernah merasa, sebuah lagu bisa menyelamatkan hidupnya. Saat mendengarkan lagu ini, saya seperti diajak merefleksi apa-apa yang telah dilalui, tujuannya tidak lain supaya ke depan bisa mengambil langkah ringan dan berani.
Saat mendengarkan Ajariku Jadi Berani, saya semakin yakin Ananda Badudu ini aslinya aktivis yang menyamar jadi musisi. Bukan kali pertama lagu-lagunya mengisyaratkan soal perjuangan dan perlawanan kelompok akar rumput, seperti yang terekam di dalam lagunya. Ia juga menyebut tokoh-tokoh pejuang keadilan yang suaranya terbungkam, seperti Marsinah, Wiji, Theys, Munir, dan Bu Sumarsih.
Meskipun menurut pengakuannya, lagu ini ditulis empat tahun lalu, materinya masih relate dengan kondisi sekarang. Memang, enggak banyak yang berubah dari masalah-masalah runyam tentang keadilan di negeri ini. Dan kita masih atau bahkan selalu menunggu kehadiran lagu-lagu semacam ini untuk mewakili suara-suara yang terpinggirkan.
Baca juga: Review ‘Hit Me Hard and Soft’: Album Billie Eilish Terbaik
Sementara di lagu Kan Semakin Menggema, Memerdekaan, ada keunikan yang saya rasakan. Bukan cuma soal intronya yang lama, mencapai 1 menitan, sebelas dua belas dengan lagu Sampai Jadi Debu, tapi liriknya yang powerfull sekali. “Tenang, tangismu akan, kan semakin menggema, memerdekaan”. Memerdekan siapa, diri kita pendengarnyakah? Lalu apakah kesedihan adalah proses seharusnya yang kita lewati untuk bisa merasakan kebebasan hidup? Akhirnya saya masih tetap belum menyimpulkan maksud yang pas untuk menggambarkan kalimat tersebut, Namun, saya memutuskan untuk menikmati saja kali ini.
Tak hanya bicara soal pendewasaan tetapi juga penerimaan. Di track kali ini, kita akan diajak diam sejenak atau bahkan enggak sadar merapal doa untuk seseorang yang sudah berpulang. Ada yang bilang Teman Kau Hendak Pergi ke Mana? Lagu ini memiliki nuansa yang paling dekat dengan Banda Neira lama. Damai dan tenang sekali.
Sekali lagi, album ini enggak cuma memosisikan diri sebagai seorang kawan yang siap menemani setiap perjalanan, tetapi juga enggak ragu memperlihatkan sisi rapuh manusia. Seperti judulnya, Sang Pemula bercerita tentang seseorang yang merasa tidak tahu banyak hal meski sudah menginjak kepala tiga. Kita seolah dikenalkan pada kisah cintanya yang “dewasa”. Cinta yang tidak menggebu-gebu, tetapi justru malah menjadi pelajaran untuk mengenali diri sendiri.
Seorang pemula, yang tak banyak tahu
Caranya berbagi, cara menerima
Terlambatkah tuk berbenah?
Angkuhku besar ternyata
Ku tak tahu apa-apa
Tentang dunia, apalagi cinta
Tak mengherankan jika banyak yang setuju, track ini bisa dijadikan buku panduan menuju kepala tiga. Jujur dan apa adanya, bahwa memang di usia berapa pun kita tetap menjadi seorang pemula di banyak hal.
Setidaknya meskipun kamu seorang pemula ada teman yang dengan sigap bilang Peganglah Tanganku, Coba Lagi Sekarang. Alih-alih memberikan semangat, materi ke delapan ini seolah mengajak kita menjalani kehidupan yang meskipun sama-sama enggak tahu bagaimana cara dunia ini berjalan, yang penting kita saling bergandengan, bersama-sama. Kind of energy yang mungkin kita butuhkan saat merasa benar-benar ada di dasar lautan. Track ini akan semakin menenangkan saat didengar sendiri di tengah keramaian.
Lalu diikuti oleh Tumbuh dan Menjadi. Kira-kira nama albumnya diambil dari judul lagu ini atau sebaliknya ya? Saya mendeskripsikan track ini lantang dan penuh percaya diri dari cara Nanda dan Sasha membawakannya. Mungkin benar, setelah banyak hal yang membuat kita marah, kita jadi punya banyak energi untuk bangkit kembali.
Sebagai penutup, Mimpilah Seliar-liarnya. Lagu ini sebenarnya ada di urutan kedua tetapi sengaja menaruhnya di akhir karena ini favorit saya. Bagi saya ini adalah lagu cinta dengan obrolan yang apa adanya. Lirik yang apa adanya dan dekat sekali justru membuat saya merasa ini sangat romantis.
Baca juga: Review Album ‘Midnights’ Taylor Swift: Belajar Mencintai Sisi Gelap Kita
Kalau boleh saya menggambarkan, pasangan di dalam lagu ini adalah pasangan kelas menengah yang kehidupan sehari-hari dihabiskan untuk sama-sama bekerja. Mereka akan bertemu di malam saat sepanjang hari sudah menghabiskan energi. Bahkan liriknya juga bilang “mandilah jika kau mau saja”.
Itu saya banget yang suka malas mandi meskipun seharian telah bekerja. Saya merasa enggak sendirian dan ternyata enggak apa juga kalau enggak pengin mandi tanpa harus menjelaskan alasannya. Saya juga seperti tertampar liriknya, sebagai orang yang suka ngobrol dan menghabiskan banyak kata.
biar esok kita lanjutkan
cerita mu yang terputus semalam
mungkin timpalanku terlalu berat
atau matamu terlanjur lima watt
Secara personal ini seolah merekam obrolan dengan pacar saya. Dia yang tidak bisa diajak bicara saat mengantuk, sedangkan saya tipikal orang yang terus mengejar jawaban. Lagu ini memberi tahu saya kalau enggak semua hal ada jawabannya sekarang, bisa besok lagi. Lagi pula besok kita akan bersama kembali menaklukkan kenyataan di depan.
Dahulu lagu-lagu Banda Neira membicarakan sesuatu pada spektrum yang luas, mawar, bunga, langit, laut, biru, atau bagaimana caranya mendeskripsikan rasa cinta dengan ungkapan yang metafora. Sebaliknya, Tumbuh dan Menjadi justru memilih spektrum yang tergambar jelas dan diutarakan dengan apa adanya.
Secara keseluruhan album ini menyoal soal perasaan-perasaan yang banyak dialami banyak orang, aku, kita, dan juta lainnya. Cerita soal harapan, ketakutan, mimpi-mimpi, dan cinta adalah sesuatu yang selalu hidup bersama kita. Makanya enggak berlebihan jika menyebut album yang rilis di penghujung tahun ini sebagai teman untuk melanjutkan perjalanan.